Seba Baduy dan Amanat Menjaga Kelestarian Alam

SERANG – Prosesi sakral Urang Kanekes atau dikenal Suku Baduy yakni Seba Baduy Gede telah dimulai sejak jumat kemarin, sambil membawa beragam hasil bumi sebagai ‘buah tangan’ untuk Ibu Alit dan Bapak Gede.

Suku Baduy Dalam berjalan kaki tanpa alas sejak Jumat, 28 April 2017 dari kampungnya di Kanekes dengan tujuan utamanya menemui Ibu Gede atau Bupati Lebak. Lalu perwakilan Baduy Dalam dan Baduy Luar pada Sabtu, 29 April 2017 berjalan untuk menemui Ibu Leutik atau Bupati Pandeglang.

Bacaan Lainnya

Sedangkan selebihnya melanjutkan perjalanan menuju Pendopo Gubernur Banten di Kota Serang untuk bertemu Bapak Gede atau Gubernur Banten sebagai puncak tradisi adat Seba Baduy. Hingga pada penutupnya, mereka bersilaturahmi dengan Ibu Leutik lainnya, yakni Bupati Serang pada Minggu, 30 April 2017.

Pada kesempatan Seba tersebut masyarakat adat Baduy meminta kepada Pemprov Banten dan pemerintah kabupaten kota untuk menjaga kelestarian alam.

Perwakilan masyarskat Baduy,  Jaro Saija mengatakan, permintaan tersebut karena kekhawatiran masyarakat atas keberlangsungan kelestarian alam di Provinsi Banten. “Kerusakan itu ada aja,  ada yang dirusak ada yang rusak (secara alami),” ujar Jaro Saija.

Sesuai petuah masyarakat adat Baduy,  gunung ulah dilebur lebak ulah dirusak,  masyarakat khawatir jika petuah tersebut dilanggar akan mengakibatkan rangkaian bencana alam seperti longsor,  gempa bumi,  dan bencana lainnya.

IMG_0874

Selain alam di lingkungan masyarakat Baduy, pemerintah pun diharapkan menjaga kelestarian disejumlah daerah yang disebut oleh masyarakat Baduy sebagai titipan dari leluhur.  “Titipan ada Gunung Karang, Pulosari, Ujung Kulon,  Sahianh Sirah,  Gunung Kembang, dan Gunung Madu,” ujarnya Jaro Saija.

Sementara itu, Penjabat Gubernur Banten Nata Irawan mengatakan, seba baduy senantiasa harus terus dilestarikan dan diselenggarakan setiap tahunnya, mengingat tradisi ini mengandung makna pengakuan dan silaturahmi dari masyarakat adat Baduy terhadap pemerintahnya.

Menurut Nata, tradisi ini bukan saja menarik dari sisi budaya dan pariwisata, namun ada amanat terkait pelestarian lingkungan alam yang patut dicerna bersama, dimana pelestarian lingkungan alam adalah hal yang patut menjadi perhatian semua pihak.

“Tentu kami akan bersama-sama dengan pemerintah kabupaten/kota menjaga Banten, terutama kelestarian alam yang ada di Banten agar tetap lestari,” kata Nata didampingi forum kordinasi pimpinan daerah (FKPD) Provinsi Banten dan para pejabat lainnya.

Dilanjutkan Nata, Seba Baduy merupakan upacara adat tradisi sakral asli dari warga Baduy. “Banyak hal yang patut kita tiru dari kearifan lokal saudara kita dari Kanekes ini, seperti falsafah hidup lojor teu meunang diteukteuk, pondok teu meunang disambung yang berarti makna hidup apa adanya, tidak menambah atau mengurangi,” Nata.

Nata Irawan mengajak kepada seluruh masyarakat Banten untuk menjadikan  seba baduy ini menjadi momentum perenungan kiprah kita dalam pembangunan, serta ketertakitannya dengan budaya peninggalan pendahulu.

Masih di tempat yang sama, Kepala Dinas Pariwista Provinsi Banten Eneng Nurcahyati mengatakan, kegiatan ritual tahunan seba Baduy ini dimaksudkan sebagai bentuk ketaatan dan aturan serta rasa syukur atas hasil panen dan menjalin silaturahmi kepada Pemprov Banten.

“Rangkaian Seba warga suku Baduy sudah dilaksanakan sejak Kamis (24/4). Masyarakat Baduy ini terlebih dahulu melakukan seba di Pendopo Kabupaten Lebak. Usai bersilaturahmi dengan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya, rombongan warga Baduy bergerak menuju Pendopo Gubernur dengan berjalan kaki,” katanya.

Eneng Nurcahyati, mengaku akan melakukan evaluasi terkait agenda Seba Baduy. Lebih lanjut, Eneng menginginkan Seba Baduy mendongkrak pariwisata di Banten. IMG_0912

“Ini sudah setiap tahun dilaksanakan, apa yang bisa kita berikan untuk pariwisata tapi juga tidak merusak warisan budaya,” kata Eneng.(ADV)

Pos terkait