KORANBANTEN.COM-Sebelum menulis buku Belajar Tashrif Sistem 20 Jam, Kiai Haji Aceng Zakaria tak pernah menelaah dulu pemikiran ahli linguistik terapan dari Belanda, Profesor Theodorus Johannes Maria “Theo” van Els, atau biasa ditulis Theo van Els (14 Mei 1936 – 4 Agustus 2015).
Juga, bisa dipastikan, sebelum menulis buku itu, Kiai Haji Aceng Zakaria tak pernah membaca dulu buku sang profesor, Handbook voorde Toegepaste Taalkunde het Lerenen Onderwijzer van Modern Vreemde Talen (1997).
Kiai Haji Aceng Zakaria pun tak penah menelaah pemikiran David Nunan (11 Oktober 1949……), ahli bahasa Inggris dari Australia, yang salah satu buku karyanya mengenai bahasa, Research Methods in Language Learning (1992).
Kiai Haji Aceng Zakaria, bisa dipastikan lagi, tak pernah merumuskan dulu istilah gradasi gramatika atau gradasi lurus, atau menelaah definisi input factors, leaner factor, dan activity factors, sebelum menulis buku Belajar Tasrif Sistem 20 Jam.
Kiai Zakaria, mengakui semua itu, tak pernah berjumpa dengan buku-buku di atas, apalagi sampai mengenal penulisnya. “Theo” van Els dan David Nunan, diakui Kiai Zakaria, baru didengarnya sekarang. “Oh, begitu, “ kata Kiai Zakaria, datar.
Tetapi, percayalah, tokoh kedua linguistik di atas, juga istilah-istilah yang baru saja disebutkan, akan ditemukan pada makalah ilmiah karya Aam Amalia, dari Mts. 6 Sleman (Jawa Tengah) di bawah judul “Analisis Gradasi Materi Saraf dalam Buku Belajar Tashrif Sistem 20 Jam Karya K.H. Aceng Zakaria” (al-Mahira Jurnal Pendidikan Bahasa Arab. 2017. 102 – 123. Vol. 3. No.1, Juni 2017/1435 H. 102 – 123.
Amalia, misalnya, mengutip “Theo” van Els dan David Nunan ketika membahas dasar-dasar penggunaan gradasi dalam buku yang ditelitinya. Seperti hasil penelusuran Amalia, berdasarkan buku Designing Task for the Communicative Classroom, (Cambridge University Press, 1989), Nunan menganjurkan faktor gradasi isi pembelajaran atas faktor masukan (input factors), pembelajar (learner factors), dan aktivitas (activity factors).
Amalia menulis enam faktor yang harus diperhatikan dalam menyusun gradasi isi pembelajaran bahasa, yakni (a) faktor tujuan pembelajaran, (b) faktor tingkat kecakapan, (c) faktor waktu, (d) faktor masukan (input factors), (e) faktor pembelajaran (leaners factors), dan (f) faktor aktivitas (activity factors).
Kriteria gradasi, dalam penelitian Amalia, dengan mengutip Hamied (1987 : 147), adalah rambu-rambu yang digunakan untuk mengkaji keoptimalan gradasi isi pembelajaran bahasa yang disusun berdasar faktor atau jenis gradasi tertentu.
Kriteria tersebut dapat didasarkan pada deskripsi bahasa sasaran, analisis kontrastif bahasa yang telah dikuasai dan bahasa yang sedang dipelajari, dan struktur proses pembelajaran. Kriteria lain yang ditarik dari deskripsi bahasa sasaran adalah frekuensi keterjadian, dan bobot fungsionalis.
Hasil Penelitian Amalia, buku Belajar Tashrif Sistem 20 Jam ini, dari segi kebahasaan, disusun berdasarkan gradasi gramatik. Dari segi jenis gradasi, buku ini termasuk gradasi lurus atau gradasi suksesif, yaitu isi pembelajaran di-tata tingkat-kan secara lurus satu demi satu tanpa adanya pengulangan dan setiap materi dijelaskan secara tuntas.
Pola penyusunan buku ini dari yang umum ke yang khusus. Buku ini cocok untuk pelajar pemula tasrif. Isi buku ringkas dan bahasanya mudah dipahami. Pelajar pemula sekaligus bisa mengevaluasi hasil pelajarannya karena ada beragam evaluasi.
Kelemahan buku Belajar Tashrif Sistem 20 Jam, hasil penelitian Amalia pula, ada dua, yakni (a) pembahasan dalam setiap babnya sangatlah singkat, sehingga terkadang ada beberapa materi yang tidak terbahas, dan (b) tidak ada petunjuk pengajaran materi sehingga sistem 20 jam itu indikator waktunya belum jelas.
Kita belajar dari kelebihan dan kekurangannya. Buku yang sudah dicetak berulang-ulang ini, dan diajarkan di banyak pesantren, memang, mutlak hasil mengajar dan belajar, tanpa bantuan penelaahan teori apa pun tentang pengajaran kebahasaan sebelumnya.
Kiai Zakaria menyusun bahan pelajaran untuk para santri, kemudian mengevaluasi dan memperbaikinya. Bahkan, 20 jam belajar itu dipraktikkannya sendiri, berkali-kali, sampai akhirnya diputuskan : belajar selama 20 jam (bukan 20 jam terus-menerus) adalah waktu minimal untuk mengetahui dan memahami apa dan bagaimana ilmu tasrif.
Target buku ini, orang yang sudah mempelajarinya, meskipun secara mandiri, bisa menerjemahkan Al-Qur’an secara benar dan tepat, seperti kata Kiai Zakaria sendiri dalam “Kata Pengantar” buku ini. (Dean Al-Gamereau).