KORANBANTEN.COM – Kuasa hukum Leo Handoko, Endang Sri Fhayanti merasa keberatan terhadap tuntutan yang diberikan pada kliennya. Karena, tidak ada satupun saksi yang dapat memastikan atau menerangkan perbuatan Leo Handoko memberikan keterangan palsu dalam Akta Otentik yang mengakibatkan kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP.
“Keberatan ya, karena semua saksi yang memberikan keterangan tidak pernah menyaksikan, mengalami, melihat atau mendengar perbuatan terdakwa Leo Handoko,” kata pengacara yang akrab disapa Angle itu usai sidang di Pengadilan Negeri (PN) Serang, Kamis, 15 April 2021.
Sidang dengan agenda pembacaan tuntutan tersebut, dipimpin Ketua Majelis Hakim Erwantoni didampingi Hakim Anggota Diah Tri Lestari dan Ali Mudirat.
Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni Jaksa Hendri, dan Jaksa Evi. Sementara, Kuasa Hukum Terdakwa, Endang Sri Fhayanti.
Angle mengatakan, pihaknya akan mengajukan sidang pembelaan (pledoi) terhadap tuntutan JPU.
“Ya memang kalau setelah tuntutan memang pembelaan.Kami tetap akan mengajukan pledoi. Majelis Hakim memberikan waktu satu minggu, tapi saya minta dua minggu,” pungkasnya.
“Pledoi kami minta dibebaskan. Pak Leo harus bebas hukum. Karena Pak Leo tidak terbukti secara sah dalam melakukan perbuatan-perbuatan pidana itu (memberikan keterangan palsu dalam akta otentik yang mengakibatkan kerugian),” ujarnya.
Sementara itu, Dolfie Rompas yang juga Kuasa Hukum Terdakwa Leo Handoko mengatakan, tuntutan JPU yang menuntut terdakwa dengan pidana pejara selama lima tahun dianggap berlebihan.
“Tuntutan lima tahun itu sudah berlebihan. Karena, selama proses persidangan, banyak fakta-fakta yang kurang atau minim bukti yang menunjukkan bahwa terdakwa ini melakukan apa yang dituduhkan dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP,” kata Dolfie.
Bahkan, kata Dolfie, Notaris Ferri Santosa yang merupakan saksi kunci tidak bisa berbicara. Padahal, selaku Notaris dia mengetahui, apakah benar si terdakwa ini menyuruh untuk menempatkan keterangan palsu itu.
“Ya tidak dapat dibuktikan di dalam persidangan. Itu kan hanya berdasarkan BAP. Sedangkan untuk menjadi pertimbangan Majelis Hakim adalah bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan. Baik bukti surat maupun keterangan saksi. Sementara dalam persidangan, sejak awal kita ikuti, dari mulai saksi yang pertama sampai terkahir, jelas sekali bahwa banyak saksi-saksi yang tidak melihat, bahkan mendengar apa yang menjadi perbuatan yang dituduhkan kepada si terdakwa. Bahkan, saksi terakhir yang diharapkan, yakni saksi kunci (Notaris), tapi faktanya Notaris tersebut sudah tidak bisa berbicara lantaran terkena sakit sroke. Dia tidak bisa melafalkan kata-kata apa pun. Bahkan melafalkan sumpah saja dia tidak bisa,” jelasnya.
Menurut Dolfie, tuntutan lima tahun itu terlalu berlebihan. Kalau dilihat dari bukti, baik bukti surat maupun saksi, jelas ini sangat sumir.
“Si terdakwa melakukan apa coba. Sumir kan. Karena tidak ada satu fakta pun yang menunjukkan, melihat, dan mendengar langsung. Ini fakta di persidangan loh. Tidak ada satu saksi pun yang mengungkapkan atau memberikan kesaksiannya, melihat atau mendengar langsung bahwa si terdakwa menyuruh untuk menempatkan keterangan palsu di dalam akta tersebut,” jelasnya.
“Namun kami menghormati apa yang dilakukan oleh Jaksa. Kami menghormati Jaksa yang telah membuat tuntutan, dan kami juga sebagai kuasa hukum tentu akan melakukan pembelaan (pledoi). Kami merasa bahwa fakta-fakta ini tidak cukup untuk menyatakan bahwa si terdakwa ini bersalah. Ya kita akan minta bebas. Karena fakta-fakta di persidangan kurang cukup kuat untuk bisa membuktikan bahwa si terdakwa melakukan apa yang didakwakan. Kami tetap akan meminta terdakwa ini dibebaskan dalam pembelaan nanti,” tutupnya.
Seperti diketahui, PT Kahayan Karyacon yang didirikan pada tahun 2012 merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi bata ringan (hebel).
Dalam perjalanannya, perusahaan yang berlokasi di Jawilan, Cikande, Kabupaten Serang, Banten, didera konflik internal.
Dalam kisruh yang terjadi, Komisaris Utama PT. Kahayan Karyacon, Mimihetty Layani melalui kuasa hukumnya yang bernama Niko melayangkan Laporan Polisi (LP) terhadap salah satu Direktur PT. Kahayan Karyacon ke Bareskrim Polri.
Leo Handoko, salah satu Direktur PT. Kahayan Karyacon dianggap melakukan tindak pidana “memberikan keterangan palsu dalam Akta Otentik yang mengakibatkan kerugian” sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP
Padahal, dalam pembuatan seluruh akta perusahaan tersebut, dari awal tidak pernah dihadiri oleh para Dewan Komisaris dan Direksi.
Selain itu, pembuatan akta di hadapan Notaris juga tidak pernah dihadiri oleh Komisaris dan disertai Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). (*).