KORANBANTEN.COM – Kapolri, Jenderal Listyo Sigit dalam rapat dengar pendapat memiliki prinsip yang sangat bagus yaitu Presisi Berkeadilan. Namun, sayangnya di Polda Metro Jaya praktek dan proses penanganan kasus jauh dari kata “Berkeadilan” apalagi “Transparansi”.
Klien Investasi Bodong Kecewa Laporan Polisi Mandek
R salah satu korban Narada yang ditangani di unit 4 Fismondev dengan kecewa memberikan keterangan mengejutkan, ketika menanyakan kepada kuasa hukum dari LQ indonesia Lawfirm.
“Kami ditunjukkan bukti screen wa dari penyidik unit 4 oleh kuasa hukum bahwa ada pergantian kanit baru, dan penyidik minta agar Kuasa hukum LQ Indonesia Lawfirm untuk menghadap kanit baru dan berkordinasi. Kuasa hukum kami bilang, sangat aneh permintaan tersebut karena sebelumnya kuasa hukum baru ketemu kasubdit dan kanit baru bertemu kuasa hukum dan sudah jelas,” kata R.
Sepertinya kode untuk meminta agar kasus Narada bisa dijalankan. Walau kuasa hukum sudah berkali-kali minta SP2HP dari penyidik unit 4, namun belum juga di berikan. Selama ini Terlapor sama sekali belum di periksa. Infonya jika tidak beri setoran maka kasus tidak akan jalan.
Komentar Almarhum Neta S Pane Tentang Janji Kapolri Masih Tumpul Ke Atas
Sebelum meninggal almarhum Neta S Pane selaku ketua IPW (Indonesia police watch) sempat mengingat Polda Metro atas penanganan kasus Mahkota yang mangkrak, dan mengingatkan Kapolri akan janjinya “Hukum akan tajam ke atas pula”.
Saat itu 2 Februari 2021, Neta S Pane membandingkan penanganan kasus Mahkota (PT MPIP dan MPIS) yang mandek dengan penanganan Jouska yang ngebut.
“Misalnya, Polri memberi keistimewaan dalam kasus yang diduga melibatkan Mahkota Properti Indo Permata milik Raja Sapta Oktohari,” kata Neta, dalam siaran pers, Selasa (2/2/2021).
Menurut dia, terbukti kasus itu jalan di tempat dan tidak ada proses lebih lanjut. Sebaliknya, dalam kasus Jouska, Polri berlari kencang dan hingga kini sudah 23 orang diperiksa.
“Untuk itu, IPW mendesak Kapolri Sigit bisa bersikap komit dengan Program Presisinya agar Polri tidak tebang pilih dalam menangani kasus dugaan investasi bodong, terutama yang melibatkan putra Osman Sapta Odang (OSO) tersebut,” kata Neta.
Sugi menanggapi, 7 bulan setelah Neta S Pane, berbicara masih saja mandek, ini bukan fitnah, baca saja SP2HP nya, semua orang hukum juga tahulah.
“Masa kami Lawyer harus mengajari bagaimana Polda memproses Laporan Pidana, Polda itu lebih pandai, namun sayangnya kepandaian itu langsung lenyap ketika memproses kasus Investasi Bodong,” kata Sugi.
Menurutnya, kasus Mahkota hanya 1 dari sekian banyak kasus mandek lainnya seperti Narada dan Kresna Sekurotss. Bahkan permintaan SP2HP tidak diberikan unit 4 karena koordinasi tidak dilaksanakan, maoanya di unit 4 kasus oso, narada dan kresna sekuritas semuanya mandek dan kasus yang sudah diganti rugi sengaka diperkeruh, yang rugi akibat ulah oknum bukan LQ tapi masyarakat korban investasi bodong.
“Jika para aparat penegak hukum meminta uang kepada korban apa beda nya dengan kriminal, bukankah itu adalah tipikor?,” tandasnya.
“Jika setiap kali ganti kanot dan kasubdit harus setor dan kasih uang koordinasi sedangkan kasus selalu di tahap LIDIK, lalu untuk apa?,” ujarnya.
Bapak H, salah satu klien perusahaan investasi yang sudah damai dan mengajukan pencabutan LP merasa sangat aneh, kami sudah damai dan ada 3 LP, 1 di unit 1 dan 2 Lp di unit 4, klien sudah diberi ganti rugi dan sudah balik nama di notaris ke nama para klien. Kuasa hukum juga sudah di BA pencabutan, namun 3 LP tersebut masih juga dilanjutkan oleh penyidik dan kanit, infonya ada upaya pemerasan terhadap PT yang sudah memberikan ganti rugi antara oknum korban dan oknum penyidik/atasan penyidik.
“Sudah ada akta notaris, pencabutan LP dan ganti rugi, tapi polisi ngotot lanjut, ada apa? Bahkan berita terakhir perusahaan tersebit akhirnya melaporkan balik para klien yang sudah menerima ganti rugi dengan pasal penipuan penggelapan,” tandasnya.
Sugi dari LQ Indonesia Lawfirm menanggapi, bahwa penyidik dan kanit seharusnya mengerti Restorative Justice dan bukan membabi buta dan memperkeruh situasi. Sudah ada ganti rugi, faktor kerugian sudah hilang dan sudah ada perdamaian sesuai perkap seharusnya bisa di SP3. Namun, malah di naekkan sidik dan diperkeruh oleh oknum, padahal Presiden dan Kapolri sedang gencar-gencar nya mengaungkan restorative justice dengan Pidana sebagai “ultimum remedium” jalan terakhir.
“Dulu waktu awal lapor, tidak di tindaklanjuti oleh Penyidik dan kanit, setahun lebih posisi lidik, setelah tahu bahwa perusahaan bisa memberikan aset ganti rugi, melihat ada opportunity secara materi, langsung naek gigi 5 ngebut, naek sidik dan menolak cabut laporan polisi. Ini ada apa?,” kata Sugi melalui keterangan persnya, Sabtu (4/9/2021).
Dengan alasan ada beberapa korban tidak setuju, lalu bagaimana dengan klien kami yang sudah setuju damai dan sekarang malah di proses pidana dianggap menipu.
“Apakah polisi membantu atau memperkeruh suasana disini? Awal sebelum ganti kanit, kuasa hukum sudah koordinasi dan setuju untuk cabut LP, bahkan sudah BA pencabutan. Ganti kanit, bukannya bantu korban malah diperkeruh, pelapor malah dilaporkan balik secara pidana,” tandasnya.
Salah satu klien LQ (Pelapor LP PT MPIP) yang baru mendapatkan SP2HP dari penyidik Fismondev dengan nomor surat B/0854/VIII/RES 2.6/2021/Ditreskrimsus dengan tandatangan Kasubdit Abd Azis, SIK dengan kecewa dan sedih “Lihat ini bukti SP2HP sejak LP tanggal 9 April 2020, hingga Hari ini 1 September 2021, sudah 17 bulan berjalan, hampir 2 tahun, sama sekali Para Terlapor belum diperiksa sama sekali oleh penyidik, apakah ini bukan yang namanya mandek?”
Sugi kabidhumas LQ Indonesia Lawfirm, menyebut “Jangan sebut LQ fitnah, kami selalu sampaikan fakta, ini bukti surat dari Polda Metro Jaya sendiri, yang menerangkan bahwa selama 17 bulan, penyidik kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Terlapor sama sekali. Panggilan sudah 6x dan rencana tindak lanjut hanya akan kembali memanggil untuk yang ke 7 kalinya. Lalu jika tidak hadir, akan panggil terus 8, 9, 10 dst. Maaf yah tapi kenapa kelihatannya Polri tidak mampu yah? Maaf sekali lagi, kita bandingkan ketika Dokter Richard Lee atau Habib Rizieq di panggil, 2x mangkir bisa dijemput paksa.
Dalam kasus masih dalam lidik, langsung Penyidik tambah alat bukti dengan periksa saksi ahli dan naikkan status ke Penyidikan agar bisa jemput paksa. Tapi kini terhadap “kelas atas”, taringnya Polisi/penyidik hilang yah? Ada apa? Apakah ini bukan tajam ke bawah dan tumpul ke atas? LQ selalu bela masyarakat, bisa hubungi kami di 0817-489-0999 untuk konsultasi.”
Sumber: LQ Indonesia Lawfirm