Sadranan bukan hanya dijalankan umat muslim, tetapi juga setiap agama. Melalui tradisi ini, warga tidak hanya berziarah tetapi juga menjalin kerukunan.
Pun dengan warga di Pedukuhan Koroulon kidul, Desa Bimomartani, Kecamatan Ngemplak. Tepat di tanggal 20 Jawa atau yang jatuh pada Senin (8/6/2015), baik tua-muda, laki-laki maupun perempuan, semua berkumpul di samping tempat pemakaman umum (TPU) di kampung itu. Sembari membawa bunga tabur dan juga makanan, mereka duduk bersama keluarga.
Setelah semua keluarga berkumpul, makanan-makanan sesaji itu pun ditinggalkan sejenak di atas tikar. Mereka menuju makam leluhur yang berada tak jauh dari lokasi Sadranan. Satu persatu helai daun mawar pun ditaburkan di atas nisan. Wewangian juga turut disiramkan. Sejenak memandang pusara sang leluhur, warga mulai berdoa. Tak berselang lama, mereka kembali ke lokasi Sadranan dan melanjutkan doa bersama semua warga yang dipimpin seorang Rois.
“Pada intinya, tradisi Sadranan atau Nyadran ini bertujuan memohonkan maaf pada Tuhan atas kesalahan yang dilakukan leluhur yang telah mendahului kita,” ungkap Kepala Dusun (Kadus) Koroulon Kidul, Sucipto di sela-sela upacara. Hal itu dilakukan dengan bersih makam, berdoa, dan membawa sesajian berupa nasi tumpeng yang lengkap dengan lauk pauknya dan tak lupa juga buah pisang.
Nasi tumpeng memiliki makna agar permohonan kepada Tuhan dikabulkan sedangkan pisang memiliki makna permohonan akan hidup bahagia.
Ia menjelaskan, Sadranan tidak hanya menjadi wujud permohonan tetapi juga pelestarian budaya dan agama. Secara agama, Sadranan merupakan tradisi warga Muslim. Namun warga non-Muslim pun juga turut ambil bagian dalam kegiatan itu.
“Hal ini bukti nyata bahwa Sadranan membuat warga guyub,” lanjutnya.
Bagi salah satu warga non-Muslim yang ikut dalam acara Sadranan, Sukamto, sudah berpuluh-puluh tahun keluarganya selalu ikut kegiatan Sadranan.
“Bagi saya, siapapun yang leluhurnya dimakamkan di sini , berhak ikut Nyadran. Karena inti upacara ini adalah mendoakan leluhur kita,” ungkapnya.
Bagi Sukamto, tradisi Sadranan yang setiap tahun dilaksanakan di dusunnya itu menjadi media pertemuan bagi warga sekitar dan juga kerabat dari luar daerah.
“Kalau ada Nyadran, keluarga di tempat lain, Jakarta, Pekalongan, Jogja Kota, pada pulang,” ucapnya.
Setelah doa dalam tradisi Sadranan itu selesai, semua warga duduk melingkar mengelilingi makanan yang dibawanya. Mereka makan bersama dan saling menanyakan kabar masing-masing.
Tak hanya itu, sang Kadus pun juga memanfaatkan kesempatan dengan mengingatkan para warga agar mentaati peraturan wajib pajak yang telah ditetapkan pemerintah. Bahkan imbauan membersihkan pembuangan air limbah di masing-masing rumah tangga juga disampaikan dalam kesempatan itu.