Doa Anak Yatim dan Buka Pintu Kantor PWI Pusat

Anak Yatim dan Wartawan

Tahukan mereka, misalnya,  ungkapan journalist – write in water, here today and gone tomorrow? Atau,  pernahkah mereka menyebut dalil name makes news dan to print the truth? Atau, pernahkah  pula mereka berbincang istilah pendek of the record, selling point, straight news, atau trial by the press? Atau pula, mengertikah mereka tentang sandi susila jurnalistik, yang  nama resminya kode etik jurnalistik?

Bacaan Lainnya

Mereka anak-anak yatim yang berpeci dan berhijab itu, kita pastikan,  belum tahu apa-apa tentang semua itu. Bagi 70-an anak yatim itu, semuanya masih asing. Bahkan, mungkin mereka selama ini belum pernah mendengarnya. Namun, pada hari Jumat (26/09/25), justru mereka berjumpa dengan wartawan, dengan orang-orang yang paham dan pakar  tentang semua itu : wartawan yang bergabung dalam wadah profesi PWI.

Mungkin pula, mereka tak tahu sebelumnya, bahwa kehadiran mereka di Kantor PWI Pusat, lantai 4, gedung Dewan Pers itu, kemudian jadi berita di media massa dan media siber. Mereka tampil di televisi, misalnya,  dan diapresiasi teman-temannya.

 

Doa Anak Yatim

Para anak yatim itulah  yang kali pertama mengiringi pembukaan  kembali pintu Kantor PWI Pusat. Memang, hampir setahun lamanya, pintu itu terkunci. Gembok berkarat menjadi saksi bisu betapa senyapnya denyut Kantor PWI Pusat. Ruang yang dahulu riuh oleh rapat, perdebatan, dan gagasan para wartawan, tiba-tiba membeku dalam diam. PWI Pusat seakan kehilangan sinarnya.

Setelah pintu Kantor PWI Pusat dibuka, maka udara baru berembus. Debu pun seakan menari, menyambut kembali denyut yang pernah hilang. Namun,  yang mengiringi pembukaan pintu itu, bukan pejabat tinggi yang berdasi, bukan pula wakil rakyat  yang tempo hari berpidato tentang janji-janji. Pintu itu terbuka, dan  dikawal  wajah-wajah bening anak-anak yatim.

Mereka masuk dengan langkah kecil, membawa ketulusan yang tak bisa ditimbang dengan kursi jabatan atau koleksi piagam penghargaan. Doa mereka melangit, lirih namun kuat, seakan mengetuk pintu langit yang lebih tinggi dari segala ruang rapat di Kantor PWI Pusat. “Semoga PWI Pusat sukses,” begitu harap mereka, tulus, tanpa pamrih.

Barangkali, justru doa anak-anak yatim inilah yang kelak menjadi fondasi kokoh bagi sukses perjalanan PWI Pusat ke depan. Sejarah sering berulang-ulang  menunjukkan,  doa khusyuk dari hati yang paling beninglah yang  lebih mujarab. Doa yang tulus jauh melampaui  segala format strategi dan rencana manuver.

Gedung PWI Pusat kini hidup kembali. Namun, ingatlah, kejayaan sejati tak hanya bersumber dari gempita konferensi pesatuan atau sorotan tajam kamera. Mungkin, diam-diam, keberkahan sejati justru bertunas dari doa anak-anak yatim yang pernah duduk bersila di ruang ini. Kepala mereka menunduk, tetapi mengirimkan harapan yang lebih tulus daripada sekadar ambisi.

Doa anak yatim, yang tak pernah menuntut balas itu, boleh jadi, sebagai cahaya. Juga, ibarat mata air yang mengalirkan keberkahan di tengah padang gersang ambisi manusia.

Mungkin, kelak, sejarah mencatat, bahwa sukses PWI Pusat sama sekali bukan hasil strategi Ketua Umum Akhmad Munir atau buah konsolidasi Ketua Dewan Kehormatan Atal S. Depari,  melainkan sebuah berkah dari doa anak-anak yatim yang pernah bersila di Kantor PWI Pusat itu. Mereka  menitipkan masa depan PWI Pusat yang lebih baik, lebih sejahtera.

 

Anak Yatim dalam Al-Qur’an

Mungkin saja, Allah SWT berfirman, “PWI lebih maju bukan karena doamu, hai Munir, hai  Zulmansyah, hal Atal! Kamu banyak dosa! Kami semata-mata mengabulkan doa anak-anak yatim yang kamu hormati”.

Allah SWT menegur manusia yang menghardik  anak yatim. Firman-Nya, “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim…” (Al-Maa‘un: 1-2). Tak ada ayat atau hadis yang menyebut berdosa kalau menghardik wartawan. Namun, ada surat yang seakan-akan diturunkan untuk wartawan, surat Al-Hujurat, terutama ayat 6. Ayat ini berbicara masalah berita dan check and reheck, atau dalam bahasa ayatnya, tabayyun.

Pamungkas. Sungguh berbahaya kalau anak yatim hanya dijadikan simbol seremonial, tanpa dipeluk dan dirangkul sepenuh hati. PWI Pusat, di “titik nol kilometer” masa jihad 2025 – 2030, memulainya dengan memeluk dan merangkul anak yatim, sepenuh hati – dan bukan basa-basi. Ini permulaan yang baik. Kata orang Jerman, “Gut begonnen ist halb gewonnen”, maksudnya, permulaan yang baik adalah setengah kemenangan.

Pos terkait