Guru Parta : Pendidikan dan Dakwah di Permukiman Masyarakat Adat Badui

Guru Parta (tengah) dan istri mengabdi untuk pendidikan dan dakwah di Permukiman Masyarakat Adat Badui (Foto : Dokumentasi pribadi)

Kapan Islam Masuk ke Desa Kenekes?

Kapan ajaran Islam masuk ke Desa Kanekes (Badui)? Ada yang menyebut sejak abad ke-16. Saat itu, ajaran Islam mulai berkembang di Banten, seiring dengan berdirinya Kesultanan Banten (1552-1570). Sultan pertama, Maulana Hasanuddin, atau dikenal dengan gelar Pangeran Sabakingkin (1552 – 1570)

Bacaan Lainnya

Namun, sumber lain menyebutkan, tak ada kepastian Islam masuk ke Desa Kanekes. Sebuah hasil penelitian menyimpulkan begitu, seperti dipublikasikan dalam Journal of Islamic Education (2021), dengan tajuk “Keagamaan Suku Badui Lebak Banten : Antara Islam dan Islam Sunda Wiwitan”. (http://mediaindonesia.com.

Meski begitu, juga dalam http://mediaindomesia.com, disebutkan bahwa seorang leluhur orang Badui, Raden Wirasoetaputra, seorang pu’un (pemuka adat) Cibeo adalah seorang muslim. Kabarnya, dia keluar dari Badui untuk bergabung dengan prajurit Sultan Ageng Tirtayasa.

“Karena keterampilannya dalam berperang, kemudian dia diangkat menjadi pangeran, dan selanjutnya jadi patih,” kata Ahmad Edwar, peneliti dan penulis di Journal of Islamic Education.

Masih hasil penelitian Edwar, pindahnya orang Badui dalam jumlah besar terjadi setelah Dinas Sosial Kabupaten Lebak (Departamen Sosial RI) membuat program permukiman Badui, tahun 1974.

Menyempurnakan Keislaman

Penyebutan Agama Islam Sunda Wiwitan, seperti dalam jurnal di atas, antara lain, memang sebelumnya jadi salah satu alasan penyebutan penyempuraan ajaran Islam bagi orang Badui, bukan orang Badui masuk Islam.

Inilah pula yang tempo hari diusung Kandepag (kini, Kemenag) Lebak. Istilahnya, bukan mengislamkan orang Badui, melainkan menyempurnakan keislaman orang Badui, seperti kata pejabat Kandepag Lebak ketika itu, Drs. H. Djamaluddin M.S. (Allaahu Yarham).

Banyak orang Badui yang menyempurnakan keislamannya itu, terutama, setelah mereka mendiami permukiman yang dibangun Departemen Sosial RI. Ada lima puluh unit rumah yang dibangun, di sekitar Desa Kanekes itu, di atas tanah, masing-masing, dua hektar.

Tanah seluas itu untuk perumahan dan perkebunan. Siapa saja orang Badui yang pindah ke sini, juga akan diberi biaya hidup selama setahun. Selanjutnya, mereka diharapkan hidup mandiri dengan mengolah kebun.

Awalnya, tak ada orang Badui yang mau menempati permukiman itu, meski gratis, ada bantuan biaya hidup pula selama tahun pertama. Berat, karena pengalman baru, harus melepaskan identas orang Badui pula.

Jaro Samin, Haji Pertama

Pelopor penghuni pemukiman ini, Jaro Samin, yang kemudian masuk Islam, lalu diberangkatkan ibadah haji oleh Pemerintah Kabupaten Lebak. Jejak Jaro Samin diikuti orang Badui yang lain, keluar dari Desa Kanekes, dan menempati permukiman baru.

Orang Badui yang juga diberangkatkan haji, Kasmin, anak Jaro Samin sendiri. Kasmin bisa baca tulis setelah dewasa, lalu tekun belajar, sampai akhirnya jadi sarjana S-1. Kasmin sehari-hari jadi pengusaha. Pernah jadi calon wakil , bupati Lebak (bersama calon bupati Ir. H. Amir Hamzah, M.Si.), pada pilkada tahun 2013.

Apakah para pemuka adat di Desa Kanekes mencegah warganya keluar dari Desa Kanekes? Mungkin saja, tetapi nyatanya mereka mempersilakan pindah, dengan syarat, sekaligus harus melepaskan identitas orang Badui.

Ada proses sosial, introduksi, dan pembauran dengan orang muslim di sekitar permukiman, sehingga memengaruhi mereka. Banyak mantan orang Badui yang menyekolahkan anak-anak mereka. Gaya hidup sudah berubah. Ada pengalaman baru hasil introduksi dan pembauran di permukiman.

Padahal, saat tinggal di Desa Kanekes, sekolah termasuk dalam daftar teu wasa (pantang atau tabu). Tak ada jalan beraspal pula, atau penerangan listrik. Namun, mereka merasa tenang dan bahagia tinggal di tengah rimbunnya Desa Kanekes. Desa di kaki Gunung Kendeng ini sejuk, tanpa polusi udara. dan mesin kota.

Al-Washliyah di Margaluyu

Parta Supriatna, S.Pd.I., pengasuh Pesantren Al-Washliyah (Kampung Margaluyu, Desa Leuwidamar, Kecamatan Leuwidamar) asli asal Badui. Guru Parta, demikian warga setempat memanggil Parta Supriatna, termasuk anak Badui yang ingin mengetahui dunia di luar Desa Kanekes. Salah satu yang ditempuhnya, sekolah, sampai akhirnya jadi sarjana (S-1) berkat dorongan Kemenag Kabupaten Lebak.

Kini, Guru Parta mengabdikan diri untuk pendidikan dan dakwah di Pesantren Al-Washliyah. Guru Parta ingin memperkuat eksistensi pesantren untuk memajukan pendidikan warga di sekitarnya. Pendidikan anak-anak asal Badui perlu diperhatikan. Para muallaf asal Badui Desa Kanekes pun perlu diperkuat keimanannya.

Ada pesantren khusus kajian kitab klasik Islam, pendidikan formal dari TK sampai Aliyah. Ada pelajaran ekstrakulikuler, keterampilan menjahit sampai memproduksi roti cemilan. Murid dan santrinya sekitar 300 orang. Gedung sekolah dua tingkat. Ada masjid di dekat pesantren. (Dean Al-Gamereau)

Pos terkait