Ifkun dan Viral
Di Madinah, fitnah berjalan kaki. Ia berpindah dari satu majelis ke majelis lain, dari satu telinga ke telinga berikutnya. Butuh hari, bahkan pekan, untuk membesar. Begitulah zaman dewasa itu. Belum ada alat komunikasi yang se-modern seperti sekarang.
Hari ini, fitnah tak lagi berjalan kaki. Ia berlari dalam hitungan detik, melompat dari layar ke layar, dari jari ke jari, dari satu akun ke ribuan akun lain. Kita menyebutnya viral. Dulu ia disebut ifkun. Hakikatnya sama : kebohongan yang menemukan kerumunan.
Dalam kisah “Hadiitsu Al-Ifki”, satu kalimat cukup untuk mengguncang Madinah. Dalam budaya media sosial, satu tangkapan layar sudah memadai untuk merobohkan reputasi. Dulu, orang berkata, “Kami hanya mendengar.” Kini, kita berkata, “Kami hanya membagikan.” Kalimatnya berubah. Dosanya sama. Mungkin bertambah, lebih besar dari dosa _”konvensional”.
Allah menegur masyarakat Madinah karena tak menghentikan cerita sejak kali pertama mendengarnya. Media sosial hari ini mengulang kesalahan yang sama, hanya dengan teknologi yang lebih canggih dan hati yang sama-sama rapuhnya. Maka, An-Nur 11 – 20 akan tetap relevan jadi pedoman berkomunikasi, bermedia.
Perlindungan Korban
Perkara yang paling berbahaya bukanlah akun anonim, melainkan akun-akun baik yang merasa aman karena berada di kerumunan. Dalam An-Nur : 13, Allah SWT menetapkan standar verifikasi yang hampir mustahil dipenuhi oleh gosip, empat saksi Itu bukan sekadar syarat hukum, melainkan pesan moral : jika bukti sekuat itu pun tak ada, mengapa lidahmu masih bergerak?
Bandingkan dengan hari ini, ketika satu potongan video tanpa konteks dianggap cukup untuk menyimpulkan segalanya. Kita hidup pada zaman saat (sering sekali) kecepatan mengalahkan kebenaran. Emosi mengalahkan akal sehat.
Ajaran yang paling menyentuh dari kisah itu adalah perlindungan korban.
Allah SWT membersihkan nama tanpa mengulang luka. Tak ada penyebutan detail. Tak ada eksploitasi tragedi. Tak ada klik-klik lagi.
Media sosial sering melakukan kebalikannya, mengulang nama, mengulang tuduhan, mengulang rasa sakit, Maka, korban menjadi korban lagi. Bukan karena peristiwa, melainkan karena perhatian yang tak tahu batas.
Ketika “hak jawab ilahi” turun, ia datang terlambat menurut manusia, tetapi tepat menurut keadilan. Ia tak mengejar viralitas. Tak perlu. Ia mengejar kebenaran. Ini yang substantif. Di dunia hari ini, hak jawab sering kalah cepat. Klarifikasi tenggelam di bawah ribuan share. Perkara yang benar harus berjuang lebih keras melebihi perkara yang sensasional.
Dilatih Bersabar, Menunggu Keputusan
Kisah “Hadiitsu Al-ifki” mengingatkan kita, kebenaran tak pernah kehilangan nilainya hanya karena ia datang terakhir. Mungkin pertanyaan terpenting bagi kita hari ini bukan siapa yang salah, melainkan di mana posisi kita saat fitnah itu lewat di linimasa.
Apakah kita penggagas? Pengulang? Atau orang yang memilih berhenti dan berkata, “Ini tidak patut dibicarakan”. Karena, seperti dari lorong Madinah, tempo hari, hingga linimasa hari ini, fitnah selalu mencari hal yang sama, yakni kerumunan yang mau ikut bicara.
Iman, barangkali, justru diuji di momen paling sunyi, saat kita memilih tak menekan tombol apa pun, dan membiarkan kebenaran menunggu waktunya sendiri. Seperti An-Nur 11 – 20, turun juga, setelah umat Islam dewasa itu, dan terutama korban fitnah, dilatih pula kesabaran menunggu keputusan – yang akhirnya mengandung dan mengandung pelajaran. (Dean Al-Gamereau)





