Menyambut Hari Pers Nasional 2026 d i Provinsi Banten Pesan Al-Qur’an untuk Wartawan (19)

algoritma memuliakan viralita, sedangkan wahyu memuliakan kebenaran (foto ilustrasi https://www.istockphoto.com)

Al-Qur’an telah merekam satu peristiwa fitnah paling traumatis dalam sejarah Islam. Ini terungkap dalam “Hadiitsu Al-Ifki” alias kabar bohong terhadap Aisyah bintu Abu Bakar Ash-Shiddiq. dan Safwan bin Muattal As-Sulami. Al-Qur’an membungkam fitnah itu, sekaligus membersihkan mereka dengan wahyu ilahi. (QS. An-Nūr 11–20).

Menariknya, ayat-ayat ini tak hanya membersihkan nama Aisyah dan Safwan, tetapi juga tersirat adanya ajaran kerangka etika media yang sangat relevan dengan dunia digital saat ini.

Bacaan Lainnya

Peristiwa fitnah terhadap Aisyah menunjukkan ekosistem disinformasi klasik, terdiri dari aktor utama, penyebar sekunder, penerima pasif, lalu berdampak sosial. Pola ini identik dengan ekosistem disinformasi digital modern.

Bedanya fitnah zaman dulu dan zaman kini, salah satunya soal penyebaran. Kini, jauh lebih cepat karena ditopang teknologi. Fitnah, informasi palsu, dan gosip lebih cepat sampai. lalu sering sekali dikirim lagi tanpa konfirmasi atau klarifikasi.

 

Supremasi Algoritma

Algoritma adalah serangkaian langkah, aturan, atau rumus logis yang disusun secara sistematis untuk menyelesaikan suatu masalah atau mengambil keputusan.

Dalam konteks sehari-hari—terutama media digital dan teknologi. Algoritma bisa dipahami sebagai “aturan tak terlihat” yang menentukan: informasi apa yang muncul, kapan ia muncul, kepada siapa ia ditampilkan, dan seberapa sering ia diulang. Dalam bahasa yang lebih sederhana.

Lalu, apa maksud “supremasi algoritma”? Supremasi algoritma berarti keadaan ketika algoritma menjadi kekuatan dominan yang: mengalahkan pertimbangan manusia, mempengaruhi opini publik, membentuk realitas sosial, bahkan mengarahkan perilaku tanpa disadari penggunanya.

Dalam istilah lain, bukan manusia yang mengendalikan informasi, tetapi algoritma yang mengendalikan manusia. Supremasi algoritma, tampaknya, terwujud saat aturan mesin seperti lebih berkuasa dari akal sehat, etika, dan nurani manusia

Media sosial menampilkan konten yang memicu emosi, bukan yang paling benar. Berita viral naik karena klik dan engagement, bukan verifikasi. Hoaks menyebar cepat karena algoritma menyukai sensasi. Pendapat minoritas bisa tenggelam karena tidak “ramah algoritma”.

Supremasi algoritma bisa dibaca sebagai “fitnah versi digital”.

Penyebaran kabar tanpa tabayyun dipercepat oleh mesin, bukan oleh manusia beretika.

Algoritma tidak mengenal benar atau salah, adil atau zalim, dan fitnah atau fakta. Algoritma hanya mengenal klik, durasi tonton, reaksi emosi, dan viralitas. Maka, kabar bohong sering sekali lebih “menang” atau “unggul” daripada kebenaran. Masalahnya, kebenaran membutuhkan verifikasi.Fitnah cukup sensasi. Inilah supremasi algoritma : ketika nilai kebenaran dikalahkan oleh nilai keterlibatan (engagement).

Al-Qur’an mengingatkan, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga…” (An-Nur: 11) Fitnah tak selalu datang dari “musuh luar”. Dalam bahasa hari ini, disinformasi sering disebarkan oleh pengguna biasa, bukan hanya buzzer profesional.

Fitnah pada zaman Rasulullah ﷺ berjalan dari mulut ke mulut. Di era digital, ia berjalan dari telepon genggam ke telepon genggam. Jika dahulu penyebaran kabar bohong bergantung pada manusia, maka pada hari ini ia dipercepat oleh algoritma. Inilah yang kita sebut supremasi algoritma : keadaan ketika mesin penentu distribusi informasi lebih berkuasa daripada akal sehat, etika, dan nurani manusia.

Algoritma media sosial tak mengenal benar atau salah. Ia hanya mengenal apa yang memicu emosi, mengundang klik, dan mempertahankan perhatian. Akibatnya, kabar bohong sering kali tampil lebih dominan dibanding kebenaran. Bukan karena ia benar, melainkan karena ia menarik.

Menariknya, Al-Qur’an menegaskan bahwa pembawa fitnah itu “min kum” (dari kalangan sendiri). Fitnah, memang, tak selalu datang dari musuh eksternal. Dalam konteks hari ini, disinformasi sering disebarkan oleh pengguna biasa, oleh orang baik yang lalai, oleh mereka yang sekadar menekan tombol share.

 

Verifikasi Ketat, Empat Saksi

Al-Qur’an kemudian mengajukan prinsip mendasar. yakni prasangka baik. “Mengapa orang-orang mukmin tidak berprasangka baik?” (An-Nur : 12). Dalam jurnalisme modern, ini dikenal sebagai asas praduga tak bersalah. Tidak ada berita yang layak disiarkan jika ia berdiri di atas kecurigaan semata.

Prinsip berikutnya adalah verifikasi ketat. Tuntutan empat saksi (Am-Nur :13) bukan sekadar hukum pidana, melainkan standar epistemik: klaim luar biasa menuntut bukti luar biasa. Tanpa data, informasi berubah menjadi tuduhan.

Perkara yang paling relevan dengan era algoritma adalah teguran

“Kamu menerima berita itu dari mulut ke mulut.” Al-Qur’an tak hanya mengkritik produsen fitnah, tetapi juga amplifikatornya (An_nur : 15). Dalam bahasa hari ini: reshare tanpa tabayyun.

Di sinilah supremasi algoritma menjadi masalah serius. Algoritma mendorong amplifikasi, sementara Al-Qur’an menuntut kehati-hatian. Algoritma memuliakan viralitas, sementara wahyu memuliakan kebenaran.

Jika dibandingkan dengan kode etik jurnalistik, An-Nur sejatinya adalah piagam etika media yang sangat ketat : akurasi, verifikasi, tanggung jawab sosial, dan larangan menyebarkan kabar bohong. Bahkan, Al-Qur’an melangkah lebih jauh, menyebarkan tanpa niat jahat pun tetap berdosa.

Di era supremasi algoritma, perlawanan paling radikal bukanlah mematikan mesin, melainkan menghidupkan etika. Tabayyun menjadi bentuk keberanian moral. Diam dari menyebar kebohongan menjadi sikap kenabian.

Ayat 17 menutup dengan peringatan universal, “Allah memperingatkan kamu agar tidak mengulangi perbuatan seperti itu selama-lamanya.”

Peringatan ini tak berhenti di Madinah abad ke-7. Ia sedang berbicara kepada kita, para pengguna dan penikmat media sosial abad ke-21. (Dean Al-Gamereau)

Pos terkait