Akhlak dan Sopan Santun
Kitab Suci Al-Qur’an surat Al-Hujurat berbicara tentang komunikasi dan informasi. Beberapa ayat pertama menunjukkan adanya perintah etika berkomunikasi. Alquran surat Al-Hujurat diturunkan untuk semua orang, tetapi terasa seakan-akan diturunkan untuk wartawan.
Entah sengaja atau tak sengaja, ajaran surat Al-Hujurat mewarnai kode etik jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ PWI) yang dirumuskan kali pertama setahun setelah kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), di Solo, (Jawa Tengah) 9 Februari 1946.
Surat Al-Hujurat sarat dengan ajaran akhlak dan sopan santun, terutama sangat penting kalau dikaitkan dengan profesi wartawan. Muhammad Aly Ash-shaabuuny dalam tafsirnya, Rawaai’u ‘l-bayaani fii aayaati ahkaami ‘l-quraani, menamai surat Al-Hujurat ini dengan suuratu ‘l-akhlaaqi wa ‘l-adabi, artinya, surat akhlak dan sopan santun.
Ajaran akhlak dan sopan santun dalam surat Al-Hujurat itu meliputi akhlak terhadap Allah SWT, akhlak terhadap Rasulullah SAW, akhlak terhadap sesama mukmin, dan akhlak terhadap sesama manusia.
Surat Al-Hujurat terdiri dari 18 ayat. Orang mukmin dipanggil sampai lima kali dalam surat itu, dengan panggilaan wahai orang yang beriman, lalu diikuti dengan ajaran akhlak dan sopan santun – yang ternyata berkaitan pula (kalau dikait-kaitkan) dengan profesi wartawan.
Al-Qur’an berisi ayat-ayat tentang akidah, ibadah, dan akhlak. Surat Al-Hujurat ini sepenuhnya berisi akhlak, dan oleh karena itu disebut surat akhlak atau surat sopan santun
KEJ dan Asbab Nuzul
Pesan surat Al-Hujurat, khusus yang berkaitan langsung dengan profesi wartawan, terutama dengan kode etik jurnalistik (KEJ), antara lain, penghormatan terhadap wilayah pribadi seseorang (ayat 4), harus melakukan check and recheck ketika menerima berita (ayat 6), tak boleh merendahkan atau menghina orang lain (ayat 11), harus menjauhi prasangka (ayat 12), tak boleh mencari-cari kesalahan orang lain (ayat 12), dan tak boleh menggunjing (ayat 12). Mahkota ayat yang sangat erat kaitannya dengan profesi wartawan adalah ayat 6 yang berbicara langsung mengenai berita dan check and recheck.
Mengapa surat yang seakan-akan diturunkan untuk wartawan itu dinamai Al-Hujurat? Asbab nuzulnya (sebab-sebab turun ayat), menurut riwayat, seperti ditulis Al Qur’an dan Terjemahannya (Kemenag RI) seseorang memanggil-manggil Nabi Muhammad SAW., padahal sedang berada di rumahnya, di kamarnya, dengan istrinya.
Nabi Muhammad SAW, meski memang seorang rasul yang ditugasi melayani umat, tetap saja punya hak privasi, hak saat-saat memasuki wilayah pribadi yang tak boleh diganggu siapa pun. Oleh karena itu, orang yang memanggil-manggil Nabi Muhammad SAW tersebut ditegur Allah SWT karena dinilai tak santun.
Hujuraatun, jamak dari hujratun, artinya, kamar-kamar. Maka, surat ke-49 ini, kemudian dinamai Al-Hujurat, artinya, kamar-kamar, diadopsi dari ayat 4 surat Al-Hujuraat itu. “Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu), kebanyakan mereka tak mengerti”. Maka, sehubungan dengan profesi wartawan, saya ingin menamai surat Al-Hujurat ini dengan nama lain, “Jurnalisme Al-Hujurat” sebagai representasi ajaran “Al-Hujurat’ untuk wartawan dan ilmu kewartawanan.
Wilayah Pribadi
Nabi Muhammad SA.W, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, boleh pula disebut figur publik (public figure) karena membuat keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik, kepentingan umum. Meski begitu, Nabi SAW memiliki wilayah pribadi, sehingga ketika ada yang mengganggu wilayah pribadinya itu, kemudian ditegur oleh Allah SWT.
Wartawan yang saleh, tentu saja, akan sangat menghormati hak-hak wilayah pribadi itu, siapa pun. Wartawan akan bertindak profesional dan proporsional menempatkan seseorang sebagai sumber berita atau bahan cerita. Wartawan yang saleh tak akan sampai hati mengganggu atau mencederai harga diri seseorang.
Itulah sebabnya, PWI memasukkan wilayah pribadi itu ke dalam kode etik jurnalistik (KEJ PWI). “Wartawan menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum” (Pasal 6, Bab II, KEJ PWI). (Dean Al-Gamereau)





