Budaya Sebagai Ruh Pembangunan

Ruang di Sisi Hulu Sungai Cibanten

Di sebuah sore yang hangat, Sabtu 27 September 2025, Café Teras Bamboo di Serang dipenuhi oleh wajah-wajah penuh semangat. Dari akademisi, budayawan, komunitas adat, hingga pelaku UMKM serta insan pariwisata semuanya duduk bersama dalam sebuah forum penting: Seminar Kebudayaan Banten.

Bacaan Lainnya

Seminar ini diprakarsai oleh Banten Genius Network secara swadaya, sebuah gerakan kolaboratif para pegiat kebudayaan yang konsisten mendorong lahirnya gagasan segar bagi kemajuan daerah. Inisiatif tersebut mendapat sambutan luas, sebab di tengah derasnya arus modernisasi, masih ada pihak yang peduli menjaga identitas Banten melalui budaya.

Provinsi Banten sejak berdirinya tahun 2000 memiliki kekayaan budaya yang sangat khas: tradisi Baduy, kesenian debus, bahasa daerah, hingga peninggalan sejarah Kesultanan Banten. Dalam rentang 25 tahun perjalanan, Banten telah mengalami dinamika pembangunan yang tak terlepas dari tantangan modernisasi, globalisasi, dan perubahan sosial.

Namun, di balik percepatan pembangunan tersebut, sebagian besar warisan budaya Banten mulai terpinggirkan. Padahal, budaya merupakan identitas, jati diri, sekaligus fondasi penting dalam membangun karakter masyarakat, menggerakkan ekonomi kreatif, dan memperkuat daya tarik pariwisata.

Tiga narasumber utama memberikan warna dalam seminar ini. Abah Yadi, budayawan kawakan, menegaskan bahwa pembangunan Banten harus berlandaskan nilai-nilai budaya lokal.
“Jika akar budaya kita terputus, maka arah pembangunan akan kehilangan jati diri,” ujarnya.

Sementara itu, Bunda Yemmelia melihat budaya dari sisi pragmatis: peluang ekonomi.
“Budaya bisa membuka lapangan kerja, dari kuliner tradisional, kerajinan, hingga pariwisata berbasis komunitas. Yang dibutuhkan hanyalah ruang dan dukungan,” katanya penuh optimisme.

Dari perspektif pariwisata, GS. Ashok Kumar menambahkan bahwa masa depan wisata Banten bukan hanya pantai atau hiburan artifisial, tetapi justru terletak pada kearifan lokal.
“Dunia mencari pengalaman otentik. Banten punya Baduy, Kesultanan, dan tradisi pesisir yang bisa menjadi magnet wisata budaya kelas dunia,” tegasnya.

Salah satu rekomendasi yang mengemuka adalah menjadikan budaya sebagai basis ekonomi kreatif. UMKM seni, kerajinan, dan kuliner lokal didorong agar diberdayakan melalui festival, pameran rutin, hingga promosi digital. Produk budaya Banten juga disepakati sebagai bagian dari branding daerah yang akan memperkuat citra Banten di kancah nasional maupun internasional.

“Anak muda bisa membuat start-up dari tradisi. Misalnya kerajinan anyaman Baduy dipasarkan secara daring, atau kuliner khas Banten dikemas modern tanpa meninggalkan cita rasa aslinya,” kata salah seorang pelaku UMKM yang hadir.

Rekomendasi lain menyoroti pengembangan pariwisata berbasis budaya. Kawasan bersejarah Kesultanan Banten di Banten Lama perlu direvitalisasi dengan tata kelola profesional. Tradisi adat seperti Seba Baduy, Seren Taun, Ruat Laut, hingga Rebo Wekasan diusulkan digelar secara inklusif, melibatkan masyarakat luas dan bukan hanya acara elitis pejabat.

“Banten harus berani tampil beda. Wisatawan tidak hanya ingin melihat pantai, mereka ingin merasakan denyut kehidupan masyarakat lokal,” ungkap seorang pegiat pariwisata.

Pendidikan budaya juga menjadi sorotan serius. Peserta seminar mendorong pendirian Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kebudayaan Banten. Bidang yang dirancang meliputi kuliner, kerajinan, kesenian tradisional, teknologi tradisional, fashion khas Banten, hingga obat tradisional dan bahasa daerah.

“Kita butuh generasi muda yang bukan hanya bangga, tapi juga terampil mengembangkan budaya,” ungkap perwakilan komunitas seni tradisional.

Diskusi panjang menghasilkan sembilan rekomendasi utama:
1. Menjadikan budaya Banten sebagai ruh pembangunan.
2. Membentuk kelembagaan kebudayaan (Dinas Kebudayaan, Lembaga Adat, TACB, TAWB).
3. Memasukkan kebijakan berbasis budaya ke RPJMD dan Perda.
4. Meningkatkan anggaran pembangunan kebudayaan.
5. Melestarikan budaya melalui museum, perpustakaan, dan kampung budaya.
6. Memperkuat pendidikan dan pelatihan kebudayaan.
7. Menjadikan budaya basis ekonomi kreatif.
8. Mengembangkan pariwisata berbasis budaya lokal.
9. Membangun kolaborasi lintas sektor dan lintas generasi

Atmosfer seminar terasa hangat, penuh kebersamaan. Dari komunitas museum, muncul desakan untuk segera membangun Museum Artefak Banten, sementara kalangan akademisi menekankan pentingnya dokumentasi warisan budaya.

Suara bulat terdengar di penghujung acara: budaya bukan sekadar masa lalu, tetapi masa depan. Jika dikelola dengan baik, budaya bisa menjadi sumber identitas, ekonomi, sekaligus daya tarik wisata yang berkelanjutan.

“Budaya Banten adalah napas kita. Jika napas ini berhenti, maka berhentilah jati diri kita,” ungkap salah satu peserta, menutup forum dengan penuh makna.

Pos terkait