Membaca, Jadi Aku Tahu
Wartawan muslim hendaknya pula menghayati sabda pertama di Gua Hira, yakni surat Al-‘Alaq ayat 1 – 5. Manusia diperintah membaca, sampai dua kali. Ayat ke-5, pesan untuk kita, bahwa Allah-lah yang nanti akan mengajar manusia, sehingga manusia bisa mengetahui apa-apa yang tak diketahui sebelumnya.
Dengan demikian, jangan khawatir, baca saja dulu, nanti Allah SWT yang akan menjadi “guru besar”nya, Allah SWT yang akan memberi pelajaran sehingga jadi “aku tahu”. Membaca dulu, baru tahu dan paham. Allah SWT yang menganugerahi pengetahuan dan pemahaman kepada hamba-Nya.
Membaca zaman kini, tak selalu melalui buku konvensional atau koran konvensional, tetapi juga sudah pakai huruf /e/, ada e-book, e-paper, e-magazine, dan lain-lain. Lebih dari itu, bacalah segala gejala, segala yang dilihat dan didengar. Kita jadi tahu dan memahami semua yang dibaca itu karena memang janji-Nya. Allah yang akan mengajar! Dari Allah, jadi aku tahu.
Ayat Komunikasi antarmanusia
Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 mengingatkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia dari lak-laki dan perempuan, lalu menjadikan mereka beberapa kelompok dimensi tempat dan etnis untuk saling mengenal.
Manusa yang paling mulia adalah yang paling takwa kepada-Nya, bukan dilihat dari etnis, bangsa, bahasa, warna kulit, keturunan, dan lain-lain. Artinya pula semua orang punya modal dan kesempataan yang sama dan setara untuk jadi manusia yang paling mulia di sisi-Nya.
Manusia bergaul, berkomunikasi, saling memengaruhi untuk menyalurkan dan mengembangkan fitrahnya. Manusia berlomba-lomba dan bersaing. Manusia menaklukkan alam, bahkan menaklukkan sesamanya.
Ayat 13 surat Al-Hujurat itu hanya berpesan pendek saja. Pada akhir ayat itu disebutkan, manusia yang paling mulia hanyalah yang paling bertakwa kepada-Nya. Siapa pun, akan mendapatan hgelar itu, tanpa melihat status sosial atau strata sosial, atau status apa pun.
Manusia diciptakan beragam bangsa, bahasa, dan budaya. Semua bisa bekerja sama, satu sama lain, saling menguntungkan. Di sini, komunikasi jadi “jembatan” abstrak untuk membangun hubungan-hubungan sosial. Fitrah manusia pula mau berkomunikasi.
Teori Pers Islam, Mengapa Tidak?
Secara keseluruhan, surat Al-Hujurat mengajarkan jurnalisme damai, jurnalisme kasih sayang, jurnalisme yang piawai mengatur hubungan dengan berbagai lapisan dan tingkatan, sekaligus mengatur akhlak dan sopan santun terhadap berbagai lapisan dan tingkatan itu. Wartawan, yang selalu berhubungan dengan berbagai sumber berita dari berbagai kalangan dan tingkatan itu bisa menjadikan Al-Hujurat sebagai pedoman.
Surat Al-Hujurat adalah modal utama jadi wartawan profesional, cerdas, dan cekatan. Sungguh! Anda muslim khususnya, dan Anda mau menjadi wartawan? Maka, wajiblah Anda memahami dan menghayati surat Al-Hujurat sebelum bismillah menggeluti profesi wartawan.
Anda wartawan yang mengusung jurnalisme damai, juga jurnalisme kasih sayang, seperti diajarkan surat Al-Hujurat? Maka, Anda wartawan yang cerdas, media Anda cerdas, dan sekaligus Anda dan media Anda akan mencerdaskan bangsa. Insya Allah!
Bekal ilmu dan keterampilan tidaklah cukup, karena harus dilengkapi dengan kepribadian wartawan itu sendiri. Surat Al-Hujurat, insya Allah, akan membentuk kepribadian wartawan.
Di samping itu, surat Al-Hujurat ini akan semakin penting pula sebagai bahan dasar perumusan teori Pers Islam. Al-Hujurat sangat relevan untuk pengayaan khazanah ilmu komunikasi umumnya dan ilmu kewartawanan khususnya. Islam tampil dengan ajarannya yang lengkap, dengan kitab sucinya, Al-Qur’an, yang juga mengajari tentang profesi wartawan muslim dan ilmu kewartawanannya yang Islami, melalui surat Al-Hujurat itu.
Teori pers klasik yang selama ini dikenal hanya empat, yakni Authoritarian, Libertarian, Social Responsibility, dan Soviet Totalitarian. Ditambah dua teori baru oleh Denis McQuail (Pers Pembangunan dan Partisipan-Demokratis). Anwar Arifin memasukkan Pers Panacasila sebegai teori pers ketujuh, Lalu, kalau lahir Islamic Press Theory (teori Pers Islam), dengan basis surat Al-Hujuraat yang mengajarkan sopan santun itu, mengapa tidak? (Dean Al-Gamereau)





