Oleh : Hersubeno Arief
Konsultan Media dan Politik
Pilkada serentak 2018, akan berlangsung 14 bulan lagi, namun aura panas pertempuran sudah mulai terasa. Setelah Pilkada DKI 2017 usai, para “combatant”_terutama di dunia maya _(cyber army) sudah mulai bertempur kembali. Medan tempur kedua, second front yang dipilih adalah Jawa Barat.
Ada beberapa alasan mengapa Jabar menarik perhatian para combatant di dunia maya. Pertama, faktor kedekatan geografis. Kedua, wilayah terpenting setelah Jakarta. Ketiga, wilayah swing voter. Keempat, daerah pertaruhan bagi PDIP.
Kedekatan secara geografis
Jarak yang begitu dekat bahkan berbatasan dengan DKI Jakarta. Jadi apapun yang terjadi di Jakarta imbasnya langsung terasa di Jabar .
Para _combatant_di Jabar banyak yang terlibat di Pilkada DKI baik yang langsung terjun di medan “pertempuran” nyata maupun maya.
Dalam berbagai Aksi Bela Islam (ABI) I-III, wilayah Jabar paling banyak menyumbang jumlah peserta di luar Jakarta.Yang paling membetot perhatian adalah hadirnya para mujahidin Ciamis pada aksi long march Ciamis-Jakarta dalam Aksi 212.
Walaupun tidak terlibat dalam perkubuan para kandidat, kehadiran mereka ikut mengubah peta pertarungan Pilkada DKI.
Di kubu Ahok-Djarot sejumlah kepala/wakil kepala daerah dan anggota DPRD di propinsi, kabupaten dan kota di Jawa Barat diketahui langsung terjun ke palagan DKI melaksanakan titah sang Ketua Umum PDIP Megawati. Sebaliknya di kubu Anies-Sandi kesediaan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menjadi juru kampanye, juga menjadi amunisi yang cukup mematikan.
Di dunia maya, para cyber army sejumlah kota di Jabar juga terlibat aktif dalam pertempuran.
Gerilyawan dunia maya dari kedua kubu di kota-kota seperti Bandung, Bogor, Depok, dan Bekasi membuat pertempuran dunia maya di Pilkada DKI menjadi sangat seru.
Wilayah terpenting setelah DKI Jakarta
Dalam konstelasi politik nasional, Jabar menjadi daerah terpenting setelah Jakarta. Jumlah penduduknya terbesar di Indonesia, 46 juta jiwa (2015) menjadi battleground yang selalu diperebutkan.
Siapapun yang memenangkan pertempuran di Jabar akan memenangkan pemilu legislatif secara nasional.
Pada Pemilu 2004 Golkar memperoleh suara terbanyak di Jabar dan secara nasional menjadi pemenang. Demokrat mendapat giliran memperoleh suara tertinggi pada Pileg 2009 di Jabar dan secara nasional perolehan suaranya juga tertinggi. Tahun 2014 giliran PDIP yang memenangkan suara di Jabar, secara nasional juga menjadi pemenang.
Untuk pilgub dan pilpres konstelasinya berbeda. Dalam dua kali Pilgub 2008 dan 2013 PKS yang bukan partai pemenang, selalu memenangkan pertempuran mengalahkan jagoan yang diusung oleh Golkar dan PDIP. Sementara pada Pilpres 2014 pasangan Prabowo-Hatta di Jabar mengalahkan Jokowi-JK, namun secara nasional mereka kalah.
Wilayah Swing Voter
Partai pemenang pemilu di Jabar selalu berganti-ganti. Ini menunjukkan pemilih di Jabar party ID-_nya rendah. Afiliasi politiknya berubah-ubah. Mereka bisa berganti-ganti dari satu partai ke partai lainnya, karena itu sering disebut sebagai wilayah _swing voter, massa mengambang.
Dengan karakter seperti itu terbuka peluang bagi kandidat baru untuk bertarung tanpa memperhatikan jumlah kursi partai pendukungnya. Faktor figur jauh lebih menentukan.
Pada saat bertarung pada Pilkada 2008 pasangan Kang Aher –Dede Yusuf diusung oleh PKS-PAN, bisa mengalahkan pasangan yang diusung Golkar sebagai pemenang Pemilu 2004.
Daerah pertaruhan bagi PDIP
Bagi PDIP wilayah Jabar akan menjadi pertarungan hidup dan mati. Sebagai partai pemenang pemilu di Jabar, tidak ada jaminan mereka juga akan memenangkan pilgub. Di Jabar sudah dua kali pilkada calon yang diusung oleh PDIP selalu kalah.
Kekalahan di DKI Jakarta menyusul kekalahan sebelumnya di Banten membuat mereka tak mau kecolongan lagi. Di dua wilayah itu kekalahan PDIP sangat menyesakkan karena calon mereka adalah incumbent. Dua-duanya figur populer pula, Rano Karno dan Ahok.
Untuk Jawa sekarang PDIP hanya menyisakan Jateng yang dijabat oleh kader partai Ganjar Pranowo.
Potensi lain yang bisa dimenangkan oleh PDIP adalah Jawa Timur. Mereka mempunyai figur kuat Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Sayangnya Risma bukan kader partai. Dia merupakan birokrat profesional yang diusung PDIP. Hubungan Risma dengan kader PDIP tidak cukup mulus. Beberapa kali Risma coba dikudeta oleh wakilnya yang nota bene kader PDIP.
Pilihan Figur menjadi kunci
Dengan gambaran seperti itu sudah dapat dibayangkan pertempuran di Jabar akan sangat panas. Belum lagi bila dikaitkan dengan Pilpres 2019, maka Pilgub Jabar akan ikut menentukan bagaimana jalannya pertempuran berikutnya.
Bila Pilkada DKI 2017 disebut sebagai pilkada rasa pilpres, maka rasa itu juga akan menyeruap di Jabar.
Pencalonan Walikota Bandung Ridwan Kamil (RK) oleh Nasdem sudah mengkonfirmasi hal itu. Salah satu syarat dari Nasdem untuk RK adalah mendukung Jokowi pada Pilpres 2019.
Tiket dari Nasdem dan syarat dukungan kepada Jokowi inilah tampaknya yang akan mengganjal pencalonan RK. Sebagai figur yang populer, terutama di sosial media dengan survei elektabilitas tertinggi, seharusnya RK menjadi rebutan partai-partai yang butuh figur.
Namun keputusan RK yang mendeklarasikan diri bersama Nasdem sebulan sebelum Pilkada DKI, timingnya kurang tepat dan tergesa-gesa. Kalkulasinya tampaknya kurang matang dan tidak melihat kearah mana angin berhembus.
Kekalahan Ahok dan sentimen publik yang sangat kuat terhadap partai-partai pendukungnya, menjadikan RK terkena imbas Ahok effect. Di dunia maya RK langsung diserang, karena bersekutu dengan partai pendukung Ahok.
Kemarahan terhadap RK semakin besar karena dia dianggap mengkhianati partai pendukungnya saat maju dalam pilwakot Bandung, PKS dan Gerindra. Di Pilkada DKI 2017 kedua partai inilah yang jadi penentang keras Ahok.
Pilkada DKI tampaknya juga akan membuat partai-partai Islam seperti PPP dan PKB menutup pintu untuk RK. Mereka tak mau melakukan kesalahan yang sama seperti di DKI.
Bila mereka masih nekat membuat koalisi partai pendukung yang formasinya sama dengan partai pendukung Ahok, maka mereka akan kembali menjadi sasaran kemarahan. Di medsos seruan boikot terhadap partai pendukung Ahok masih terus menggema.
Catatan lain yang tidak boleh dilupakan, secara tradisi Jabar adalah kantong pemilih muslim. Pada Pemilu 1955 Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) memenangkan pileg di Jabar dan mengantarkannya menjadi peringkat kedua setelah Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang menjadi cikal bakal PDIP.
Pada Pileg 2014 jumlah suara gabungan PKS, PPP, PKB dan PAN memperoleh 30 kursi di DPRD Jabar. Jadi partai Islam menguasai 30 persen kursi DPRD Jabar.
PKB misalnya sudah mulai berancang-ancang melakukan koalisi dengan Golkar mengusung Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang juga Ketua Golkar Jabar. PKB memiliki 7 kursi di DPRD, ditambah 17 kursi Golkar, maka sudah melebih syarat minimal 20 persen kursi .
Dengan pencalonan Dedi bisa dipastikan Golkar juga tidak akan kembali mengulang formasi di Jakarta. Dukungan terhadap Ahok memecah belah internal Golkar. Ketua Dewan Pembina Aburizal Bakrie memilih mendukung Anies-Sandi.
Secara nasional konstelasi politik Golkar juga sedang gonjang-ganjing dengan dicekalnya Setya Novanto sang ketua umum. Penetapannya menjadi tersangka oleh KPK tampaknya tinggal menunggu waktu.
PKS-Gerindra diperkirakan akan melanjutkan koalisi. Mereka setidaknya ingin mengulang kesuksesan di Jakarta. Figur yang diusung kemungkinan besar adalah Wagub incumbent Deddy Mizwar (Kang Demiz). Rapat Pimpinan Daerah (Rapimda) Gerindra di Sentul, Bogor (1/5) secara aklamasi sudah menyatakan dukungan kepada Kang Demiz untuk dipasangkan dengan Ketua DPD Gerindra Jabar Mulyadi.
Tapi soal siapa yang akan dipasangkan dengan Kang Demiz masih harus menunggu keputusan DPP. Untuk dapat mengusung cagub/cawagub, Gerindra belum memenuhi persyaratan dan harus melakukan koalisi. Gerindra hanya memiliki 11 kursi di DPRD. Butuh 9 kursi lagi sebagai syarat sahnya pencalonan.
Yang paling mungkin Gerindra meneruskan duet mautnya di Jakarta dengan PKS. Di DPRD Jabar PKS memiliki 12 kursi, artinya lebih banyak dibanding Gerindra. Berarti PKS lebih pantas mengajukan calonnya untuk mendampingi Kang Demiz.
Sejauh ini PKS juga merasa nyaman dengan Kang Demiz. Walaupun sama seperti RK, Kang Demiz bukan kader, tapi hubungannnya dengan PKS sangat baik. Pada ulang tahun PKS ke-19 di Hotel Sahid, Jakarta (29/4) dia tampil membacakan dua puisi.
Belum jelas siapa yang akan ditunjuk mendampingi Kang Demiz? Namun salah satu kandidat yang disebut-sebut adalah Netty Prasetiyani istri Kang Aher. Bila itu terjadi Kang Aher akan menjadi kartu truf yang menentukan. Sebagai gubernur dua periode, jaringan kang Aher dengan para tokoh, alim ulama dan akar rumput pasti sangat kuat. Dia akan menjadi endorser yang dahsyat.
PAN yang hanya memiliki 4 kursi bisa memilih salah satu diantara tiga calon tadi, apakah dengan RK, Dedi Mulyadi atau dengan Kang Demiz. Namun bila melihat peta di Pilkada DKI, tampaknya PAN akan lebih nyaman bergabung dengan PKS-Gerindra.
Faktor Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais akan menjadi ganjalan bila PAN memilih RK. Sebagai pengritik keras Jokowi rasanya sangat tidak mungkin Amien Rais membiarkan PAN mendukung figur yang akan mendukung Jokowi.
Partai lain yang bisa mengusung calon adalah Demokrat dan PPP. Demokrat memiliki 12 kursi dan PPP 9 kursi. Namun sejauh ini belum terbaca sikap keduanya. Berkaca dari Pilkada DKI, Demokrat biasanya tampil beda. Mereka bisa saja memunculkan calon kejutan seperti ketika mengusung Agus Harimurti.
Pada Pilkada DKI putaran pertama formasinya adalah Demokrat, PKB, PAN dan PPP kubu Romahurmuzy.
Bagaimana dengan PDIP? Pertanyaan ini menjadi sangat menarik. PDIP menjadi satu-satunya partai yang berhak mencalonkan , karena memenuhi syarat perolehan 20 persen kursi di DPRD. PDIP memiliki 20 dari 100 kursi.
Setidaknya ada dua sudut pandang kepentingan dari PDIP. Pertama, dari sisi kepentingan PDIP sendiri. Kedua, dari kepentingan pertarungan pada Pilpres 2019.
Dari kepentingan PDIP maka mereka harus all out memenangkan Pilkada Jabar 2018. Salah satu syaratnya, mereka tidak boleh salah memilih figur.
Pilihan terhadap RK paling masuk akal karena elektabilitasnya saat ini tertinggi.
RK juga diketahui sudah melakukan berbagai pendekatan ke PDIP. Salah satu momen yang paling diingat publik adalah ketika RK mengenakan baju merah dan dalam posisi seolah “menyembah” Megawati. Bagi PDIP tinggal mencarikan siapa pasangan internal partai.
Bila PDIP ingin mengusung sendiri kader internalnya, perjuangannya cukup berat. Sejauh ini tidak ada kader internal yang cukup pilih tanding dan layak bersaing dalam pilkada. Namun kalau ada keinginan kuat, mengapa tidak dicoba.
Pada Pilkada 2013 calon yang mereka usung pasangan Rieke Dyah Pitaloka-Teten Masduki semula juga tidak diperhitungkan, namun mereka bisa menyodok peringkat dua.
Dari sisi pertarungan pada Pilpres 2019 masih menjadi pertanyaan besar apakah PDIP masih bersedia mencalonkan Jokowi kembali. Demikian pula sebaliknya.
Pada Pilpres 2014 keputusan PDIP mencalonkan Jokowi adalah keputusan setengah hati. Mereka sesungguhnya ingin mencalonkan kembali Megawati. Namun tekanan publik terutama media, membuat Mega mundur teratur. Bagaimana tidak? Setiap hari media massa membombardir Mega dengan hasil jajak pendapat yang menyebutkan elektabilitas Jokowi tertinggi.
Namun posisinya sekarang berubah. Sebagai Presiden, Jokowi berada di atas angin.” Banteng kerempeng” itu kini telah berubah menjadi “banteng gemuk”. Banyak partai di luar PDIP yang ingin mendukungnya. Nasdem dan Golkar dibawah Novanto sudah jauh-jauh hari menyatakan akan mendukung Jokowi.
Sebagai Presiden, Jokowi tentu tidak mau selalu di bawah bayang-bayang partai, terutama Sang Ketua Umum. Sebagai presiden untuk masa jabatan kedua, tentu Jokowi tidak mau hanya disebut sebagai “petugas partai,” atau “Banteng kerempeng.”
Konstelasi politik antara Jokowi dengan PDIP ini juga akan sangat menentukan apakah partai moncong putih itu akan mencalonkan RK atau mencari figur lain.
Bila mereka mempunyai agenda yang berbeda dengan Jokowi dalam Pilpres 2019, maka dipastikan mereka tidak akan mengusung RK.
Pekerjaan rumah terbesar justru sekarang di tangan RK. Modal 5 kursi dari Nasdem tidak cukup baginya untuk maju. Masih diperlukan 15 kursi lagi. Bila berhasil mendapatkan dukungan dari Hanura, RK baru mendapat tambahan 3 kursi. Perlu akrobat yang dahsyat agar RK sukses meraih satu tiket di Jabar.
Melihat kesediaan RK memenuhi syarat Nasdem untuk mendukung Jokowi, dipastikan Jokowi tidak akan tinggal diam. Dia akan mengerahkan kekuatan politik maupun finansial untuk menyelamatkan RK.
Jokowi pasti tidak ingin mengulang kekalahan di daerah sepenting Jabar seperti pada Pilpres 2014.
Politik adalah seni tentang kemungkinan. The art of possibility. Jadi semuanya mungkin-mungkin saja.
Namun secanggih apapun kemampuan berakrobat dan seberapa besar peluang tentang kemungkinan, panduan akal sehat dan kalkulasi politik yang menguntungkan akan menjadi pertimbangan utama.*