Pemilihan Umum 2019 akan tercatat dalam sejarah karena ada penggabungan pemilu legislasi dengan pemilihan presiden. Anggota Komisi II DPR, Hetifah Sjaifudian, mengatakan dalam pembahasan RUU-nya, berarti akan ada penggabungan tiga UU.
“Akan ada penggabungan 3 UU yang sebelumnya berdiri sendiri-sendiri, yaitu UU Pemilihan Presiden, UU Pemilihan Legislatif, dan UU Penyelenggara Pemilu. Momentum ini harus dikawal dengan sebuah UU yang kredibel, akuntabel dan mampu menjawab tantangan zaman ke depan,” kata Hetifah, Selasa 25 Oktober 2016.
Pada Jumat 21 Oktober lalu, DPR telah menerima draf dan Ampres RUU Pemilu dari Pemerintah. Dengan ini, berarti DPR hanya memiliki waktu sekitar enam bulan untuk merampungkannya.
“Ini waktu yang lebih sedikit dibanding kurun waktu pembahasan yang sama di periode sebelumnya,” ujar Hetifah.
Hetifah menyebutkan ada beberapa isu strategis dalam RUU ini. Di antaranya adalah: terkait penyelenggara, peserta dan calon; sistem pemilu nasional dan daerah; penetapan dapil, pendaftaran calon dan parpol, penetapan calon baik presiden maupun caleg, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil, pelantikan dan pemilu susulan ulang. “Kemudian, penanganan pelanggaran, penyelesaian perselisihan; jenis-jenis partisipasi masyarakat; ketentuan sanksi akademik dan sanksi pidana,” kata politikus Partai Golkar ini.
Menurut Hetifah, konsekuensi dari beberapa isu strategis tersebut akan berpengaruh pada sejumlah hal. Pertama terkait partai politik, meliputi sistem rekruitmen caleg dan capres, pendanaan parpol, pemenuhan kuota caleg perempuan, sistem kampanye baik pilpres maupun pileg, kerjasama antarcalon saat kampanye dan lain-lain.
“Kedua, sistem koalisi dalam pilpres yang akan dilakukan prapileg. Ketiga, adakah batas ambang dalam menentukan presiden, dalam RUU 20% menggunakan pemilu 2014, apakah itu relevan, karena presidennya kan untuk 2019. Keempat, perubahan perilaku pemilih,” ujarnya.