Menyambut Hari Pers Nasional 2026 di Provinsi Banten Pesan Al-Qur’an untuk Wartawan (6)

Fitnah kepada Aisyah. Allah SWT membelanya dalam Al-Qur’an (Sumber foto :https://pabrikjammasjid.com)

Aisyah Mencari Kalung

Sore itu, menjelang sang surya kembali ke balik malam, gurun memantulkan cahaya emas seperti lembar-lembar kitab tua. Pasukan Rasulullah SAW baru saja berkemas untuk kembali ke Madinah.

Bacaan Lainnya

Debu melayang halus, tenda dilipat, dan langit menyuapkan warna jingga pada mata yang lelah. Aisyah, perempuan yang wajahnya jernih seperti embun pertama, mencari sesuatu (kalung) dari antara pasir yang berkilau.

“Kalungku,” bisiknya, suaranya selembut angin yang menggulung. Hanya sebuah kalung sederhana. Namun,  bagi Aisyah, perhiasan yang melilit di leher itu   seperti sepotong kenangan yang tidak ingin jatuh dari hidupnya.

Saat ia mencarinya, pasukan bergerak. Tandunya diangkat dan dibawa tanpa menyadari bahwa tubuh ringannya tidak berada di dalam selimut tenda itu. Ketika Aisyah kembali, dunia telah kosong. Tidak ada jejak kaki pasukan, hanya gurun luas, sunyi, dan cahaya yang semakin memudar.

 

Safwan Menuntun Unta

Kalung kesayangannya tak ditemukan. Aisyah duduk di bawah langit yang mulai biru kelam. Tak ada ketakutan, hanya rasa percaya bahwa Allah tidak akan menelantarkannya. Angin  menyentuh pipinya. Menyapu ujung jilbabnya.

Aisyah menatap cakrawala, menunggu seseorang menyadari bahwa ia sebetualnya tak ada di dalam tandu. Kita bisa pastikan, Aisyah bukan perempuan yang sangat gemuk, sehingga sama saja  ada atau tak ada di dalam tandu.

Benar! Seseorang sahabat datang melewati Aisyah yang sedang menunggu jemputan. Dialah Safwan bin Al-Mu‘aththal, seorang sahabat yang kukuh seperti batu karang, tetapi  hatinya bening saat melihat sosok itu dari kejauhan.

Safwan mengenal Aisyah, istri Rasulullah  SAW. Safwan terkejut, dan menahan pandangan matanya. Sofwan amat sangat hormat kepada Aisyah. “Innaa lillah…”  hanya itu yang keluar dari bibirnya.

Safwan  menuntun unta. Aisyah naik. Safwan berjalan, menapaki pasir yang dingin, tanpa sepatah kata pun yang menodai kehormatan, sampai tiba di Madinah. Boleh jadi, Sofwan berbahagia karena sudah menolong istri Rasulullah SAW.

Namun,  di Madinah, ketika dua titik kecil itu muncul di balik debu gurun, mata-mata yang tak terdidik dan beringas mulai berbicara. Maka,   fitnah, seperti burung hitam, mulai terbang tinggi menyebarkan dan menyuburkan cerita kosong.

 

Tangis Pilu Korban Fitnah

Rumor adalah makhluk yang tak punya kaki, tetapi bisa berlari. Tak punya sayap, tapi bisa terbang. Tak  punya mulut, tetapi bisa  berteriak. Di pasar, di lorong, di pinggir sumur, orang mulai berbisik ke telinga yang amat sangat lebar.

Bisikan itu kecil, namun seperti jarum yang ditiupkan ke balon. Bisikan itu ia menggembung jadi sesuatu yang mematikan. Aisyah tak mengetahuinya. Hanya saja, ia  mendapati Rasulullah SAW tampak lebih sunyi dari biasanya. Seolah-olah Rasulullah SAW membawa beban yang tak diceritakannya.

Aisyah jatuh sakit sepulangnya dari perjalanan  ke Madinah yang diantar Safwan. Demam menyerang Aisyah. Tubuhnya panas. Kepalanya berat. Dunia dirasakannya seperti berenang.

Dalam keadaan itu, Aisyah mendengar kabar yang menghancurkan langit dadanya : tuduhan keji, tuduhan palsu, tuduhan yang menampar kehormatannya di hadapan dunia.

Aisyah tentu saja menangis. Tangis pilu korban fitnah, Tangis panjang dan dalam, seperti sungai yang airnya berlari kencang. Demamnya naik. Jiwanya patah. Suaranya hilang di tengah-tengah keheningan.

Rasulullah SAW datang. Beliau duduk di dekatnya, memandang Aisyah dengan mata yang penuh belas kasih, sambil digelayuti kesedihan. Beliau tak mengatakan yang buruk. Namun, kata-kata Rasulullah SAW hari itu seperti pedang berbalut sutra. “Jika engkau bersih, Allah akan membersihkan namamu.” Aisyah diminta bertobat.

Kalimat itu, sungguh, cukup jadi penyebab tubuh Aisyah membeku. Ia merasa seluruh dunia memalingkan wajah. Ia meminta izin  pulang ke rumah ayahnya, Abu Bakar Ash-Shiddik. Di sana, Aisyah menangis lagi. Hatinya remuk seperti kaca yang dilempari baru.

 

Dialah yang Membebaskanku                            

Hari itu,  Rasulullah SAW memanggil para sahabatnya. Di masjid, suara beliau naik dan turun seperti ombak. “Siapa yang akan melindungiku dari orang-orang yang menyebarkan kebohongan tentang keluargaku?”

Para sahabat memerah seperti besi panas, marah kepada penyebar dan penyubur fitnah. Namun,  fitnah itu telah terlanjur menggulung Kota Madinah. Aisyah mendengar semuanya dari kejauhan. Hatinya kian retak.

            Rasulullah SAW tiba di rumah Abu Bakar. Beliau duduk. Wajahnya teduh seperti bulan yang baru muncul dari balik awan. Aisyah melihat cahaya di mata suaminya. Sesuatu kejutan  seperti akan terjadi.

Lalu, turunlah ayat-ayat, dibawa Malaikat Jibril,  yang seperti hujan di padang gersang. Seperti lampu yang menerangi gelap. Seperti suara kebenaran yang memecah pekatnya malam.

Allah SWT membebaskan Aisyah. Dirinya bersih dari segala tuduhan orang-orang yang tak bertanggung jawab. Aisyah menangis lagi. Namun, kali ini, tetes-tetes air mata itu seperti permata yang jatuh dari langit. Air mata sebening kristal.

Saat ibunya (Ummu Ruman) memintanya mendekat kepada Rasulullah SAW, Aisyah berkata pelan, “Demi Allah, aku tidak bangun. Aku hanya memuji Allah, karena Dialah yang membebaskanku.”

 

Penjaga Cahaya

Madinah terdiam. Orang-orang yang dulu berbisik kini menundukkan wajah, malu pada lidah mereka. Fitnah patah, retak, lalu lenyap. Aisyah berdiri, setegak pohon muda yang baru saja selamat dari badai. Air matanya kering, tapi hatinya berkilau. Ia tahu kini, kehormatan dirinya bukan berasal dari mata manusia. Ia milik Allah yang menegakkan kebenaran pada waktunya.

Aisyah tak pernah meminta kisah itu hanya menjadi miliknya. Namun, Allah SWT memilihnya jadi  penjaga pelajaran bagi umat,  “Bahwa lidah bisa membunuh. Bahwa rumor bisa menghancurkan kota, Bahwa perempuan yang suci bisa dilukai oleh kata yang kotor. Bahwa cahaya penerang, pada akhirnya, akan turun dari langit untuk menghapus kabut yang diciptakan tangan manusia”.

Sejak saat itu, setiap kali ayat An-Nur berbicara, dunia kembali mengingat Aisyah. Perempuan yang cahaya hatinya pernah diuji oleh gelap.
Perempuan yang namanya kini bersinar sebab dibela oleh  Allah SWT, seperti firmanya dalam surat Cahaya (An-Nur 11 – 20). Nama ayah Aisyah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Setelah turun ayat itu, Aisyah pantas pula digelari Ash-Shiddiqah bintu Ash-Ashiddiq (Dean Al-Gamereau)

Pos terkait