Menyelami Kebenaran: Ketika Filsafat, Jurnalisme dan Dakwah Bertemu

Oleh:

Muhamad Tamamul Iman, M.Phil

Bacaan Lainnya

Dosen Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Di tengah banjir informasi, ada satu hal yang kian langka: pemahaman yang mendalam.
Kita sering terburu-buru menilai, cepat mengomentari, dan mudah menyimpulkan. Padahal, di balik setiap berita, pernyataan, atau dakwah, selalu ada ruang tafsir yang menuntut kepekaan — ruang yang oleh Hans-Georg Gadamer sebut sebagai fusion of horizon, atau peleburan cakrawala antara penafsir dan yang ditafsir (Gadamer, Truth and Method, 1975: 305).

Dalam pandangan Gadamer, memahami bukan sekadar mengetahui, tetapi bertemu antara cakrawala diri dan cakrawala makna yang lain.

Artinya, setiap tindakan memahami selalu melibatkan dialog — bukan hanya dengan teks, tapi juga dengan konteks. Dan di titik inilah, filsafat, jurnalisme, dan dakwah ternyata memiliki jantung yang sama: semuanya berangkat dari hasrat untuk memahami manusia dan kebenaran.

Filsafat: Mencari Makna di Balik Realitas

Filsafat selalu dimulai dari keheranan. Ia bertanya bukan untuk menemukan jawaban cepat, melainkan untuk menyingkap makna di balik kenyataan yang tampak biasa. Bagi Gadamer, kebenaran dalam filsafat bukan sesuatu yang final, melainkan hasil dari dialog terus-menerus antara nalar dan pengalaman. Ia menulis, “Understanding is not a merely reproductive, but always a productive activity” — memahami bukan sekadar menyalin makna, melainkan menciptakan kembali makna melalui keterlibatan diri (Gadamer, 1975: 296).

Seorang filsuf sejati tidak mengklaim kebenaran mutlak, melainkan terus membuka diri terhadap kemungkinan baru yang muncul dari perjumpaan dengan yang lain. Maka, filsafat bukan tentang menang berargumen, melainkan tentang melatih diri untuk memahami sebelum menilai.
Sikap ini adalah inti dari hermeneutika: seni memahami, yang oleh Schleiermacher disebut sebagai “seni memahami seseorang lebih baik daripada ia memahami dirinya sendiri” (Schleiermacher, Hermeneutik und Kritik, 1838).

Jurnalisme: Memahami Fakta, Menyentuh Makna

Banyak yang mengira jurnalisme hanya tugas melaporkan fakta. Tapi jurnalisme sejati bukan sekadar “apa yang terjadi,” melainkan juga “mengapa itu penting.”
Seorang jurnalis idealnya bukan sekadar pengabdi kecepatan, melainkan penafsir realitas sosial.
Ia mendengarkan suara yang terpinggirkan, menyelami konteks di balik peristiwa, dan menulis bukan hanya dengan pena, tapi dengan empati.

Di sinilah jurnalisme bertemu dengan hermeneutika Gadamer:
setiap berita adalah hasil dari perjumpaan dua horizon — horizon jurnalis dan horizon peristiwa.
Gadamer menegaskan bahwa “semua pemahaman adalah penafsiran, dan semua penafsiran tumbuh dari situasi historis tertentu” (Truth and Method, 1975: 269).

Jurnalis yang baik tidak hanya menyalin realitas, tapi menafsir realitas dengan kejujuran dan kedalaman, seraya menyadari bahwa kebenaran jurnalistik juga merupakan dialog antara fakta dan nurani.

Dakwah: Menyampaikan dengan Pemahaman

Begitu pula dengan dakwah. Ia bukan hanya aktivitas menyampaikan pesan keagamaan, tetapi menghadirkan pemahaman yang hidup di hati manusia. Seorang Da’i sejati tak hanya berbicara, tetapi juga mendengar — sebab dakwah sejatinya adalah dialog spiritual.

Ketika seorang Da’i berbicara kepada masyarakat yang berbeda latar sosial, budaya, dan pemikiran, ia sedang melakukan proses hermeneutik: menerjemahkan nilai Ilahi ke dalam bahasa manusia. Gadamer mengajarkan, pemahaman sejati terjadi ketika dua cakrawala melebur: horizon teks dan horizon pendengar.

Demikian pula dakwah — ia menjadi bermakna ketika pesan langit mampu menyentuh bumi, dan nilai-nilai spiritual bisa dihayati dalam keseharian manusia. Dalam bahasa Ricoeur, “to explain is to understand better” — menjelaskan bukan memisahkan makna, tapi justru menyelami makna lebih dalam (Ricoeur, Interpretation Theory, 1976: 87).

Peleburan Horizon: Jalan Bersama Menuju Kebenaran

Jika kita cermati, filsafat, jurnalisme, dan dakwah sama-sama melewati tiga tahap hermeneutik:

  1. Pemahaman – menyelami realitas dan mendengar dengan kesadaran.
  2. Eksplikasi – menjelaskan makna agar bisa dipahami orang lain.
  3. Aplikasi – menerapkan nilai yang ditemukan dalam tindakan nyata.

Ketiganya menolak klaim tunggal atas kebenaran. Filsafat mengajarkan kerendahan hati berpikir, jurnalisme menuntut kejujuran dalam menyampaikan, dan dakwah mengingatkan agar setiap pesan membawa kebaikan.

Di sinilah terjadi fusion of horizon — ketika nalar, fakta, dan iman bersatu dalam dialog kemanusiaan yang saling memperkaya.

Kebenaran yang Diperbincangkan, Bukan Dipaksakan

Di era polarisasi dan kebisingan digital, kita sering terjebak pada keinginan untuk “benar sendiri”. Padahal, kebenaran yang otentik bukan hasil paksaan, melainkan hasil perjumpaan.
Sebagaimana Gadamer katakan, “Truth emerges not in isolation but in the conversation that we are.” (Gadamer, Philosophical Hermeneutics, 1976).

Kebenaran adalah dialog yang tak pernah selesai, karena manusia sendiri adalah makhluk yang terus menafsir.

Jurnalis yang berempati, filsuf yang rendah hati, dan dai yang bijak — ketiganya berbagi satu visi: menjernihkan makna hidup manusia. Mereka bukan penguasa kebenaran, melainkan penjaga percakapan tentang kebenaran. Dan di dunia yang semakin bising, mungkin yang paling kita butuhkan bukan lebih banyak kata, tapi lebih banyak mendengar.

Pada akhirnya, filsafat, jurnalisme, dan dakwah tidak berjalan di jalur yang terpisah.
Ketiganya adalah jalan yang berbeda menuju satu tujuan yang sama: memanusiakan manusia melalui pemahaman.

Dan seperti kata Gadamer, “To understand is to come into agreement in conversation.” (Gadamer, Truth and Method, 1975: 383). Dalam percakapan yang jujur, horizon kita melebur, dan kebenaran perlahan menemukan wujudnya — bukan sebagai dogma, tetapi sebagai makna yang hidup di antara kita.

 

Referensi

  • Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method. New York: Continuum, 1975.
  • Gadamer, Hans-Georg. Philosophical Hermeneutics. Berkeley: University of California Press, 1976.
  • Schleiermacher, Friedrich. Hermeneutik und Kritik. Berlin: Reimer, 1838.
  • Ricoeur, Paul. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976.

Pos terkait