Kutukan Keris Empu Gandring, Anies dan Jokowi

APA dan bagaimana sesungguhnya hubungan Jokowi dengan Ahok? Soal ini banyak menjadi spekulasi. Konsultan politik Eep Saefulloh Fattah punya penjelasan yang lugas. “Jokowi adalah tim sukses utama Ahok dan istana kepresidenan adalah Posko Kemenangannya.”

Tudingan Eep sangat masuk akal bila melihat apa yang terjadi sepanjang proses Pilkada DKI 2017 lalu. Campur tangan kekuasaan dalam kasus hukum, sampai dalam proses kampanye sangat terasa. Kalau memang benar Jokowi adalah tim sukses utama, bagaimana Jokowi memandang dan memaknai kemenangan pasangan Anies-Sandi.

Bacaan Lainnya

Kisah perjalanan naiknya Anies Baswedan ke kursi Gubernur DKI bila kita perhatikan, sesungguhnya sangat mirip dengan kisah perjalanan politik Jokowi. Campur tangan dan keputusan Ketua Umum Gerindra  Prabowo Subianto menjadi benang merah bagi keduanya. Kita boleh menyebut fenomena ini sebagai ‘Prabowo factor’.

Pencalonan Jokowi sebagai Gubernur DKI bisa dikatakan sepenuhnya karena adanya Prabowo factor. Pada Pilkada DKI 2012 PDIP sebenarnya tidak berniat mencalonkan Jokowi. Popularitas Jokowi sebagai Walikota Surakarta yang sangat berhasil, tidak membuat Ketua Umum Megawati tergiur untuk mencalonkannya.

Maklumlah, saat itu, yang dihadapi adalah Fauzi Bowo gubernur incumbent yang juga sangat populer dengan tingkat elektabilitas tinggi. Posisinya mirip-mirip dengan Ahok menjelang Pilkada 2017. Lembaga-lembaga survei juga menyebut elektabilitasnya belum ada yang mengalahkan.

PDIP ketika itu juga tertarik untuk mendukung Foke, panggilan Fauzi. Sinyal kuat tersebut datangnya dari Taufik Kiemas, suami Megawati. Fungsionaris PDIP Adang Ruchiatna yang bakal diajukan sebagi cawagub. Latar belakang Adang yang pensiunan jenderal bintang dua dari TNI AD sangat pas dengan kebutuhan Foke yang mencari figur militer sebagai pendampingnya. Namun peta pertarungan dan posisi kemudian berubah karena Prabowo.

Prabowo bergerilya dan bolak-balik menemui Megawati untuk meyakinkan bahwa Jokowi sangat layak dipasang sebagai Cagub DKI. Prabowo bahkan menyanggupi ketika Megawati menyatakan tidak mempunyai biaya untuk mendukung Jokowi.

Hubungan Prabowo dengan Megawati saat itu cukup erat. Mereka sempat berpasangan dalam Pilpres 2009 berhadapan dengan SBY-Budiono dan Jusuf Kalla-Wiranto. Pasangan Mega-Prabowo kalah, namun hubungan personal keduanya terus berlanjut.

Setelah berhasil meyakinkan Megawati untuk mengusung Jokowi, Prabowo kemudian mulai mencarikan jodohnya. Pilihannya jatuh ke anggota DPR RI dari Golkar Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih dikenal dengan nama Ahok.

Pilihan kepada Ahok tampaknya tak lepas dari strategi jangka panjang Prabowo untuk maju kembali pada Pilpres 2014. Sejak Peristiwa Mei 1998 yang menimbulkan kerusuhan dan menimbulkan eksodus etnis China ke luar negeri, citra Prabowo yang anti China melekat cukup kuat.

Dia disalahkan ikut andil bahkan ada yang menyebutnya sebagai dalang kerusuhan itu. Tuduhan itu sampai sekarang masih sulit dibuktikan.

Dengan mencalonkan Ahok, Prabowo setidaknya ingin meredusir image yang sudah terlanjur melekat erat padanya.

Seperti kita ketahui akhirnya pasangan Jokowi-Ahok mengalahkan Foke yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli. Jokowi-Ahok juga harus melalui putaran kedua untuk memastikan kemenangan.

Cerita manis hubungan Jokowi dengan Prabowo mulai merenggang ketika ada gelagat Jokowi akan mencalonkan diri sebagai capres. Mega sendiri tampaknya juga berminat menjadi capres. Namun kuatnya dukungan publik kepada Jokowi, membuat Mega mundur.

Ketika Jokowi akhirnya benar-benar dicalonkan PDIP sebagai Capres, hubungan Jokowi-Mega dengan Prabowo benar-benar putus. Khusus soal Megawati menurut kubu Prabowo, dia mengingkari janjinya. Pada saat mereka maju berpasangan pada Pilpres 2009, ada klausul bila mereka kalah, maka Megawati akan mendukung Prabowo dalam Pilpres 2014. Kesepakatan itu dibuat di Batu Tulis, Bogor yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Batu Tulis.

Kisah Jokowi-Prabowo semakin dramatis. Jokowi orang yang diperjuangkan Prabowo dari tepian Bengawan Solo menuju puncak kekuasaan di Jakarta, akhirnya berhadapan dengannya dalam Pilpres 2014. Prabowo berpasangan dengan Hatta Radjasa dikalahkan Jokowi yang berpasangan Jusuf Kalla.

Pengkhianatan kepada Prabowo menjadi lengkap dan sempurna ketika Ahok yang sudah menjadi Gubernur DKI menggantikan Jokowi, meninggalkan Gerindra dengan alasan tak sepakat pada pilihan politik Gerindra. Saat itu, Gerindra bersama sejumlah partai mendukung opsi mengembalikan proses pilihan kepala daerah ke DPRD, bukan lagi pilkada langsung.

Dalam Pilkada DKI 2017, Prabowo kembali head to head dengan Megawati dan Jokowi yang mengusung pasangan Ahok-Djarot. Sementara Prabowo mengusung Anies-Sandi. Ini merupakan medan tempur besar kedua bagi mereka, setelah Pilpres 2014.

Cerita terpilihnya Anies sebagai cagub yang diusung Gerindra dan PKS tak kalah menariknya. Ceritanya  mirip dengan terpilihnya Jokowi-Ahok. Semula Gerindra dan PKS mengusung calon Sandiaga Uno Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra berpasangan dengan Mardani Ali Sera salah satu ketua DPP PKS.

Menyadari tingkat elektabilitas keduanya tidak cukup kuat untuk menandingi Ahok-Djarot, mereka kemudian mulai bergerilya. Salah satu pilihannya adalah Anies Baswedan yang saat itu baru dicopot dari jabatannya sebagai Mendiknas oleh Jokowi.

Menariknya ketika nama Anies disodorkan, Prabowo menyetujuinya. Begitu juga PKS yang rela menarik pencalonan Mardani sebagai cawagub. Jadilah mereka mengusung pasangan Anies-Sandi sebagai cagub dan cawagub.

Sekedar mengingatkan, ketika Pilpres 2014 Anies adalah salah satu juru bicara Jokowi. Dalam berbagai kampanye tak jarang dia menyerang Prabowo dengan keras dan kata menohok.

Disitulah Prabowo sekali lagi menunjukkan dirinya sebagai negarawan yang kelasnya jempolan. Dia bisa melupakan semua itu untuk tujuan yang lebih besar mengalahkan Ahok, sekaligus mengalahkan Jokowi dan Megawati. SEKALI TEPUK, TIGA LALAT MATI!

Nah sekarang Anies terpilih menjadi Gubernur DKI. Kekalahan Ahok banyak dilihat juga sebagai simbol dari kekalahan Jokowi. Sementara dari sisi Prabowo kembali menunjukkan kepiawaiannya sebagai ‘King Maker’.

Sentuhan tangan dinginnya setidaknya sudah terbukti dua kali. Tak heran bila Sekjen Gerindra Ahmad Muzani berucap sekaligus memberi sinyal, siapapun yang didukung Prabowo akan menang.

Bila mengambil analogi sepak bola, skor Jokowi vs Prabowo saat ini 1-1. Atau setidaknya 1-1/2, karena posisi sebagai Presiden RI tentu tidak bisa disamakan dengan Gubernur DKI.

Melihat kerasnya pertempuran di Pilkada DKI banyak yang melihat hal itu sebagai persiapan Pilpres 2019. Apakah Prabowo akan kembali mengambil kesempatan menantang Jokowi atau dia mempersiapkan Anies sebagai kandidat penantang Jokowi.

Berdasar pengalaman Jokowi, posisi Gubernur DKI Jakarta merupakan batu lompatan yang strategis menuju kursi presiden. Bila berhasil mengkapitalisasi posisinya sebagai Gubernur DKI, dapat dipastikan Anies bisa menjadi bayang-bayang yang membahayakan Jokowi. Dia bisa menjadi matahari baru yang dapat meredupkan cahaya sinar Jokowi.

Rivalitas mereka akan menjadi seru karena ada setting peristiwa pencopotan Anies dari kabinet Jokowi sebagai latar belakangnya.

Pencopotan Anies merupakan langkah kuda Jokowi yang berdampak ganda:

Pertama, dalam jangka pendek sebagai langkahnya meminimalisir adanya efek “matahari kembar”. Sebagai Mendiknas, Anies cukup populer dan dinilai sangat berhasil. Anies juga menjadi idola baru, terutama di kalangan anak muda dan kelas menengah terdidik. Mumpung sinarnya belum terlalu terik menyengat, Jokowi segera mengambil langkah mencopotnya.

Kedua, Jokowi ingin memperluas dukungan di kalangan Islam dengan merangkul Muhammadiyah. Muhajir Effendy pengganti Anies merupakan salah satu tokoh intelektual Muhammadiyah. Jokowi sudah berhasil merangkul Nahdlatul Ulama (NU) melalui PBNU, PKB dan PPP. Kini giliran Muhammadiyah.

Dengan modal partai-patai pendukung ditambah NU dan Muhammadiyah sebagai Ormas Islam terbesar di Indonesia, maka Jokowi akan sangat percaya diri menatap Pilpres 2019. Termasuk bila Jokowi harus berpisah jalan dengan Megawati dan PDIP.

Jangan lupa, Jokowi bukanlah kader idiologis PDIP. Dia seorang pengusaha mebel yang kemudian menjadi “anak angkat PDIP”  ketika maju dalam Pilkada Kota Surakarta 2005. Kendati telah menjadi presiden, Megawati dalam berbagai kesempatan di depan umum, tak sungkan menyebutnya “hanya” seorang petugas partai. Posisinya sebagai presiden juga selalu dalam bayang-bayang kekuasaan Megawati.

Sayangnya upaya Jokowi merangkul umat Islam menjadi  mentah kembali sebagai imbas Pilkada DKI 2017. Pertarungan dalam pilkada DKI mengkonfirmasi munculnya ketidakpuasan, bahkan kemarahan yang cukup tinggi di kalangan umat Islam, terhadap Jokowi.

Sikapnya yang mati-matian melindungi Ahok memicu antipati terhadapnya yang tercermin dari unjukrasa jutaan umat dalam Aksi Bela Islam (ABI) I-III.

Berbagai aksi tersebut tidak hanya melibatkan warga Jakarta, tapi juga berbagai elemen umat Islam di seluruh Indonesia. Aksinya sangat massif dan tercatat sebagai terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

Situasi ini  merupakan modal besar bagi Prabowo ataupun figur yang akan didukungnya. Apalagi ketika pemerintahan Jokowi melakukan kriminalisasi terhadap para ulama dan menuduh mereka makar, Prabowo dengan tegas menentangnya. Dia tampil di depan membela.

Berbagai aksi itu juga memunculkan sebuah fenomena berbagai elemen Islam yang selama ini terpecah-pecah dalam berbagai harakah (gerakan) menjadi satu. Mereka mengesampingkan berbagai perbedaan dan bersatu menentang Ahok dan tentu saja Jokowi sebagai pelindungnya.

Seperti kutukan keris Empu Gandring, akankah posisi Gubernur DKI Jakarta menjadi senjata yang menusuk Jokowi, seperti halnya ketika dia gunakan untuk menusuk Prabowo?

Sebagai orang Jawa yang mempercayai mitologi, bayang-bayang ini  setidaknya akan menghantui Jokowi. Kemenangan Anies-Sandi bisa menjadi awal keruntuhan Jokowi.*

*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini jadi Konsultan Media dan Politik.

Pos terkait