Sang Guru Besar Ibnu Rusyd dan Ustadz Abdul Somad

Oleh: Chavchay Syaifullah

Sebelum Ustadz Abdul Somad (UAS) hadir di medan dakwah dengan metodologi perbandingan (muqaranah) yang cukup cemerlang, di Andalusia (Spanyol) pada abad ke-12 dulu terdapat seorang cendekiawan muslim yang masyhur bernama Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd merupakan Sang Guru Besar di penghujung Abad Pertengahan yang menyaksikan kran-kran ijtihad di bidang fiqih tertutup di sana-sini dan pertentangan para pemikir Islam yang tajam di bidang teologi. Dengan keberanian dan kecerdasan yang tidak diragukan oleh para pemikir zamannya, tokoh Islam yang lahir di Cordova, Andalusia (Spanyol), ini akhirnya menempuh metode perbandingan di bidang fiqih dengan hasil yang cukup menakjubkan. Puncak dari terobosannya di bidang hukum Islam adalah dijabarkannya argumen-argumen dasar dan primer tentang hukum Islam dalam kitabnya yang terkenal, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid. Metode perbandingan (muqaranah) yang dipilih Ibnu Rusyd menjadi oase di ujung kebuntuan ijtihad.

Bacaan Lainnya

Di tengah kesibukannya sebagai hakim di Cordova, di usia ke-62 tahun itu Ibnu Rusyd menuliskan argumen-argumen hukum syar’i dengan tekun, mulai dari zaman sahabat hingga ulama fiqih paling mutakhir di abad ke-12 itu. Dari kalangan Sahabat, Ibn Rusyd menulis pandangan Ali, Umar, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Zaid bin Tsabit, Ibn Umar dan Aisyah. Dari kalangan Tabi’in dan Tabi’ittabi’in, ia menulis Ikrimah, Nafi’, Sa’id ibn al Musayyab, Ibn Syihâb az zuhrî, Ibrahim an Nakh’i, Hammad ibn abî Sulaimân, Mujâhid, Thâwus dll. Dari kalangan Imam Mazhab, selain Imam mazhab yang empat, ia mengulas pandangan Imam Abi Lailâ, Sufyan ats Tsauri, Laits ibn Sa’d, Auzâ’i, Sufyan ibn Uyainah, Hasan al Bashri, Ibn Jarîr at Thabarî, Daud azh Zhâhir dll. Perbandingan-perbandingan mazhab dalam hukum Islam yang dijabarkan Ibnu Rusyd tak ayal menjadi saluran baru bagi terbukanya kran ijtihad dalam hukum Islam.

Dalam filsafat, Ibnu Rusyd juga membuat perimbangan berarti dengan menjawab kitab penting Imam Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Para Filsuf). Kitab yang masyhur dengan tudingan Ghazali terhadap para filsuf yang telah keluar dari Islam dengan mengetengahkan 20 kekacauan filsafat. Ibnu Rusyd lalu hadir dengan kitab Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan) yang ditulis khusus untuk menjawab kitab Tahafut al-Falasifah, terutama pada tiga masalah yang oleh Al-Ghazali dinilai dapat menyebabkan kekafiran, yaitu: qidamnya alam, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, dan tidak adanya pembangkitan jasmani. Dalam konteks teologi, Ibnu Rusyd dengan demikian ikut memberi perkembangan berarti bagi para pendahulunya dari Al Kindi hingga Ibnu Sina dan Al Farabi, meskipun terjadi kritik-kiritik keras di sana-sini. Resiko sebagai tokoh yang ingin mendamaikan ragam mazhab dan memoderasi pemikiran, memang bukan tanpa tekanan. Ibnu Rusyd pun akhirnya harus mengalami pengusiran dari Cordova hingga ke Maroko.

Di Indonesia kini, kita mendapatkan sosok ulama yang berhasil menghadirkan metode perbandingan mazhab secara meyakinkan, yakni Ustadz Abdul Somad. Maroko lalu menjadi kata kunci baru dalam melihat hubungan Sang Guru Besar Ibnu Rusyd dan Ustadz Abdul Somad. Selepas menghabiskan karir sebagai ilmuwan dan hakim di Andalusia, Ibnu Rusyd diasingkan ke Maroko. Ia pun membangun iklim intelektual baru di Maroko. Di sisi lain, UAS yang setelah belajar di Mesir, melanjutkan studinya ke Maroko. UAS seperti menjemput iklim intelektual yang pernah dibangun Ibnu Rusyd hingga akhir hayatnya di Maroko.

Membandingkan Sang Guru Besar Ibnu Rusyd dan Ustadz Abdul Somad memang terlalu jauh. Apalagi pengetahuan yang dikuasai Ibnu Rusyd terlampau ragam dan ensiklopedik dan semasa hidupnya Ibnu Rusyd  terbukti telah melahirkan banyak penemuan penting di berbagai bidang. Di usianya yang muda, Ibnu Rusyd bahkan telah menjadi seorang penemu ilmu jaringan tubuh (histology) dan berjasa penting dalam penelitian pembuluh darah dan penyakit cacar. Lalu ia menulis lebih 10 buku tentang kedokteran hingga ia pernah diangkat sebagai dokter khusus istana. Ia juga seorang yang dikenal bijaksana sebagai hakim dan tekun sebagai fisikawan. Ini prestasi yang luar biasa. Di bidang filsafat, sebagai orang yang dianggap paling menguasai pemikiran Aristoteles di zamannya, Ibnu Rusyd mampu menjadi motor yang menggabungkan tradisi filsafat Yunani klasik dengan filsafat Islam. Lebih jauh, ia adalah tokoh yang berhasil menjelaskan titik temu filsafat dan agama, rasio dan wahyu, serta keberanian untuk berijtihad.

Di sisi lain, kini kita melihat Ustadz Abdul Somad telah menjadi sosok ilmuwan yang berani menjabarkan perbedaan-perbedaan mazhab. Ia telah menjadi seorang ulama muda yang sedang berjuang menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat zaman kini dengan cara menempuh pendekatan perbandingan mazhab seperti telah dilakukan Ibnu Rusyd. UAS juga sedang menempuh berbagai metode dakwah seperti pernah dijelaskan Ibnu Rusyd dalam tiga metode, yaitu: metode al-Khatabiyyah (retorika), metode al-Jadaliyyah (dialektika), dan metode al-Burhaniyyah (demonstratif). Bagi Ibnu Rusyd, ketiga metode ini diperlukan untuk mengabarkan kebenaran kepada ummat, sebab daya penerimaan ilmu pengetahuan ummat berbeda-beda.

Kita masih harus bersabar menyaksikan perjalanan UAS di medan dakwah, di tanah air Indonesia ini. Kita doakan ia bisa menjadi ulama besar dengan warisan ilmu pengetahuan yang bisa mencerahkan umat generasi mendatang yang cerdas dan berkarakter. Cerita Ibnu Rusyd setelah wafat, terbukti telah melahirkan cerita indah. Sebab generasi Averroisme (pengikut Ibnu Rusyd) telah melahirkan era renaisans di Eropa. Masa kebangkitan warga Eropa akibat pencerahan yang telah dilakukan Ibnu Rusyd (Averrose) telah menyadarkan kebesaran warisan ilmu pengetahuan di Yunani dan Romawi yang tenggelam. Generasi Averroisme dalam era renaisans mengangkat kembali kedaulatan manusia yang telah dirampas oleh Dewa dan mitologi dalam waktu yang lama. Mereka menggulirkan terus kebenaran pandangan Ibnu Rusyd tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama, serta menunjukan filsafat dan ilmu pengetahuan sebagai warisan penting dari peradaban Yunani dan Islam. ###

*CHAVCHAY SYAIFULLAH adalah sastrawan dan budayawan. Ia pernah belajar di Pesantren Daar el Qolam, Banten; Rabithah Ali Alamsyah, Mekkah, Arab Saudi; dan di Pesantren Raudhoh al-Hikam, Cibinong, Jawa Barat. Kini ia menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Banten. Ia juga Ketua Departemen Seni dan Budaya Persaudaraan Muslimin Indonesia (PARMUSI), serta aktif di organisasi Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Lembaga Seni dan Budaya Islam (LESBUMI) dan sejumlah perkumpulan sastrawan nasional dan internasional. Karya-karya sastranya baik puisi, novel, cerpen, naskah drama, skenario film, lirik lagu dan esai telah terpublikasi di berbagai koran, majalah dan jurnal.

Pos terkait