Ada pesan dan catatan untuk wartawan dari peristiwa “Hadiitsu Al-Ifki”. Di balik ayat demi ayat An-Nur 11–20, ada pula ajara jurnalisme. Ada pula etika untuk pengguna dan penggunaan media sosial dalam pergaulan sehari-hari, saat sibuk atau sedang menyendiri.
Manusia dan teknologi informasi sedang “mesra-mesranya”. Ajaran moral spiritual dan etika pergaulan sosial tetap harus terjaga,, Seorang wartawan, saat-saat bertugas menjalankan profesinya, haruslah punya pedoman dan pegangan. bersumber dari An-Nur 11 – 20, seperti berikut :
Viral dan Valid
Tidak semua yang beredar layak diberitakan. Allah SWT menegaskan adanya ifkun (kebohongan besar). Popularitas informasi bukan indikator kebenaran. Dalam jurnalisme dan media sosial, viral tak sebanding lurus dengan valid.
Fakta dan Cek Fakta
Verifikasi adalah kewajiban moral, bukan pilihan teknis. Tuntutan empat saksi menegaskan standar bukti yang sangat tinggi (An-Nur : 14). Beban pembuktian ada pada pembawa berita, bukan pada korban. Dalam konteks hari ini: fakta dulu, cek fakta, barulah naik cetak atau tayang (fact, check first, publish later).
Mendengar dan Membicarakan
Sekadar mendengatr, tetapi tak membicarakan atau menyampaikan lagi sebagai wujud peertanggungjawaban. Allah SWT menegur orang-orang beriman yang mendengar dan membicarakan. (An-Nur : 15). Diam, tetapi mendukung penyebaran, termasuk pelanggaran.
Provasi dan Martabat Manusia
Lindungi korban, bukan sensasi .Nama korban tak disebut dalam ayat klarifikasi. Privasi dan martabat manusia lebih penting daripada eksposur. Jurnalisme melindungi harkatb dan martabah manusia. Jurnalisme beradab tak mengulang luka demi trafik atau viral.
Informasi Kecil, Luka Besar
Jangan meremehkan dampak informasi. “Kamu menganggapnya ringan, padahal di sisi Allah SWT, ia besar.” Informasi kecil bisa melukai yang besar. Gosip digital dapat menghancurkan hidup nyata.
Tanggung Jawab Kolektif
Fitnah itu kejahatan sosial, bukan sekadar kesalahan individu. Ayat-ayat ini antara lain pelaku. Hoaks hidup karena ekosistem yang membiarkannya. Etika media adalah tanggung jawab kolektif. Siksa amat pedih untuk penebar fiitnah (An-Nur : 19).
Hak Jawab Ilahi
Hak jawab harus dihormati dan diprioritaskan. An-Nur 11–20 berfungsi sebagai hak jawab ilahi. Klarifikasi bukan pelengkap, tetapi inti keadilan informasi. Media yang adil memberi ruang setara bagi kebenaran. Dalam tubuh berita, ada cover botoh side, agar berimbang. Media hanya menampilkan fakta, bukan memengaruhi khalayak,
Menahan Diri
Diam bisa menjadi cara yang paling etis. Kita merasa tak pantas membicarakan fitnah, kabar yang belum jelas. Kita diam, karena semua isu harus dikomentari. Menahan diri adalah bagian dari iman. Baqi wartawan, lebih baik bersabar daripada mengejar headline (berita utama yang tampil pertama((
Rumusan ajaran junalisme, sekaligus pesan Al-Qur’an untuk wartawan, “An-Nur : 11–20 mengajarkan bahwa dalam ekosistem informasi, kebenaran menuntut verifikasi. Publik menanggung tanggung jawab moral. Korban wajib dilindungi, dan diam sering kali lebih mulia daripada ikut menyebarkan yang belum pasti.
Lahir pula dari sini kode etik Jurnalistik Islam. Sumbernya, Ak-Qur’an (An-Nur 11–20), sunah Rasulullah ﷺ, dan prinsip jurnalisme modern : ringkas, tegas, dan aplikatif. Jurnalisme An-Nur 11-20 sekaligus bernuansa moral spiritual. Bagian terakhir ini merupakan prinsip profesi seorang wartawan muslim (Dean Al-Gamereau)





