Cahaya dari Surat An-Nur
Salah satu tantangan terbesar masyarakat modern bukanlah kekurangan informasi, melainkan kelebihan informasi tanpa etika. Di ruang digital hari ini, kabar beredar begitu cepat, melampaui daya nalar dan kehati-hatian.
Dalam situasi seperti ini, Surat An-Nur ayat 11–20 menawarkan pelajaran penting tentang kode etik jurnalistik, atau etika bermedia, bahkan jauh sebelum istilah-istilah media massa dikenal.
Ayat-ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa “Hadiitsu Al-Ifki” (kabar bohonng), fitnah terhadap Aisyah. Kabar bohong itu mengguncang Kota Madinah, meresahkan keluarga Rasulullah SAW, dan melibatkan banyak orang yang sebenarnya tak berniat jahat. Di sinilah letak relevansinya, fitnah tak selalu disebarkan oleh orang yang berniat buruk, melainkan juga oleh mereka yang lalai dalam menyikapi informasi.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa pembawa berita bohong itu berasal dari “golongan kamu juga” (QS. An-Nur: 11). Ini adalah pernyatan tepat bahwa disinformasi sering sekali lahir dari lingkungan sendiri.
Dalam konteks bermedia sosial, hari ini, hoaks tak selalu dibuat oleh aktor jahat, tetapi disebarkan oleh pengguna biasa, oleh kita, yang terburu-buru membagikan kabar tanpa verifikasi. Bagi wartawan, ayat ini peringatan juga agar tabayyun atau check and recheck tak lagi boleh dutawar.
Delapan Bimbingan Cahaya
Bimbingan cahaya pertama. Etika bermedia yang ditegaskan dalam Surat An-Nur adalah prasangka baik. “Mengapa orang-orang mukmin tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri?” (An-Nur : 12). Dalam dunia jurnalistik modern, prinsip ini dikenal sebagai asas praduga tak bersalah. Informasi tentang seseorang tak boleh diposisikan sebagai kebenaran sebelum ada bukti yang sahih.
Bimbi ngan cahaya kedua. Verifikasi. Al-Qur’an menegur keras penyebaran tuduhan tanpa bukti dengan menanyakan, “Mengapa mereka tidak mendatangkan empat saksi?” (An-Nur : 13). Ini bukan semata-mata soal hukum pidana, melainkan pesan moral bahwa informasi yang menyangkut kehormatan manusia harus diuji secara ketat. Tanpa verifikasi, berita bisa berubah jadi tuduhan tanpa data, informasi menjadi fitnah.
Bimbingan cahaya ketiga. Awas, amplifikasi tanpa ilmu! Ini sangat relevan dengan era media sosial. Al-Qur’an mengkritik mereka yang menerima berita “dari mulut ke mulut” lalu menyebarkannya begitu saja (An-Nur : 15). Teguran ini diarahkan bukan hanya kepada pencipta fitnah, melainkan juga kepada para penyambungnya. Dalam bahasa hari ini, membagikan berita tanpa mengecek kebenarannya adalah pelanggaran etika.
Bimbingan cahaya keempat. Awas, dosa kolektif! Sering dilupakan, Al-Qur’an menegaskan bahwa dosa dalam penyebaran fitnah bersifat kolektif. Berhati-hatilah agar tak terjerumus ke “lembah” dosa kolektif. Allah SWT mengingatkan, “Kamu menganggapnya ringan, padahal di sisi Allah ia besar” (An-Nur :15).
Banyak orang yang menyebarkan kabar bohong dengan alasan sepele, misalnya, hanya meneruskan, hanya membagikan, hanya ikut ramai. Atau wartawan yang kurang pengetahuan menyebutnya, hanya menuliskan fakta. Padahal, dampaknya bisa menghancurkan martabat seseorang dan merusak tatanan sosial. Berita tak dimaksudkan untuk melukai atau mencoreng harga diri seseorang. Bahkan, untuk mengangkat harkat dan derajat manusia.
Bimbingan cahaya kelima. Kesadaran dampat sosial media. Surat An-Nur juga mengajarkan. setiap informasi memiliki konsekuensi. Media, baik profesional maupun personal, tak pernah netral. Ia selalu membawa efek : menenangkan atau mengeruhkan, mencerdaskan atau menyesatkan. Oleh karena itu, etika bermedia tak cukup berhenti pada kebebasan berekspresi, tetapi harus mencakup tanggung jawab moral.
Bimbingan cahaya keenam. Akurasi, verifikasi Jika dibandingkan dengan kode etik jurnalistik modern, prinsip-prinsip dalam Surat An-Nūr sangat sejalan. Akurasi, verifikasi, keadilan, dan tanggung jawab sosial adalah prinsip-prinsipnya.
Al-Qur’an melangkah lebih jauh dengan menambahkan dimensi spiritual, akuntabilitas di hadapan Tuhan. Etika tak hanya diukur oleh hukum atau sanksi sosial, tetapi juga oleh nurani dan iman.
Bimbingan cahaya ketujuh. Akuntabilitas. Di hadapan Tuhan inilah yang membedakan dengan jurnalisme yang lain. Pertanggungjawaban, bukan hanya di dunia, tetapi juga sampai di akhirat, dan bagian dari hisab amal.
Di tengah arus informasi yang makin deras, Surat An-Nūr mengingatkan bahwa tak semua yang dapat disebarkan layak untuk disebarkan. Tak semua yang viral pantas dipercaya..
Etika bermedia menuntut jeda: berhenti sejenak, memeriksa, lalu memutuskan dengan bijak : berita naik cetak atau tidak, tayang atau tidak, disiarkan atau tidak…
Bimbingan cahaya kedelapan. Kehati-hatian bentuk wujud keiamanan. An-Nur 17 menutup rangkaian ini dengan peringatan tegas: “Allah memperingatkan kamu agar tidak mengulangi perbuatan seperti itu selama-lamanya.”
Peringatan ini bersifat universal dan lintas zaman. Peringatan ditujukan kepada siapa pun yang hidup di tengah arus informasi, termasuk kita hari ini. Dalam dunia yang dikuasai kecepatan dan sensasi, Surat An-Nur mengajarkan bahwa kehati-hatian adalah wujud atau bentuk keimanan.
Menahan diri dari penyebaran kabar bohong adalah sikap bermedia yang bermartabat, tak tergoda oleh ketergesa-gesaan penulisan atau penyebaran berita. (Dean Al-Gamereau)





