Pemakan Daging Bangkai Saudaranya
Surat Al-Hujuraat mencela ghibah. Orang yang suka ghibah diibaratkan dengan orang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. “…dan janganlah sebahagian kamu menggunjing (ghibah) sebahagian yang lain. Sukakah kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya…” (49 : 12).
Gibah dalam Hadis
Bagaimana gibah dalam hadis? “Apakah gibah itu?” tanya sahabat. “Dzikruka akhaaka bimaa yukrahu,” jawab Rasulullah SAW. Artinya, “menceritakan/memberitakan/membeberkan kejelekan orang lain”. “Kalau yang diceritakan itu benar?” tanya sahabat lagi. “Itulah gibah. Kalau tak benar, itulah dusta,” jawab Rasulullah SAW. (At-Tirmizi).
Pada hadis lain, riwayat Jabir bin Abdullah. Suatu hari, ketika Jabir bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba tercium bau busuk yang sangat menyengat, seperti bau bangkai. “Tahukah, bau apakah ini? Inilah bau orang yang meng-ghibah orang lain”. (Ahmad).
Satu lagi, kabarnya (hadisnya perlu diperiksa lagi sahih tidaknya), pada malam Isra Mikraj, Rasulullah SAW melewati sebuah kaum yang berkuku tajam, yang terbuat dari tembaga. Mereka mencabik-cabik wajah dan dada mereka. Lalu, Rasulullah SAW bertanya kepada Malaikat Jibril yang membawanya Isra dan Mikraj. “Siapa mereka?” tanya Rasulullah SAW. “Mereka itu suka memakan daging manusia, suka membicarakan dan menjelekkan orang lain. Mereka inilah orang-orang yang gemar ber-gibah,” jawab Jibril. (Abu Dawud).
Bagaimana dengan pekerjaan wartawan yang (antara lain) menceritakan/memberitakan/membeberkan kejelekan orang lain? Astaghfirullah. Sangat mengerikan! Oleh karena itu, hindari gibah. Siapa pun harus menghindarinya, terlebih-lebih kalau gibah itu disebarkan dan disuburkan di media massa, baik cetak maupun elektronik. Kadang-kadang, baik disadari maupun tak disadari, kita pun sering ikut nimbrung bergibah, di warung kopi, di kantor, di pasar, di sekolah, dan di mana saja.
Boleh Gibah
Lalu, mutlakkah gibah dilarang atau diharamkan? Dalam kasus-kasus tertentu, demi sebuah informasi yang tepat dan akurat, sah-sah saja menceritakan/memberitakan/membeberkan kejelekan orang lain. Ini mengacu pada hadis-hadis yang inti dan isinya pembeberan kejelekan. Tetapi, perlu pula dicatat, bahwa hadis ini tak disampaikamn ke publik. Tak disiarkan.
Adalah Fatimah binti Qays ditaksir dua perjaka, Muawiyah dan Abul Jahim. Tentu saja, Fatimah harus memilih satu seorang saja. Maka, untuk mendapatkan informasi yang tepat dan akurat, Fatimah datang kepada Rasulullah SAW untuk menanyakan kedua perjaka yang menaksirnya itu. “Muawiyah orang miskin, sedangkan Abul Jahim ringan tangan,” jawab Rasulullah S.A.W. (aslinya dengan bahasa kiasan), seadanya, jujur.
Rasulullah SAW menjawab apa adanya. Fatimah butuh informasi yang benar. Kalau informasinya salah, maka Farimah bisa saja memutuskan jodohnya secara salah – karena bersumber dari informasi yang salah.
Maka, Herry Muhammad dalam buku Jurnalisme – Islami menulis, memberi solusi. “Kiranya, jawaban Rasulullah saw. atas pertanyaan Fatimah tersebut bisa dijadikan tauladan bagi para wartawan muslim. Informasikan berita dengan niatan yang konstruktif-edukatif. Hindarilah syak wasangka yang mengandung nilai subyektifitas tinggi. Meskipun demikian, sebagai wartawan muslim, hendaknya juga memperhitungkan segala dampak yang bakal terjadi bila tulisan itu diturunkan…”
Prinsipnya, gibah haram, tetapi kritik konstruktif-edukatif akan sangat berbeda dengan gibah, bukan? Satu lagi, kalau mau ber-gibah, hendaklah dengan bahasa sandi, bahasa kiasan, seperti ketika Rasulllah SAW “ber-gibah” tentang Muawiyah dan Abul Jahim. Rasulullah SAW ingin menyampaikan kebenaran. Tak mau umatnya tersesat gara-gara informasi yang disampaikannya. Rasulullah SAW punya salah satu sifat paten : shidqun (jujur). Amat sangat mustahil membohongi umatnya.
Bagaimana cara “mencubit” orang lain, tetapi tak terasa sakit, malah kemudian berterima kasih karena telah “dicubit”, dikoreksi?. Di sinilah seninya, seni menyusun, merangkai, dan menyajikan kata dan fakta. Ada yang harus ditempuh secara bijak. Oleh karena itu, para pakar berdebat, jurnalistik itu ilmu atau seni? Wartawan yang berpengalaman mampu membedakan aib dan kejahatan. Pribadi atau kebijakan. Dia mampu pula membedakan perkara untuk kepentingan umum atau bukan…(Dean Al-Gamereau).





