Oleh : Dean Al-Gamereau
Sinar matahari sudah mulai menerobos daun dan dahan, Nak! Burung-burung mulai bernyanyi-nyanyi mendendangkan kebebasan. Sebelum berangkat ke huma di atas bukit, kita ke tempat pemungutan suara (TPS) dulu di kaki gunung sana. Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), tetangga kita juga, yang sebelumnya rajin memberi penjelasan kepada kita tentang pentingnya menggunakan hak pilih. Surat pemberitahuannya, kita bawa bukan?
Untuk kali pertama kaumenggunakan hak pilih. Ibumu sudah sekian kali menggunakannya. Kini, pilih presiden dan wakil presiden yang kausukai, bebas, seperti nyanyi pagi burung-burung di belakang rumah kita. Bebas kaumemilih calon presiden dan wakil presiden, seperti kaubebas memilih kembang melati yang kemudian terselip di rambut hitam legammu.
Pilihlah calon presiden dan wakil presiden yang akan berjuang untuk kita! Kau pernah dengar pidato kampanye atau kausaksikan debat mereka di televisi? Dengan suaranya yang serak-serak basah, d an sambil mengepalkan tinju ke atas, bahkan dengan suara yang menggelegar, juga dengan bingkai murah senyum, mereka berjanji akan memperbaiki nasib orang-orang seperti kita – kalau kelak mereka terpilih.
Satu suaramu yang sah, Nak, sama harganya dengan satu suara sah seorang calon presiden atau wakil presiden. Suara sahmu akan berarti, biar pun nanti hanya seperti setitik air yang jatuh ke laut luas sejauh mata memandang.
Kaumau memilih siapa? Anies, Ganjar, Prabowo? Terserah! Itu bebas dan rahasia, bukan? Ya, bebas dan rahasia untuk kita. Jujur dan adil untuk penyelenggara. Pilihan kita bisa sama, bisa pula berbeda. Di sini, anakku bukan anakku! Kaubukan fotokopi aku! Namun, kita tak termasuk golput, bukan? Bunyi spanduk yang kita baca di seberang jalan kantor desa, “Golput tidak keren”. Namun, kita akan melakukan yang sama, Nak, baca bismillah sebelum menggunakan hak pilih dan membaca hamdalah sesudahnya. Kata Pak Ustaz di masjid, dalam pengajian, memilih pemimpin itu ibadah.
Biarlah, calon presiden dan wakil presiden yang kelak terpilih berpikir tenang. Bekerja memeriksa kembali janji-janji kampanye, janji-janji dengan rakyat, di istana, sambil menghirup kopi pagi. Kita tetap meratakan tanah dan menabur benih di sini, sambil sesekali kita nikmati sejuknya angin pegunungan.
Calon Presiden dan wakil presiden terpilih nanti akan berbicara tentang banyak hal, tentang kesejahteraan, tentang kesehatan, tentang pendidikan, tentang semua hal demi dan untuk kita hidup lebih baik, lebih sejahtera, seperti yang mereka janjikan. Kalau mereka tak menepati janjinya, kita buat saja komunitas penagih janji kampanye, ya?
Ketika kita ke kota, sering sekali pula kita saksikan kemelaratan di tengah gedung indah dan sedan mewah. Kita lebih baik dari mereka, Nak, biar pun pakaian kita sama-sama lusuh berlapiskan debu.
Matahari sudah naik. Hari mulai panas. Baru saja kita menggunakan hak pilih di balik bilik rahasia TPS. Sekarang, kita ke huma di atas bukit, kita sedang menghadapi musim panen, musim petik padi huma yang kita tanam tempo hari.
Dari rumah ke TPS, kita berbekal cinta putih untuk calon yang akan kita pilih. Keluar dari TPS, lalu menuju huma di atas bukit, kita dibekali tinta ungu di salah satu jari tangan kita. Maka, “Nyanyi Pagi 14 Februari 2024” pun sampai di sini. (Dean Al-Gamereau, Sekretaris Dewan Penasihat PWI Provinsi Banten masa jabatan 2019 — 2024, ketua Pimpinan Wilayah PERSIS Provinsi Banten, masa jihad 2021-2025).