Misteri Di Balik Kota Raksasa Meikarta

Oleh : Hersubeno Arief
Konsultan Media dan Politik

korabanten.com – Jika sempat membuka-buka halaman di sejumlah media massa nasional, dalam beberapa pekan terakhir Anda akan mendapati iklan besar-besaran penjualan apartemen di kota Meikarta.

Bacaan Lainnya

Begitu juga jika berkunjung ke mal-mal yang dimiliki oleh Lippo Group Anda malah akan mendapati counter penjualan kota Meikarta.

Promosi kota yang akan dibangun oleh kelompok usaha milik James Riady itu sangat gencar.

Di harian Kompas mereka memasang display di dua halaman berwarna. Sementara di harian Media Indonesia (22/5) bahkan sampai lima halaman berwarna.

Desain, visual dan promosi yang dijanjikan sangat menarik. Inilah sebuah kota di Cikarang, Bekasi, kawasan yang tengah berkembang pesat dan dijanjikan akan menjadi kota paling modern, terindah dengan infrastruktur terlengkap di Asia Tenggara.

Bukan hanya itu yang dijanjikan oleh Lippo. Kawasan seluas 500 hektar itu juga terhubung dengan berbagai moda transportasi yang kini tengah dibangun pemerintah, antara lain kereta api cepat Jakarta-Bandung. Pembangunan Patimban Deep Seaport, pembangunan bandara internasional Kertajati, dan pembangunan jalan tol Jakarta-Cikampek Elevated Higway.
Siapa yang tidak tergiur?

Media memberitakan ketika dilakukan penjualan perdana pada 13 Mei di Orange County Lippo Cikarang, para calon pembeli datang berduyun-duyun.

Tapi jangan dulu buru-buru memutuskan membeli sebelum sepenuhnya mendapatkan dan memahami informasi produk yang akan Anda beli.

Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar mengaku terkejut ketika mengetahui Lippo Group sudah memasarkan “kota baru” tersebut.

Berdasarkan data dari Provinsi Jabar, Meikarta belum mempunyai izin. Dari tata ruang provinsi “kota’ tersebut juga tidak ada dalam perencanaan.
Pemprov Jabar mempunyai rencana tata ruang berupa pembangunan kota Metropolitan Bogor-Depok-Bekasi-Karawang dan Purwakarta (Bodebekarpur) untuk mengimbangi pertumbuhan Jakarta.

Jadi bagaimana mungkin tiba-tiba muncul “kota raksasa” Meikarta? Ini sungguh sebuah “keajaiban” baru di pinggiran paling Timur Kabupaten Bekasi.

Sebuah proyek raksasa senilai Rp 278 triliun dan merupakan proyek terbesar sepanjang 67 tahun sejarah berdirinya Lippo, tiba-tiba bisa menyembul begitu saja dari muka bumi. Diperlukan sebuah kepiawaian sulap tingkat super tinggi untuk mewujudkannya.

Negara dalam negara

Dalam siaran pers yang disampaikan kepada media, Lippo Group menyebutkan persiapan kota Meikarta sudah dimulai sejak 2014. Pada tahap pertama lahan yang akan dibangun seluas 22 juta m2 untuk perumahan sebanyak 250 ribu unit dan dapat menampung 1 juta jiwa. Diharapkan Desember 2018 sudah siap huni.

Tanah di kawasan Meikarta dihargai Rp12.5 juta/m2 , atau menurut mereka 50 persen lebih rendah harga di koridor Bekasi-Cikarang yang sudah mencapai Rp 18-20 juta/m2.

Pembangunan fisik sudah mulai dilakukan sejak Januari 2016, dengan membangun sekaligus 100 gedung pencakar langit dengan tinggi masing-masing 35-46 lantai.

Perencanaannya sungguh sangat matang dan terencana. Tapi sekali lagi yang mengherankan kok bisa-bisanya Pemprov Jabar dan Pemkab Bekasi tidak tahu dan belum pernah mengeluarkan izin.

Wagub Jabar Deddy Mizwar saking kesalnya sampai menyebut “Lippo seperti negara dalam negara.”

Gaya yang dilakukan oleh Lippo mengingatkan kita pada para pengembang besar di proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Para pengembang di kawasan ini juga sudah mengiklankan produknya bahkan sampai ke media-media di Cina, padahal perizinannya belum tuntas.

Keduanya agaknya kelompok pengusaha yang menganut paham “Jual dulu, izin baru diurus kemudian.”

Nilai total keseluruhan proyek di Teluk Jakarta untuk lahan seluas 5.100 hektar diperkirakan mencapai Rp 500 triliun, sementara Meikarta sebesar Rp 278 triliun.

Namun harap dicatat reklamasi Teluk Jakarta dilakukan oleh 9 pengembang, sementara Meikarta adalah proyek Lippo sendiri dengan menggandeng beberapa partner asing.

Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung

Coba perhatikan harga tanah yang ditawarkan oleh Lippo Rp 12.5 juta/m2 , angka ini sungguh fantastis, walaupun disebut 50 persen lebih murah dibanding kawasan Bekasi-Cikarang.

Mengapa bisa begitu mahal? Alasan Lippo karena Meikarta mempunyai banyak akses transportasi. Salahsatunya adalah jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung.

Masih ingat soal kontroversi rencana pembangunan jalur Shinkansen sepanjang 142 Km ini?

Direktur PT KAI Ignasius Jonan adalah penentang keras proyek ini. Menurutnya proyek ini tidak berkeadilan dan dianggap tidak ada urgensinya dibangun. Apalagi bila proyek tersebut dibiayai dengan dana APBN.

Jonan menilai jauh lebih penting mengembangkan proyek kereta api Trans-Sumatra, Trans-Kalimantan, Trans-Sulawesi atau Trans-Papua. Jonan sangat benar, karena jalur Jakarta-Bandung sudah terhubung dengan jalur tol Purbalenyi, maupun jalur kereta api. Khusus untuk kereta api, tinggal dikembangkan beberapa ruas jalur rel ganda.

Penentangan Jonan berlanjut bahkan ketika dia dipercaya menjadi Menhub Kabinet Jokowi. Namun Jonan agaknya kalah lobi dibandingkan Meneg BUMN Rini Soemarno yang menginisiasi proyek tersebut.

Singkat cerita proyek tersebut akhirnya tetap berjalan dengan ditunjuknya China Railway International. Jonan mental dari posisinya sebagai Menhub.

Total biaya proyek tersebut sebesar USD 5.5 miliar atau dengan kurs Rp 13.600/USD, maka nilai proyeknya setara Rp 74.8 triliun. 75 persen dana berupa pinjaman Bank Pembangunan China (CDB).

Pelaksana proyek tersebut adalah PT Kereta Cepat Indonesia China, dengan saham dimiliki PT Pilar Sinergi BUMN,‎ yang terdiri dari 4 BUMN, yaitu PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero), dan PT Kereta Api Indonesia (Persero).

Bukan hanya Jonan yang menentang proyek tersebut.Banyak kalangan yang mengkhawatirkan proyek yang didanai dengan menggadaikan aset 4 BUMN tersebut. Bila sampai gagal, aset 4 BUMN itu menjadi taruhannya.

Dengan munculnya dengan tiba-tiba kota Meikarta, publik menjadi ngeh dan mulai mengkaitkan dengan proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung.

Meminjam judul buku RA Kartini kita bisa menyebutnya “Habis Kereta Api cepat Jakarta-Bandung, terbitlah Kota Meikarta.”

Munculnya kota Meikarta yang diambil dari ibu James Riady bernama Mei, sekali lagi menunjukkan kepiawaian dan ketangguhan lobi bisnis keluarga Riady. Sebagai pebisnis maupun lobi politik, mereka punya kelas dunia. Langkah mereka seratus bahkan seribu langkah di depan.

Keluarga Riady bisa masuk ke pusat kekuasaan di pemerintahan AS pada masa Clinton. Mereka bahkan bisa mempengaruhi kebijakan bisnis, politik dan diplomasi Amerika Serikat. (Baca : http://www.nytimes.com/1996/10/07/opinion/the-asian-connection.html).

Jadi kalau hanya level Indonesia, apalagi Jabar, buat mereka hanya kelas teri. Kelas ecek-ecek.

Melalui kekuatan dana dan kepiawaian lobi politiknya, mereka sudah terbiasa “beternak” penguasa.

Indra penciuman dan instink politiknya sangat tajam. Mereka bahkan bisa mengenali Bill Clinton bakal menjadi penguasa AS sejak dia masih berada di kota kecil Little Rock di negara bagian Arkansas.

Dampak pada Pilkada Jabar

Melihat dinamika politik di Jakarta yang erat kaitannya dengan kepentingan para taipan, utamanya proyek reklamasi, bisa dipastikan kontroversi kota Meikarta sedikit banyak akan mempengaruhi dan ikut menentukan Pilkada Jabar.

Pilkada Jabar akan digelar pada bulan Juni 2018. Hunian pertama kota Meikarta direncanakan akan diserahterimakan bulan Desember 2018.

Lippo dipastikan tidak menginginkan proyek Meikarta terganggu, bila gubernur yang terpilih tidak sejalan dan mendukung proyek terbesar mereka sepanjang 67 tahun kerajaan bisnis itu berdiri.

Sikap keras Deddy Mizwar yang memperingatkan Lippo agar berhati-hati, jangan membuat “negara dalam negara” bisa menjadi signal kemana haluan politik mereka akan diarahkan.

Politik dan bisnis memang tidak bisa disatukan. Politik atau kekuasaan yang ideal, bicara bagaimana melayani kepentingan warga sebanyak-banyaknya. Sementara bisnis, berbicara bagaimana mendapatkan keuntungan dari warga sebanyak-banyaknya.

Sayangnya dalam demokrasi langsung, praktiknya menunjukkan sebaliknya. Kebanyakan politisi berusaha mendapatkan dukungan dari warga sebanyak-banyaknya dan kemudian mereka mengabdi kepada sekelompok kecil pengusaha yang sudah mengeluarkan banyak dana untuk membiayai kampanyenya. end

Pos terkait