MENYAMBUT HARI PERS NASIONAL (HPN) 2026 DI PROVINSI BANTEN Pesan Al-Qur’an Surat Al-Hujurat untuk Wartawan (1)

Foto ilustrasi kerja profesi wartawan (Foto : https://idn.freepik.com)

Akhlak dan Sopan Santun

Kitab  Suci Al-Qur’an surat Al-Hujurat berbicara tentang komunikasi dan informasi. Beberapa ayat pertama menunjukkan adanya perintah etika berkomunikasi. Alquran surat Al-Hujurat diturunkan untuk semua orang, tetapi terasa seakan-akan diturunkan untuk wartawan.

Bacaan Lainnya

Entah sengaja atau tak sengaja, ajaran surat  Al-Hujurat mewarnai kode etik jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ PWI) yang dirumuskan kali pertama setahun setelah kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), di Solo, (Jawa Tengah) 9 Februari 1946.

Surat  Al-Hujurat sarat dengan ajaran  akhlak dan sopan santun,  terutama sangat penting kalau dikaitkan dengan profesi  wartawan. Muhammad Aly Ash-shaabuuny dalam tafsirnya, Rawaai’u ‘l-bayaani fii aayaati ahkaami ‘l-quraani, menamai surat   Al-Hujurat ini dengan suuratu ‘l-akhlaaqi wa ‘l-adabi, artinya,  surat  akhlak dan sopan santun.

Ajaran  akhlak  dan sopan santun dalam surat  Al-Hujurat  itu meliputi akhlak terhadap Allah SWT, akhlak terhadap Rasulullah SAW, akhlak terhadap sesama mukmin, dan akhlak terhadap sesama manusia.

Surat  Al-Hujurat terdiri dari 18 ayat. Orang mukmin  dipanggil sampai lima kali dalam surat itu, dengan panggilaan wahai orang yang beriman, lalu diikuti dengan ajaran akhlak dan sopan santun – yang ternyata berkaitan pula (kalau dikait-kaitkan) dengan profesi wartawan.

Al-Qur’an  berisi ayat-ayat tentang akidah, ibadah, dan akhlak. Surat Al-Hujurat ini sepenuhnya berisi akhlak, dan oleh karena itu disebut surat akhlak atau surat sopan santun

 

KEJ dan Asbab Nuzul

Pesan surat  Al-Hujurat, khusus yang berkaitan langsung dengan profesi wartawan, terutama dengan kode etik  jurnalistik (KEJ), antara lain, penghormatan terhadap wilayah pribadi seseorang  (ayat 4), harus melakukan check and recheck ketika menerima berita (ayat  6), tak boleh merendahkan atau menghina orang lain (ayat 11), harus menjauhi prasangka (ayat 12),  tak boleh mencari-cari kesalahan orang lain (ayat 12),  dan tak boleh menggunjing (ayat 12).  Mahkota ayat yang sangat erat kaitannya dengan profesi wartawan adalah ayat  6 yang berbicara langsung mengenai berita dan check and recheck.

Mengapa surat yang seakan-akan diturunkan untuk wartawan itu dinamai Al-Hujurat?  Asbab nuzulnya (sebab-sebab turun ayat), menurut riwayat, seperti ditulis Al Qur’an dan Terjemahannya (Kemenag RI) seseorang memanggil-manggil Nabi Muhammad SAW., padahal  sedang berada di rumahnya, di kamarnya, dengan istrinya.

Nabi Muhammad SAW, meski memang seorang rasul yang ditugasi melayani umat, tetap saja punya hak privasi, hak saat-saat memasuki wilayah pribadi yang tak  boleh diganggu siapa pun. Oleh karena itu, orang yang memanggil-manggil Nabi Muhammad SAW tersebut ditegur Allah SWT  karena dinilai tak  santun.

Hujuraatun, jamak dari hujratun, artinya, kamar-kamar. Maka,  surat ke-49 ini, kemudian dinamai  Al-Hujurat, artinya, kamar-kamar, diadopsi dari ayat 4 surat Al-Hujuraat itu. “Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu), kebanyakan mereka tak  mengerti”. Maka, sehubungan dengan profesi wartawan, saya ingin menamai surat  Al-Hujurat ini  dengan nama lain,   “Jurnalisme Al-Hujurat” sebagai representasi ajaran “Al-Hujurat’ untuk wartawan dan ilmu kewartawanan.

 

Wilayah Pribadi

Nabi Muhammad SA.W, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, boleh pula disebut figur publik (public figure) karena membuat keputusan  yang berkaitan dengan kepentingan publik,  kepentingan umum. Meski begitu, Nabi SAW memiliki  wilayah pribadi, sehingga ketika ada yang mengganggu wilayah pribadinya itu, kemudian ditegur oleh Allah SWT.

Wartawan yang saleh, tentu saja, akan sangat menghormati hak-hak wilayah  pribadi itu, siapa pun. Wartawan akan bertindak profesional  dan proporsional menempatkan seseorang sebagai sumber berita atau bahan cerita. Wartawan yang saleh tak  akan sampai hati mengganggu atau mencederai harga diri seseorang.

Itulah sebabnya,  PWI memasukkan wilayah pribadi itu ke dalam kode etik jurnalistik (KEJ PWI). “Wartawan menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tak  menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum” (Pasal 6, Bab II, KEJ  PWI). (Dean Al-Gamereau)

Pos terkait