“Revolusi Mental tidak mungkin bergaung dan mentransformasi ke semua tingkatan kehidupan masyarakat tanpa peran-peran keteladanan”.
ISTILAH “revolusi nurani media” ini saya ketengahkan ketika menjadi narasumber dalam Sarasehan “Budaya, Birokrasi, dan Revolusi Mental” yang digelar oleh Balai Bahasa Jawa Tengah bersama Ikatan Alumni UNS Semarang Raya, di Semarang, belum lama berselang.
Audiens sarasehan berpendapat, media berandil besar bagi kesengkarutan aneka krisis nilai dan karakter di Tanah Air belakang ini, terutama krisis relasi sosial yang antara lain berwujud kemarakan intoleransi. Media berada di belakang keterkubuan masyarakat, yakni antara yang cenderung memaksakan keseragaman, dan mereka yang tetap meyakini kodrat kebhinekaan sebagai hakikat nilai-nilai keindonesiaan.
Media pula yang banyak dituding ikut mendorong atmosfer kehidupan yang tidak memberi cukup ruang kepada orang-orang baik dan jujur; justru meminggirkan peran mereka, sehingga publik tidak banyak mendapat inspirasi keteladanan para orang baik itu melalui media.
Dari perspektif yang telah distereotipekan seperti itu, bagaimana bentuk dukungan media kepada elan Revolusi Mental yang digaungkan di awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla? Bagaimana pula realisasinya, antara gaung dan konsepsi? Mari kita tilik dari perspektif transformasi dukungan media. Menurut Syukriadi Sambas (Antropologi Komunikasi, 2016), semua peristiwa komunikasi yang dilakukan secara terencana mempunyai tujuan, yaitu memengaruhi khalayak atau penerima.
Media, kata Sambas, punya kemampuan yang tiada tandingan untuk memperlihatkan, mendramatisasikan, dan memopulerkan potongan-potongan kecil dan fragmen budaya dari informasi. Budaya dan media adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Budaya yang telah dibentuk oleh masyarakat melalui ide, gagasan, dan karya-karyanya tidak akan tersebar luas atau tidak akan dikenal luas oleh seluruh dunia apabila tidak dipublikasikan oleh media.
Lalu bagaimana posisi media dalam ikhtiar transformasi budaya kepada khalayaknya? Apakah tren “ideologi rating” di media-media penyiaran, juga ketakutan media cetak terhadap penerimaan pasar lewat gambaran kuantitatif tiras?
Formulasi Pilihan
Sikap wartawan dan media akan terformulasi melalui pilihan-pilihan, yang kemudian terumuskan sebagai kebijakan pemberitaan. Newsroom bergerak sebagai dinamika tujuan media, yakni untuk menerjemahkan watak dan karakter media, atau mungkin juga sebagai upaya untuk memenangi target kepentingankepentingan tertentu pada saat itu. Dinamika di dapur editorial itu, lazimnya berupa pergolakan argumentasi ide, lalu finalisasi agenda setting. Hasilnya adalah berita yang merupakan produk sikap dari pilihan-pilihan yang bersifat dikotomi mengenai baik-buruk.
Proses memilih itu, yang pasti melalui usikan pertanyaan patut atau tidak patut, bakal memberitakan atau tidak memberitakan sebuah isu, memberitakan dengan memberi arah begini atau arah begitu, menggambarkan berlangsungnya sebuah pertarungan hati nurani. Keputusan dari pilihan dikotomik tentu tidak mungkin diambil tanpa melalui pencerahan nuraniah, sehingga media-media yang telah menegaskan untuk memilih sikap tertentu dalam membingkai sebuah isu publik, berarti telah membuat sebuah keputusan.
Revolusi Mental tidak mungkin bergaung dan mentransformasi ke semua tingkatan kehidupan masyarakat tanpa peran-peran keteladanan. Inspirasionalitas ini membutuhkan determinasi sikap melalui pemberitaan media yang masif. Pada sisi gaung ini, media bisa berperan untuk mengawal, mengontrol, dan mendorong transformasinya. Jargon-jargon politik sering mengetengahkan retorika perubahan, yang akan begitu saja dilupakan, atau kalaupun masih dijadikan bumbu pidato-pidato, maka tidak lagi menjadi prioritas komitmen implementasi manakala seseorang telah memenangi kontestasi politik.
Kalaupun konsepsi kampanye revolusi itu diserap dari realitas, misalnya sikap antikorupsi, kolusi, dan nepotisme; lalu bagaimana membangun kemarakan sikap keberpihakan terhadap gerakan ini? Bagaimana pula peran media agar aksi-aksi seperti reformasi birokrasi, pembersihan pungutan liar, pelayanan birokrasi perizinan, terjaga momentumnya sebagai sikap mental bersama? Memilih berpihak pada ide-ide ini boleh jadi terasa normatif, akan tetapi media bisa mengemas sajian keberpihakan itu agar tetap berdaya tarik.
Maka saya melihat pentingnya “revolusi nurani” wartawan dan media untuk mengawal pelaksanaan Revolusi Mental; dengan aksentuasi pilihan ke sebesar-besarnya kemaslahatan masyarakat. Memberi ruang bagi pewacanaannya, mengemas pemberitaan yang mendeterminasi pelaksanaan aksi-aksi, menguatkan agenda setting dan framing yang berorientasi mendorong, mengawal, dan mengontrol pelaksanaan aksi-aksi. Arahnya bukan lagi mengampanyekannya sebagai jargon dan konsepsi perubahan, melainkan lebih ke pengawalan konsistensi pemaujudan aksi-aksinya.
Mengapa “revolusi nurani”? Ya, dalam kondisi keberkelindanan krisis relasi sosial dan keterpinggiran nilai-nilai, media berada di tengah keniscayaan untuk memilih sikap, termasuk atas “kehendak” sebagian anggota masyarakat, atau merasa menjadi representasi dari kelompok- kelompok tersebut. Patut pula kita sadari fakta, betapa etika menjadi masalah serius dalam praktik berjurnalistik dan bermedia sekarang, sehingga dibutuhkan keberanian bersikap untuk memilih pemberitaan yang bertanggung jawab sosial.
Keniscayaan memilih bukanlah hal yang mudah bagi wartawan dan media, kecuali telah meyakininya sebagai sikap benar yang dihasilkan dari bisikanbisikan nurani. Media yang berpihak pada kemaslahatan, berarti mampu memenangi elaborasi nuraninya sebagai pilihan etis.
— Amir Machmud NS, wartawan Suara Merdeka, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah