Kopi Leuit Badui di Tengah Matahari Kembar

Di Gedung BPPTIK, Kementerian Komunikasi dan Digital, Cikarang, Kabupaten Bekasi. Sabtu itu (30/08/25), selepas waktu isya, seperti diselimuti hawa lembab yang membawa aroma penantian panjang. Aula Kongres Persatuan PWI 2025 ramai bergetar oleh bisik-bisik, oleh tawa yang menahan gugup, oleh detak jam yang serasa lebih lambat dari biasanya. Di balik sorotan lampu, para wartawan yang biasa menuliskan kisah orang lain, kali ini menulis kisahnya sendiri. Kongres Persatuan PWI 2025 dibalut semangat bangkit dan bersatu, seperti bunyi tema kongres.

Di ujung perhitungan perolehan suara, nama Akhmad Munir menggema, mengungguli Hendry Chaerudin Bangun. Direktur Utama LKBN Antara itu resmi terpilih jadi Ketua Umum PWI Pusat untuk masa jabatan 2025 – 2030. Tepuk tangan pun meledak seperti hujan deras setelah musim kemarau. Ada rasa lega, ada rasa bahagia, ada pula rasa syukur yang berbaur menjadi satu. Bukan karena Akhmad Munir terplih, melainkan jauh lebih dari itu : satu matahari PWI sudah ada di depan mata. Sebelumnya, memang, ada PWI Kongres Bandung (Hendry Chaerudin Bangun) dan PWI KLB (Zulmansyah Sekedang).

Bacaan Lainnya

Hasil akhir perolehan suara, Akhmad Munir mendapat dukungan 52 suara, sedangkan Hendry Chaerudin Bangun mendapat dukungan 35 suara. Pada saat yang sama, terpilih pula Atal S. Depari (44 sura) jadi ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, hanya terpaut dua suara dari calon lainnya, Sihono Hadi Tjahjono (42 suara).

Sesungguhnya, sudah berbulan-bulan lamanya, PWI ibarat hidup di bawah matahari kembar – dua pusat gravitasi yang membuat langkah goyah, hati bingung, dan jalan terasa bercabang. Kini, satu matahari saja yang bersinar, memberi cahaya tunggal bagi rumah besar anggota PWI.

Di sudut ruangan, Hendry Ch. Bangun, pesaingnya, menerima hasil itu dengan wajah lapang. Kekalahan di dunia organisasi wartawn khususnya, bukanlah aib, melainkan halaman lain dalam buku panjang perjalanan profesi. Wartawan tahu persis, hidup setiap hari adalah peristiwa. Setiap peristiwa bisa ditulis dengan tinta yang jernih.

Lalu datanglah momen yang sederhana namun berkesan. PWI Provinsi Banten menyerahkan hadiah sekarung kopi leuit Badui (khas Kabupaten Lebak). Hadiah itu bukan sekadar minuman hitam dalam gelas kecil, melainkan simbol yang sarat makna. “Kita bekerja sambil minum kopi hangat,” kata Ketua PWI Provinsi Banten, Rian Nopandra, usai menyerahkan hadiah sekarung kopi leuit Badui itu. Kalimat yang ringan, tapi menancap. Karena sesungguhnya, wartawan terbiasa meracik kata di tengah aroma kopi. Biasa menulis berita yang pahit, seperti kopi, juga biasa pula menulis berita yang manis, karena ada kopi manis bergula.

Kopi pahit itu, seperti karya jurnalistik. Hitam, kadang pahit, tetapi selalu memberi energi untuk terus menulis, untuk terus terjaga, untuk terus mengabarkan. Di balik pahitnya kopi itu, tersimpan hangat yang membuat dada terasa lega.

“Kongres Persatuan PWI 2025, bukan tentang kalah atau menang. Ini tentang menjaga marwah PWI, rumah kita agar tetap tegak terjaga.” kata Sekretaris PWI Provinsi Banten, pecandu berat kopi, Fahdi Khalid. Maka, sore itu di Gedung Balai Pelatihan dan Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (BPPTIK) itu, suasana kongres berubah. Tak lagi tegang, melainkan cair seperti obrolan warung kopi. Senyum bertebaran, tawa pecah di antara kursi-kursi, dan semangat baru lahir : bangkit dan bersatu.

Kini, lembaran baru PWI lebih terbuka, untuk menyatu. Satu matahari kembali cukup untuk menerangi jalan. Di meja, kopi leuit Badui mengepulkan asap, seolah berbisik, “Menulis itu kerja keras, tetapi jangan lupa, kerja keras pun butuh jeda, relaks, dan rasa persaudaraan”.

Akhirnya, pesan Akhmad Munir setelah menerima sekarung kopi leuit Badui perlu selalu diingat, “Terima kasih! Kopi ini pahit, tetapi hangat. Sama seperti kita di organisasi PWI. Kita bisa merasa pahit oleh kritik dalam pekerjaan kita, tetapi hangat oleh persaudaraan”.

(Dean Al-Gamereau, anggota Dewan Kehormatan PWI Provinsi Banten)

Pos terkait