Kilas Balik : Peraturan Pers Zaman Awal Indonesia Merdeka

Presiden Sukarno dan wartawan dalam jumpa pers zaman awal Indonesia merdeka, tahun 1945. (Foto : gahenta nl).

Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945. Presiden dan Wakil Presiden, Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta. Pers pun jauh lebih merdeka jika dibandingkan dengan zaman Hindia Belanda atau zaman Jepang. Sedikit atau banyak, pers berperan, setidak-tidaknya melalui penggalangan opini, membangkitkan nasionalisme, mendorong patriotisme dan jihad untuk Indonesia merdeka.

Meski dikekang pada zaman Hindia Belanda atau zaman Jepang, beberapa pers tetap saja “nakal”, sering sekali “menyelipkan” dan  “menyelundupkan” pesan Indonesia merdeka, terutama untuk dipahami khalayak pribumi.

Bacaan Lainnya

Pada saat Indonesia merdeka. belum ada peraturan perundang-undangan pers secara khusus. Peraturan perundang-undangan pers zaman  Belanda atau zaman Jepang, yang sangat mengekang itu, tentu saja, tak bisa digunakan, apalagi amat sangat bertentangan dengan kemerdekaan pers.

Kemerdekaan pers atau penerbitan pers pada masa ini merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 yang baru saja disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, atau sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI.

Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan ditetapkan dengan undang-undang”. Maka, inilah dasar jurudis penerbitan pers dan  atau kemerdekaan pers. Menerbitkan pers  termasuk “mengeluarkan pikiran dengan tulisan” (pers cetak).

Departemen Penerangan RI pada awal kemerdekaan RI sudah terbentuk, tanggal 19 Agustus 1945. Pada saat yang sama, terbentu pula kabinet pertama. Menteri Penerangan pertama, Mr. Amir Sjarifuddin (1045 – 1946).

Departemen Penerangan RI sangat  strategis, terutama dengan perannya sebagai pembentuk pencitraan dan pengabaran Indonesia merdeka ke seluruh dunia. Departemen Penerangan RI pun mengelola dan mengarahkan informasi nasional, mengawasi dan  membina pers nasional, dan menyebarkan  propaganda nasional.

Pers yang merugikan perjuangan Indonesia dibreidel, seperti Het Dagblad. Koran ini berbahasa Belanda, terbit setelah Indonesia merdeka, yang ternyata pro-Belanda. Kini, giliran Indonesia membreidel pers Belanda.

Departemen Penerangan RI menerbitkan pula Soeara Repoeblik Indonesia, sebagai suara resmi Pemerintah RI. Isinya,  publikasi kebijakan  Pemerintah RI dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI melalui “perang” informasi.  Tantangan utama ketika itu, memang, melawaan Belanda dan  dan tentara sekutu yang ingin menguasai kembali Indonesia. Tentara angkat senjata, pers angkat pena. (Dean Al-Gamereau).

Pos terkait