Fitnah Digital
Pada zaman Rasulullah ﷺ, fitnah disebarkan dari mulut ke mulut. Hari ini, zaman teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ini fitnah menyebar dari server ke server. Dulu, fitnah berjalan pelan. Kini, berlari dengan kecepatan algoritma. Inilah yang bisa kita sebut sebagai supremasi algoritma. Mesin penentu distribusi informasi, tampaknya, lebih berkuasa dari akal, nurani, dan etika manusia.
Al-Qur’an telah merekam satu peristiwa fitnah paling traumatis dalam sejarah Islam, “Hadiitsu Al-Ifki”, kabar bohong terhadap Aisyah (An-Nur 11–20). Allah SWT menyayangi umat-Nya. Aisyah dan Safwan dibela wahyu.
Menariknya, ayat-ayat ini tak hanya membersihkan nama Aisyah dan Safwan, tetapi juga sekaligus mengajarkan kerangka etika media yang sangat relevan dengan dunia digital zaman sekarang ini.
Algoritma tak mengenal:benar atau salah, adil atau zalim, fitnah atau fakta. Algoritma hanya mengenal klik, durasi (tonton), reaksi emosi, dan viralitas. Maka, kabar bohong sering sekali “menang”
Kebenaran seperti “kalah” karena memang membutuhkan verifikasi. Fitnah cukup dengan sensasi. Inilah supremasi algoritma ketika nilai kebenaran dikalahkan oleh nilai keterlibatan (engagement). Algoritma tanpa akhlak.
Fitnah tak selalu datang dari “musuh luar”. Dalam bahasa hari ini, disinformasi sering disebarkan oleh pengguna biasa, bukan hanya buzzer profesional.
Sang buzzer, bisa datang dari lingkaran diri sendiri. Bukan orang jauh. Al-Qur’an mengingatkan, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga…” (An-Nur: 11)
Tuntunan Ayat untuk Wartawan
Jika An-Nur : 11 – 20 dibaca sebagai ayat-ayat tuntunan atau pedoman untuk wartawan, maka kita menemukan prinsip-prinsip kunci, (a) mendahulukan praduga baik (presumption of innocence). “Mengapa orang-orang mukmin tak berprasangka baik…” (ayat 12). Dalam jurnalisme modern, tidak menghakimi sebelum ada bukti hasil verifikasi ketat. “Mengapa mereka tidak mendatangkan empat saksi?” (An-Nur : 13). Ini adalah prinsip check and recheck. Tanpa data kuat, informasi adalah tuduhan. (b) larangan amplifikasi. “Ketika kamu menerima berita itu dari mulut ke mulut…” (An-Nur : 15) . Ayat ini menegur penyebar pasif, bukan hanya menegur produsen hoaks. Dalam konteks algoritma, share tanpa pikir adalah dosa juga, (c) kesadaran dampak sosial “Kamu menganggapnya ringan, padahal di sisi Allah itu besar.” (An-Nur : 15).
Jangan menganggap sepele fitnah. Korban bisa terluka berlama-lama,. bahkan mungkin kemudian “terpahat” jadi saksi sakit hati. Bagi orang yang beriman, ada kesadaran yang terbangun. Ketika bersalah, lalai men-share, lupa tabayyun, bisa ber-istigfar dan bertobat.
Jadi korban fitnah, bisa bersabar, sambil memohon pertolonghan Allah SWT. Seperti Aisyah yang mengutip Nabi Yusuf AS (Yusuf : 18) saat jadi korban fitnah, sebelum dibela wahyu, “,,,fashabrun jamiilun walaahu al-musta’aanu ‘alaa maa tashifuun” (,,,maka hanya bersabar yang terbaik bagiku. Dan hanya kepada Allah saja memohon perolongan-Nya terhadap apa yang kami ceritakan).
Korban fitnah zaman sekarang ini tak mungkin dibela atau dibersihkan oleh wahyu. Al-Qur’an tak lagi turun. Namun, Allah punya cara yang lain untuk membela korban fitnah, sampai terbukti bersih.
Algoritma dan Etika
Jika algoritma adalah mesin tanpa akhlak, maka manusialah yang harus menjadi penjaga moral informasi. Pelajaran dari “Hadiitsu Al-Ifki”, (a) fitnah bukan hanya soal siapa yang memulai, tetapi juga siapa yang membiarkannya menyebar dan (b) pada era supremasi algoritma, tabayyun adalah bentuk perlawanan, Diam dari penyebaran kebohongan adalah jihad etika.
“Allah memperingatkan kamu agar tidak mengulangi perbuatan seperti itu selama-lamanya.” (QS. An-Nur: 17) Ayat ini tak hanya berbicara kepada generasi sahabat, tempo hari, tetapi juga sedang berbicara kepada generasi kita, para pengguna media sosial hari, juga praktisi jurnalistik (Dean Al-Gamereau)





