KORANBANTEN.COM – Sebagai media rujukan nasional, yang “dipercaya” oleh masyarakat, harian Kompas melakukan kesalahan besar terkait kebijakan mereka dalam memberitakan peristiwa besar nasional, Reuni 212, pada 2 Desember 2018. Lihat halaman depan Kompas edisi hari ini, 3 Desember 2018.
Mereka mengangkat berita tentang sampah. Bagi saya, penempatan “sampah” sebagai berita utama Kompas menyelipkan pesan yang sangat menghina Reuni 212. Mereka meletakkan berita reuni itu di halaman dalam.
Saya berpendapat, segenap pimpinan redaksi Kompas menganggap Reuni 212 sebagai “peristiwa sampah”. Itulah pesan Kompas dengan menampilkan liputan mengenai sampah di halaman satunya.
Mereka melihat liputan tentang sampah jauh lebih penting dari Reuni 212. Padahal, reuni ini dihadiri jutaan orang dan mendapat liputan dari media internasional.
Jika ditarik lebih jauh lagi, menurut hemat saya, Kompas tidak saja melecehkan Reuni 212. Melainkan juga menghina umat Islam secara keseluruhan.
Memang betul bahwa kebijakan redaksi dalam penyajian berita sepenuhnya menjadi hak prerogatif mereka. Tetapi, mengingat Kompas adalah koran yang telah berpengalaman dan dianggap “wise” dalam menjabarkan hak dan tanggung jawabnya sebagai komponen pers nasional yang sekaligus berfungsi sebagai pilar demokrasi, maka penempatan berita Reuni 212 di halaman dalam dengan porsi yang “sangat tak wajar”, sungguh sangat aneh.
Tidak berlebihan untuk disebut tendensius. Pantas juga dikatakan sebagai “deliberate act of partiality”. Tindakan berpihak yang disengaja. Apa dasar untuk mengatakan begitu?
Ini penjelasannya. Untuk menurunkan liputan utama tentang sampah lengkap dengan data dan grafik, pastilah tim redaksi melakukan upaya yang lama dan melibatkan banyak orang. Artinya, tak terelakkan kesan bahwa Kompas memang sengaja menyiapkan laporan mengenai sampah itu untuk disajikan tepat bersamaan dengan peristiwa Reuni 212.
Mereka sudah tahu sejak lama bahwa tanggal 3 Desember 2018 adalah hari edisi cetak untuk Reuni 212 itu. Dan redaksi bisa melihat sendiri sebesar apa Reuni 212 itu. Jadi, tak terjelaskan dengan akal sehat jurnalistik mengapa berita besar tentang umat Islam ini disembunyikan di halaman dalam.
Langkah redaksi Kompas seratus persen bertentangan dengan kaidah penyajian berita. Bertolak belakang dengan pertimbangan akal sehat. Apalagi, Kompas menempatkan berita tentang sampah di halaman depan. Ini, bagi saya, menyiratkan “coded message” bahwa liputan tentang sampah, bagi Kompas, lebih bernilai dibandingkan Reuni 212.
Kalau benar dugaan saya bahwa Kompas sengaja “menyampahkan” Reuni 212, alangkah berbahayanya garis kebijakan redaksional yang mereka ambil. Dari sudut pandang mana pun juga, Reuni 212 sangat layak menjadi berita besar. Peristiwa ini memenuhi semua kriteria jurnalistik untuk ditempatkan sebagai berita utama.
Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan pertanyaan kepada pimpinan redaksi Kompas: apakah memang seperti itu yang Anda lakukan?
Memang sejak lama ada semacam “barrier” (rintangan) antara Kompas dan Islam dan umat Islam. Ini tak perlu saya elaborasi. Sebab, mereka sendirilah yang justru setiap hari mengelaborasikan itu. Merekalah yang sejak lama telah meratifikasikan keberadaan “barrier” itu.
Saya tak heran kalau ada orang yang menilai Kompas menempatkan dirinya di balik “barrier” itu “by default” atau “by design”. Karena, koran ini tampak kesulitan untuk berlaku ramah kepada Islam dan umat Islam. Saya berpendapat, Kompas merasa Islam dan umat Islam adalah “national security threath” (ancaman keamanan nasional) bagi mereka kalau kita pinjam terminologi sekuriti Amerika Serikat.
Kita tidak perlu berbedat tentang ini. Cukup dengan mencermati sejarah hubungan antara Kompas dan umat Islam. Hubungan yang tak bisa dipungkiri bagaikan berlangsung di atas tumpukan api dalam sekam. Juga bisa terdeteksi dari “management behaviour” koran ini.
Kita akui bahwa Kompas tidak sendirian dalam melecehkan Reuni 212. Semua koran lain, kecuali Republika dan Rakyat Merdeka, sengaja tidak memberikan porsi kepada peristiwa besar ini.
Akan tetapi, kita tidak dapat menerima perilaku Kompas itu mengingat posisinya sebagi “leading newspaper” (surat kabar terdepan). Koran yang diasumsikan memiliki “highly qualified editorial team”. Yaitu, tim redaksi yang berkualifikasi tinggi.
Saya mengimbau kepada pimpinan Kompas agar tidak lagi menunjukkan “unpleasant attitude” (sikap tak menyenangkan) ketika menangani berita-berita tentang Islam dan umat Islam. Sebab, diskursus yang telah mendarah daging itu bisa berubah menjadi energi destruktif yang merugikan Kompas sendiri.
By Asyari Usman
(Penulis adalah wartawan senior).