Kepada siapakah mayoritas ruang pemberitaan kita berikan dalam tarik ulur Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang Komisi Pemberantasan Korupsi? Pertanyaan semacam ini menguji sikap etis wartawan dan media dalam kasus-kasus pemberitaan yang mengandung pro-kontra. Terdapat muatan dikotomi protagonis dan antagonis yang idealnya memosisikan media berada di tengah sebagai mediator. Ruang atau space pemberitaan pun kita buka sebagai forum diskusi publik.
Persoalan pilihan, dalam pergulatan etika, bukan sekadar menjadi urusan manajemen volume kuantitatif. Pilihan etis lebih mensyaratkan penyediaan volume kualitatif, karena pertanggungjawabannya adalah moralitas sosial, bukan sekadar pemenuhan prinsip keberimbangan (cover both sides) jurnalistik.
Volume kualitatif dalam pilihan etis pemberitaan merupakan ekspresi determinasi media, yakni hendak diarahkan ke mana berita untuk membentuk opini publik. Pilihan etis itu, sebagai keputusan sikap pemberitaan, menjadi wujud kebijakan newsroommedia.
Ukuran moralitas pertanggungjawaban sosial boleh jadi akan berbedabeda, tergantung kepentingan antara kelompok protagonis dan yang antagonis. Sudut pandang dua kelompok ini pun pasti berbasis argumentasi masingmasing, walaupun akan selalu ada logika umum tentang mana yang sejatinya berpihak kepada kemaslahatan publik.
Logika inilah yang relevan kita pertanyakan dalam kasus Pansus Hak Angket DPR tentang KPK. Siapa yang lebih layak diberi cukup ruang naratif untuk mempengaruhi opini masyarakat? Pertanyaan itu sebenarnya mudah mendapat jawaban dari sudut tanggung jawab sosial kemaslahatan publik. Namun atas nama pertarungan pembentukan pendapat publik, jawaban-jawaban dari keputusan etislah yang akan memperkuat moralitas wartawan dan media, sehingga dia — media — tidak terjebak dalam penilaian memihak salah satu sisi.
Loyalitas Wartawan
Kewajiban utama praktisi jurnalisme adalah memberitakan kebenaran. Salah satu elemen jurnalisme Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) itu bisa menuntun agar wartawan dan media tidak salah langkah memosisikan diri dalam menghadapi dikotomi protagonis dan antagonis. Hal ini didukung oleh elemen lainnya, yakni penghayatan sikap bahwa loyalitas utama wartawan adalah kepada warga masyarakat.
Jika dua di antara Sembilan Elemen Jurnalisme Kovach dan Rosentiels itu dijadikan pemandu dalam bersikap mengenai ruang pemberitaan hak angket DPR soal KPK, rasanya kita akan mudah mendapat bayangan kepada siapa volume mayoritas ruang opini publik itu kita siapkan.
Bukankah saat-saat ini, dengan segala realitas fenomena korupsinya, Indonesia membutuhkan penguatan atmosfer sikap antikorupsi? Kepada semua lapis masyarakat patut ditransformasikan sikap tersebut, untuk memberi kesadaran bersama — seperti yang sering disampaikan oleh Guru Besar Sosiologi Hukum Undip Satjipto Rahardjo (alm) – – bahwa kaorupsi adalah kejahatan luar biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang luar biasa, sehingga harus dihadapi dengan cara-cara luar biasa.
Argumen-argumen melalui narasi yang menggugat eksistensi KPK, audit kelembagaan, dan pengapungan kecurigaan bahwa komisi tersebut “bermain politik”, sebenarnya juga telah dilawan dengan opini publik yang disampaikan oleh para pegiat antikorupsi. Namun, seperti yang terjadi dalam pembentukan Pansus Hak Angket KPK, kekuatan normatif lembaga negaralah yang kemudian merasa berhak menentukan nasib KPK lewat hak angket, dengan aneka argumen yang diopinikan.
Di hadapan DPR — yang beberapa anggotanya dikaitkan dengan kasus KTP elektronik — tentulah KPK adalah sang antagonis. Tetapi dari perang opini itu, kira-kira siapa protagonisnya, dan siapa antagonis dari kacamata publik? Dari sudut pandang wartawan dan media, siapa pula yang terdikotomi?
Jika menggunakan jurus tentang loyalitas utama wartawan, bukankah kita tak perlu ragu untuk memilih berpihak pada elemen perang melawan korupsi? Objektivitas bukanlah sekadar berada di posisi tengah tanpa mengetahui ada apa sebenarnya dengan sebuah isu publik.
Maka idealnya, model-model pemberitaan dalam kondisi dikotomis seperti isu Pansus Hak Angket KPK, adalah narasi etis untuk memperjuangkan keberpihakan. Jangan ragu untuk memberi volume kualitatif terhadap segi-segi yang kita yakini. Inilah loyalitas wartawan dan media kepada masyarakat dan kebenaran.
— Amir Machmud NS, wartawan Suara Merdeka dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah