Menyambut Hari Pers Nasional Tahun 2026 di Provinsi Banten Pesan Al-Qur’an untuk Wartawan (16)

Menahan atau mengatur rasa ingin tahu, saat ber-media sosial, kadang-kadang, memang perlu. (Sumber ilustrasi : https://www.hukumonline.com)

Prasangka Baik dan Verifikasi

Di era media digital, kecepatan sering kali mengalahkan kehati-hatian. Informasi berpindah dari satu gawai ke gawai lain dalam hitungan detik, sedangkan  kebenaran tertatih-taatih  mengejar untuk melumpuhkannya.

Bacaan Lainnya

Dalam situasi seperti itu, etika bermedia bukan lagi pilihan tambahan, melainkan kebutuhan mendesak. Menariknya, Al-Qur’an telah lama meletakkan fondasi etika tersebut melalui Surat An-Nur ayat 11–20.

Ayat-ayat ini turun merespons peristiwa “Hadiitsu Al-Ifki” , fitnah besar terhadap Aisyah, istri Rasulullah ﷺ. Namun, Al-Qur’an tak berhenti pada pembelaan personal saja, malah justru menjadikan peristiwa itu sebagai pelajaran publik tentang bagaimana seharusnya informasi diproduksi, diterima, dan disebarkan.

Hal pertama yang ditekankan adalah prasangka baik. “Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri?” ( An-Nur : 12). Dalam konteks bermedia, ini berarti tidak tergesa-gesa mempercayai kabar yang merendahkan kehormatan seseorang. Etika ini sejalan dengan prinsip dasar jurnalistik modern : praduga tak bersalah.

Prinsip kedua adalah verifikasi. Al-Qur’an mengkritik keras kabar yang tidak disertai bukti kuat, bahkan menyebutnya sebagai kedustaan besar. Tuntutan menghadirkan saksi (An-Nur :13) dapat dibaca sebagai pesan universal bahwa informasi harus diuji, dikonfirmasi, dan ditopang data. Tanpa verifikasi, berita berubah menjadi tuduhan. Opini menjadi vonis.

 

Awas, Share tanpa Tabayyun!

Perkara yang paling relevan dengan praktik bermedia hari ini adalah teguran, seperti pesan An-Nur 15, Ketika kamu menerima berita itu dari mulut ke mulut dan mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui ilmunya.”

Ajaran ayat ini menyoroti peran penyebar, bukan hanya pembuat fitnah. Dalam bahasa kekinian, ia mengkritik budaya share tanpa tabayyun. Orang-orang yang merasa “hanya meneruskan” tetap diposisikan sebagai bagian dari masalah.

Al-Qur’an juga mengingatkan bahaya meremehkan dampak informasi. “Kamu menganggapnya ringan, padahal di sisi Allah itu besar” (An-Nur :15). Media, baik profesional maupun personal, sering lupa bahwa satu kabar dapat menghancurkan nama baik, relasi sosial, bahkan masa depan seseorang. Viral tidak pernah netral; ia selalu membawa konsekuensi.

Menariknya, Surat An-Nūr tidak hanya menegur individu, tetapi juga kesalahan kolektif. Fitnah menjadi besar karena dibiarkan beredar. Ini selaras dengan realitas hari ini, ketika algoritma media sosial mempercepat penyebaran kabar sensasional.

Namun, Al-Qur’an menegaskan bahwa tanggung jawab etis tetap berada di tangan manusia, bukan pada mesin. Mesin tak akan pernah dihisab, diminta pertanggungjawabannya, meski “punya kecerdasan”.

 

Etika Penggunaan Media Sosial

An-Nur:  17–20 kemudian menutup dengan peringatan dan harapan agar masyarakat beriman tak mengulangi kesalahan yang sama. Di sini, etika bermedia (sosial) diposisikan sebagai proses pendidikan berkelanjutan. Kesalahan informasi bukan hanya soal hukum, tetapi soal pembentukan karakter publik.

Dalam perspektif ini, An-Nur :  11–20 dapat dibaca sebagai piagam etika penggunaan media (sosial), terdiri dari berprasangka baik, memverifikasi informasi, menahan diri dari menyebarkan kabar yang belum jelas, dan menyadari dampak sosial dari setiap pesan.

Prinsip-prinsip ini melampaui zaman, relevan bagi media cetak, elektronik, dan media sosial, dan media siber. Di tengah banjir informasi hari ini, mungkin sikap paling etis bukanlah selalu berbicara, melainkan tahu kapan harus diam. Juga, kapan harus berbicara.

Dalam etika ber-media (sosial) menurut Al-Qur’an, menahan jari bisa lebih mulia daripada menuruti rasa ingin tahu. Hati yang tertata bisa bersabar. Menahan nafsu ingin tahu (yang kadang sebetulnya tak perlu tahu (Dean Al-Gamereau).

Pos terkait