KORANBANTEN.COM-Bagaimana puluhan buku bisa terbit, padahal kesibukan sehari-hari begitu padat, baik mengajar di pesantren maupun menghadiri undangan pengajian? Belum lagi kesibukan di organisasi (Persatuan Islam), ditambah kesibukan pribadi sehari-hari?
Sebetulnya, pembagian waktulah kuncinya. Tetapi, datangnya inspirasi, atau tibanya gagasan, tak bisa dijadwalkan. Kedua-duanya, bahkan, bisa datang tiba-tiba saat menulis, saat mencatat dalam lembaran kertas. Juga, sekalipun gagasan sudah tertata sempurna dituliskan, besok atau lusa, mungkin diubah lagi karena terlintas gagasan lain yang dinilai lebih baik.
Bakat menulis Kiai Haji Aceng Zakaria, lelaki yang dilahirkan di kaki Gunung Guntur, Kabupaten Garut (Jawa Barat), 11 Oktober 1948 itu, ternyata sudah tampak sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD). Bakat inilah yang kemudian berkembang, tumbuh di lahan yang subur ilmu, bernama pesantren.
Selepas lulus SD, Ustaz Aceng, demikian dia biasa dipanggil, sudah bisa mengajarkan fikih, akhlak, nahwu, dan tasfir di lingkungan tempat tinggalnya ketika itu. Bukan saja mengajar, tetapi juga menyusun pelajaran, baik bahan pelajaran yang akan diajarkan, maupun catatan pelajaran yang sudah diajarkan.
Semuanya ditulis tangan, apalagi ketika itu mesin tulis saja belum begitu merata. Komputer belum ada sama sekali. Asal tahu saja, sampai kini pun, Ustaz Aceng menulis buku secara tradisional konvensional, ditulis tangan dulu, sebelum kemudian ditulis di layar komputer. Ini seperti Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan, seorang penulis buku-buku tentang bahasa Indonesia, yang selalu menulis buku dengan tulisan tangannya dulu. Sangat rapi.
Tulisan tangan Ustaz Aceng, saat menulis bahan pelajaran dan catatan pelajaran seusai mengajar tempo hari, sampai saat ini masih tetap terawat. Jadi saksi tentang seseorang dari kaki Gunung Guntur yang punya bakat menulis.
Boleh jadi, kedua orang tuanya, Ahmad Kurhi (biasa dipanggil Ajengan Kurhi) dan Menoh, tak pernah berpikir anaknya jadi penulis seperti sekarang ini. Hanya saja, anak yang dididik taat beragama, hidup di lingkungan keluarga yang taat beragama, itu diminta terus belajar ilmu-ilmu agama. Ustaz Aceng sediri anak anak keempat dari lima bersaudara (Nyimas Ipok, Asep Bahroya, Atep Tantowi, Aceng Zakaria, dan Cucu)
Kedua orang tuanya itu, hanya warga negara biasa, yang sudah terbiasa dengan keadaan biasa-biasa saja. Bukan pejabat atau ningrat. Tetapi, mereka jadi luar biasa ketika ingin punya anak yang jauh lebih pintar dari kedua orang tuanya. Sang anak, memang, kemudian jadi “luar biasa”, jadi juru dakwah di kalangan pejabat dan akademisi, juga jadi “ningrat” ilmu-ilmu keislaman yang berbasiskan kitab-kitab klasik Islam sebagai sumber primer.
Ahmad Kurhi dan Menoh, boleh jadi akan berbangga melihat anaknya sudah melampaui batas mimpinya : anak yang memahami ilmu-ilmu agama, jadi ustaz di pesantren, biasa naik mimbar dan podium, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, juga akrab dengan kebiasaan menulis buku.
Buku-buku yang ditulisnya dekat dengan pesantren, seperti nahwu, tasrif, dan fikih. Ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, seperti bahasa seorang kiai yang sedang mengajari santrinya. Buku-bukunya kemudian, memang, selain jadi bahan khotbah para juru dakwah di mimbar pengajian, juga diajarkan para ustaz di pesantren.
Bagi Ustaz Aceng, ayah delapan anak itu, tak ada waktu khusus untuk menulis, seperti diakuinya, dalam sebuah percakapan di Kampung Kelapa Koneng, Pantai Selat Sunda, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, sebelum mengisi tablig akbar.
Semua mengalir begitu saja, kapan saja, ketika ada dalam kendaraan, atau bahkan sedang berdakwah di mimbar. Ketika datang inspirasi, maka baris demi baris tulisan disusun rapi, untuk kemudian jadi sebuah catatan.
Ustaz Aceng, ketika sudah jadi ketua umum PP PERSIS pun (2015 – sampai sekarang) masih terus menulis buku, padahal kesibukananya semakin padat. Puluhan buku sudah ditulis, dan tak akan pernah berhenti menulis.
Di lingkungan Persatuan Islam se-generasinya, boleh jadi, Ustaz Aceng-lah yang paling banyak menulis buku. Pesantren Persatuan Islam (PPI) 99 Rancabango yang sampai kini masih diasuhnya, dan terletak di kaki Gunung Guntur yang sejuk itu, jadi “rumah inspirasi” untuk buku-bukunya yang mendekati angka 99 judul. Nomor 99 untuk PPI, inspirasi dari Asmaaul Husnaa? (Dean Al-Gamereau).