KORANBANTEN.COM – Daging kambing dari Banten ini punya sejarah menarik. Rasanya gurih manis dengan rempah pekat. Tentu saja rasanya lezat. Mengapa nama sebuah kota di Tanah Suci Arab Saudi menjadi nama sajian khas Banten yang populer hingga kini? Sejarahnya panjang.
Ketika Raja Banten Sultan Maulana Hasanuddin naik haji, kota pelabuhan yang pertama didarati di tepi Laut Merah adalah Rabiq (juga dieja sebagai Rabigh). Ini adalah sebuah kota kuna yang sebelumnya bernama Al Johfa.
Pada awal abad ke-17, kota ini hancur karena ombak, dan dibangun kembali menjadi kota indah dengan nama baru Rabiq. Sultan Banten sangat terkesan dengan keindahan kota itu. Beliau juga sempat bersantap dengan lahap di kota itu setelah berminggu minggu mengarungi samudra.
Sepulang kembali ke Banten, kenangan tentang kota Rabiq di Provinsi Makkah itu membuat Sultan menitahkan jurumasak istana untuk memasak daging kambing. Karena tidak ada yang tahu bagaimana cara memasak kambing seperti di Tanah Suci, jurumasak pun mereka-reka sendiri masakan kambing yang khas. Ternyata, Sultan sangat menyukainya.
Sejak itu, masakan kambing empuk yang gurih dan beraoma harum itupun menjadi sajian wajib di istana. Resep masakan khas itu pun akhirnya “bocor” ke masyarakat, dan menjadi sajian populer yang wajib hadir di setiap perhelatan. Tak pelak lagi, nama Rabiq pun melekat pada masakan itu.
Dalam perjalanan waktu, Rabiq pun berubah menjadi Rabeg seperti sekarang umum dieja. Hingga sekarang, rabeg masih menjadi sajian populer di Provinsi Banten. Di Serang, banyak warung dan rumah makan yang menyajikan masakan ini. Ada rumah makan yang menyajikan rabeg dari daging dan jerohan kambing, ada pula yang hanya menyajikan rabeg dari daging dan iga kambing.
Bumbunya pun kadang-kadang berbeda dari dapur yang satu ke dapur yang lain. Misalnya, bila dulu digunakan gula merah dari kelapa yang memang banyak diproduksi di Banten, sekarang banyak yang menggantikannya dengan kecap manis. Ada pula yang memakai kapulaga dan bunga lawang (pekak, star anise) untuk mencuatkan citarasa Arab. Tetapi, kebanyakan cukup dengan memakai sedikit kayu manis untuk menampilkan aroma harum.
Tentang aroma kambing yang kuat, masing-masing dapur mempunyai pendekatan masing-masing. Ada yang justru membiarkan aroma hewan itu, tetapi ada pula yang justru menggunakan teknik-teknik tertentu untuk “menenggelamkan” aroma prengus dari daging kambing.
Biasanya, yang memasak rabeg tanpa jerohan akan menghasilkan masakan yang lebih harum. Bumbu dasar rabeg adalah bawang merah, bawang putih, dan lada putih. Di “belakang”-nya ada bumbu-bumbu penunjang lainnya, yaitu: biji pala, kayumanis, jahe, lengkuas, dan cabe rawit. Kelengkapan ini menjelaskan mengapa citarasa pedas masakan rabeg ini sungguh kompleks – diperoleh dari lada putih, cabe rawit, dan jahe.
Selintas memang mirip semur, tetapi dengan citarasa yang lebih kaya. Menurut petuah orang tua, rabeg yang dimasak untuk akikah tidak boleh terlalu pedas.
“Dimasak manis saja, supaya nanti anaknya juga jadi manis,” begitulah kepercayaan masyarakat. Akikah adalah wajib bagi pemeluk Islam. Untuk anak laki-laki, wajib disembelih dua ekor kambing. Sedang untuk anak perempuan, cukup seekor kambing. Biasanya, sebagian daging kambing dimasak menjadi sate, dan sisanya masuk kuali menjadi rabeg. (Sumber : Net )