Menyambut Hari Pers Nasional 2026 di Provinsi Banten Pesan Al-Qur’an untuk Wartawan (13)

Stop gosip dan fitnah!. Kita diam! (Foto ilustrasi : https://www.istockphoto.com/id)

Dosa Berjamaah

Fitnah tak pernah berjalan sendiri. Ia selalu ditemani. Seseorang mungkin memulainya, dengan satu kalimat kecil, setengah bercanda, setengah menyindir. Namun, kalimat itu tak akan menjadi bencana jika berhenti di mulut pertama. Ia menjadi ifkun, justru ketika banyak orang merasa tak bersalah saat mengulangnya. Niatnya, mungkin sekadar pengisi waktu, bahan diskusi, atau sekadar memecah senyap.

Bacaan Lainnya

Di Madinah, fitnah terhadap Aisyah  tak meledak karena satu tokoh. Ia membesar karena ruang sosial memberinya tempat hidup. Ada yang mendengar lalu bercerita kembali. Ada yang tak tahu, tetapi penasaran. Ada yang ragu, namun tetap menyebutkannya. Tak semua berniat jahat, memang, malah munmgkin sebetulnya berniat baik.. Namun,  niat baik tak selalu menyelamatkan perbuatan buruk.

Maka, di  situlah dosa berubah bentuk: dari dosa personal menjadi dosa kolektif, dosa berjamaah. Allah SWT menegur bukan hanya penggagasnya, melainkan juga masyarakatnya, “Mengapa ketika kamu mendengarnya, orang-orang mukmin tidak berprasangka baik…?” (An-Nur : 13).

Pertanyaan itu bukan untuk satu orang. Ia diarahkan kepada kita semua, pendengar, pemirsa, penikmat cerita, dan penyebar pasif. Dalam logika wahyu, diam yang membiarkan kebohongan hidup,  juga memiliki beban moral.

 

Aisyah Luka, Sembuh oleh Wahyu

Fitnah itu ringan di lisan, tetapi berat di sisi Allah SWT. Perkara  yang paling mengerikan dari dosa kolektif adalah rasa aman palsu. “Bukan saya yang memulai….”, “Saya hanya mendengar…”, dan  “Saya hanya mengulang.” Atau, dengan bahasa sekarang, saya hanya share dari tetangga sebelah. Padahal. fitnah tak butuh pencipta banyak. Ia hanya butuh penyambung.

Allah SWT bahkan menegur anggapan bahwa ini perkara kecil: “Kamu menganggapnya ringan, padahal di sisi Allah ia besar.” (An-Nur : 15). Ukuran dosa dalam kisah ini tak ditentukan oleh niat personal semata, tetapi oleh dampak sosialnya. Akibatnya, kehormatan runtuh, kepercayaan yang retak, dan luka yang diam-diam tumbuh di hati korban. Aisyah pernah mengalaminya. Luka menganga dan dalam, lalu  perlahan pulih setelah dibela wahyu-Nya.

Menariknya, wahyu tak menyebut satu persatu nama  penyebar fitnah. Seolah-olah,  Allah SWT tak ingin kita sibuk mencari kambing hitam, tetapi bercermin. Fitnah selalu menemukan wajah baru di setiap zaman.

Hari ini, zaman sekarang ini, ia berpindah dari lorong Madinah ke layar gawai. Dari bisik-bisik ke tombol share. Dari majelis kecil ke ruang digital tanpa batas. Dosa kolektif atau dosa berjamaah itu terasa semakin ringan, karena semua orang melakukannya.

 

Hentikan Gosip dan Fitnah!

Kisah “Hadiitsu Al-Ifki” tak ditutup dengan ke-putus asa-an. Ia dipungkas dengan peringatan yang menyelamatkan agar manusia belajar berhenti, agar lidah dan jari belajar patuh, dan agar kebenaran tak selalu terlambat.

Di situlah “hak jawab ilahi” menjadi puncak cerita. Allah SWT membersihkan korban, menegur masyarakat, dan memberi kita kesempatan untuk tak mengulangi lagi dosa yang sama.

Mungkin, pesan paling sunyi dari kisah ini adalah ini : bahwa fitnah hanya bisa hidup di tempat yang ramai membicarakannya. Kadang-kadang, amal paling besar bukan berkata benar, melainkan menolak ikut berbicara ketika kebenaran belum kita ketahui pasti.

Tak  semua dosa dilakukan sendirian. Sebagian dilakukan bersama, dan justru karena itu gosif dan fitnah harus kita hentikan bersama-sama. Hemntikan gosip dan fitnah! Kita diam, tak men-sharenya  lagi.  (Dean Al-Gamereau)

Pos terkait