Soal Pengaduan ke Dewan Pers, Catatan Hendry Ch Bangun

Beberapa waktu terakhir ini ada beberapa tulisan yang bernada menggugat penanganan pengaduan yang ditujukan kepada Dewan Pers. Khususnya dari kalangan media yang merasa diperlakukan tidak adil, karena karya jurnalistik mereka dipersoalkan, dan menilainya itu sebagai pelanggaran kemerdekaan pers. Menurut mereka, Dewan Pers seharusnya melindungi kerja wartawan, entah saat mencari berita ataupun semua kerya jurnalistiknya.  Lalu mengatakan Dewan Pers sudah menjelma sebagai Departeman Penerangan di era Orde Baru.

Di sisi lain kepada Dewan Pers datang pula kritik keras dari kalangan pemerintahan, baik tingkat pusat maupun daerah, berbagai lembaga negara, dan anggota parlemen, yang menilai Dewan Pers terlalu lembek menangani pers yang sudah kebablasan karena menulis semaunya, meliput secara tidak professional. Wartawan dan organisasi wartawan kalau kena masalah, karena merasa diintimidasi atau terkena kekerasan langsung mengadu ke polisi. Melakukan demonstasi dan meminta agar pelakunya dipenjara. Sementara kalau digugat narasumber, eh bilangnya, gunakan hak jawab dong, pakai Undang-Undang Pers. “Pers kok seenaknya begitu. Dewan Pers harus tegas, tindak tuh media dan wartawan yang melanggar ketentuan,” kata mereka.

Bacaan Lainnya

Inilah dinamika dari kemerdekaan pers yang menarik dan kalau ditarik benang merahnya muncul karena beberapa hal.

Pertama, banyak sekali wartawan dan pimpinan media yang tidak memahami Undang-Undang No 40 tentang Pers, apalagi proses kelahirannya yang secara garis merupakan amanat dari reformasi 1998, agar pers dapat bekerja secara bebas. Tidak ada lagi hambatan melakukan semua kegiatan jurnalistik, mulai dari mencari informasi, sampai memberitakannya. Tidak ada sensor, tidak ada bredel, bahkan mereka yang berupaya menghang-halangi dapat dipidana.

Maknanya, negara dan masyarakat, memberikan kebebasan penuh bagi media dan wartawan untuk menjalankan tugas memenuhi kebutuhan masyarakat untuk tahu, untuk menjadi saluran aspirasinya, untuk menyampaikan kritik atas jalannya pemerintahan, untuk mendiskusikan apa saja pendapat mereka soal negara, soal diri sendiri, dan berbagai persoalan. Silakan deh. ***

Karena media dan wartawan diberi kebebasan penuh, sebagai penyeimbangnya, media harus taat pada beberapa hal. Media wajib memberikan hak jawab, media wajib memberikan hak koreksi kepada masyarakat kalau beritanya salah. Media wajib mencantumkan nama dan alamat perusahaannya agar mudah dikontak masyarakat, khususnya bagi mereka yang merasa dirugikan atas pemberitaan. Ada pidana, apabila melanggar pasal-pasal dalam Undang-Undang Pers ini.

Di samping itu wartawan harus taat pada Kode Etik Jurnalistik. Ada banyak pasal, tetapi paling penting ada beberapa hal. Pertama, berita yang dibuat tidak beritikad buruk, artinya tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain. Kedua, berita harus akurat, yang didefinisikan sebagai dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Lalu, berita harus berimbang yakni semua pihak mendapat kesempatan setara. Berikut, menguji informasi yakni melakukan cek dan ricek tentang kebenaran informasi. Kemudian, tidak beropini menghakimi. Dan wartawan menjunjung asas praduga tak bersalah.

Ada lagi misalnya yang tidak kalah penting, wartawan tidak  membuat berita bohong (sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi).  Tidak membuat berita fitnah (tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk).

Juga bersikap professional, yang antara lain dirumuskan dengan, menunjukkan identitas diri kepada narasumber, tidak melakukan plagiat, menghormati privasi.

Nah, kalau Anda wartawan apalagi sudah bersertifikat kompetensi, cobalah ukur diri dengan poin-poin di kode etik itu. Hayati, jalankan, baik ketika mencari informasi bahan berita maupun dalam memberitakannya. Pasti Anda tidak akan kena pengaduan, atau disomasi. Tidak mudah kan menjadi wartawan? ***

Di sisi lain, anggota parlemen yang ikut menyusun undang-undang, juga harus tahu tentang Undang-Undang No.40 tentang Pers ini. Tidaklah layak kalau meminta Dewan Pers untuk bertindak sebagaimana Departemen Penerangan zaman Orde Baru, mencabut izin media massa, menindak wartawan, sebagaimana kerap disampaikan.

Begitu pula pejabat di dengan kementerian, lembaga negara, provinsi dan kabupaten-kota, yang keberatan atas pemberitaan yang dinilai merugikan (tidak ada istilah mencemarkan nama baik dalam UU Pers maupun Kode Etik Jurnalistik), silakan meminta hak jawab ke pengelola media itu. Apabila media itu tidak bersedia memuat hak jawab, bisa langsung mengadu ke penegak hukum, dan medianitu dapat dipidana maksimal Rp 500 juta. Walaupun Dewan Pers selalu mengimbau agar kasusnya diadukan dulu ke Dewan Pers untuk dimediasi, agar mencapai kesepakatan.

Demokrasi yang kita nikmati sekarang dengan segala eforianya yang kebablasan, adalah keinginan kita semua. Jangan hanya mau menelan yang enak dan membuang yang pahit, itu harus hidup berdampingan. Ingat zaman Soeharto, menyindir saja sudah ditangkap tentara (bukan polisi).  Menyatakan pendapat di jalan, tidak boleh. Berorganisasi harus seizing aparat keamanan. Jadi kalau dikritik, nikmati saja. Apalagi kalau Anda seorang pejabat, pengelola suatu badan, wajar diperhatikan pers dan ditulis bila (dianggap) melakukan kekeliruan.

Kemerdekaan pers adalah untuk Anda semua, bukan hanya untuk masyarakat pers. Maka siapapun, penyelenggara negara, entah itu eksekutif, yudikatif, legislatif, termasuk partai politik, organisasi masyarakat, badan usaha milik negara, termasuk juga perusahaan yang menguasai hajat orang banyak, harus memahami UU Pers dan menggunakannya.

Pers bebas memberitakan, bahkan menyelidiki apabila ada ketidakberesan dalam birokrasi, keputusan yang ganjil,  perilaku aparat yang merugikan masyarakat, permainan harga, kemacetan distribusi, kerusakan lingkungan, pencemaran, korupsi dst.  Pers jangan dihalang-halangi, itulah prinsip transparansi dan akuntabilitas di negara demokrasi. ***

Dewan Pers  menerima pengaduan dari masyarakat dan melakukan mediasi dan ajudikasi sesuai perintah Undang-Undang no 40, sesuai dengan fungsinya sebaaimana dinyatakan di Pasal 15. Yakni memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat  atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, serta menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.

Sebenarnya Dewan Pers akan berbahagia apabila ada kesepakatan di antara masyarakat yang merasa dirugikan, dengan media yang diadukan. Media menyadari kekeliruannya dan memuat atau menyiarkan hak jawab. Pengadu puas. Ada satu perusahaan swasta dan satu pemerintah kota, yang selalu meminta hak jawab dan menembuskannya ke Dewan Pers sesuai dengan anjuran yang pernah kami sampaikan. Lalu media memuat materi hak jawab yang disampaikan Pengadu, urusan pun selesai.

Tetapi ada ratusan pengaduan yang harus ditindaklanjuti Dewan Pers dengan mediasi atau akhirnya berupa ajudikasi karena tidak tercapai kesepakatan kedua belah pihak. Kalau sebelum tahun 2016 hari pengaduan hanya dua kali sepekan, sejak tahun 2017 dilakukan empat hari dalam satu minggu agar kasus-kasus tidak mangkrak, dapat diselsaikan. Dan sejak pandemi proses pengaduan ini tidak lagi dengan tatap muka tetapi secara online.

Secara sederhana, proses pengaduan dimulai dari sisi administrasi, sekretariat Dewan Pers mengontak Teradu tentang pengaduan yang diterima. Pada saat yang sama analis dari Komisi Pengaduan menganalisis berita (-berita) yang diadukan, untuk melihat mana kalimat, kata, keterangan foto, judul, yang dianggap melanggar kode etik. Ada pengelola media yang langsung menyatakan bersedia memperbaiki berita, ada yang ingin dimediasi baik dari pihak Pengadu maupun Teradu untuk klarifikasi.

Ketika terjadi pertemuan media, maka biasanya Tim Pengaduan memulai dengan menanyakan ke Pengadu, apakah ada perkembangan sejak menyampaikan kan pengaduan sampai dengan mediasi dilakukan, karena biasanya ada selang waktu dua minggu sampai satu bulan lebih. Di sini pula dikonfirmasi ke Pengadu poin-poin keberatan dan keinginannya dari proses mediasi. Nah, di sini kadang jaka sembung bawa golok, tidak nyambung.

Ada Pengadu yang meminta agar hak jawabnya dimuat di 5 media nasional dan 5 media lokal untuk menebus nama baiknya yang terlanjur rusak, the damage has been done. Ada yang ingin agar wartawan penulis beritanya dipenjara. Ada yang ingin si wartawan dicabut izin profesinya. Maka Tim akan menjelaskan, hak jawab diberikan secara proporsional dan hanya di media yang memuat berita itu. Kalau beritanya mengandung opini menghakimi, selain memuat hak jawab maka media itu harus meminta maaf. Tanggungjawab berita ada pada Penanggungjawab, bukan wartawan yang menulis beritanya. Meskipun apabila ada pelanggaran berat, misalnya memeras narasumber terkait berita, bisa saja status kewartawannya diberikan sanksi pula. ***

Pengelola media yang faham Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, ketika dipanggil pasti langsung setuju memberi hak jawab ketika ditunjukkan judul berita, kalimat, kata, dsb yang melanggar kode etik. Kalaupun ngotot, lebih pada proporsionalitas hak jawab, atau bentuknya karena memang dibolehkan hak jawab dikemas dalam bentuk wawancara lengkap, pemberitaan positif tentang kinerja perusahaan atau lembaga.

Dulu ketika melakukan mediasi bersama almarhum Leo Batubara, saya kerap mengatakan, kami di Dewan Pers ini hanya menjalankan Kode Etik Jurnalistik yang dibuat oleh masyarakat pers sendiri. Jadi apa yang tertulis di pasal-pasal itu itu wajib  dijalankan karena itu produk kita sendiri. Pers mengatur dirinya sekarang, bukan orang lain. Lalu Pak Leo sebagai analis akan menunjukkan pelanggaran-pelanggaran yang sudah diberi warna dengan stabilo, merah, kuning, atau hijau, ke Teradu. Lalu dibukanya buku saku kecil yang sudah lusuh, dan ditunjukkan pasal yang dilanggar. Lalu diberi penjelasan tambahan, kalau perlu. Praktis tidak ada perdebatan. Selesai.

Banyak pimpinan media yang memahami bahwa proses mediasi dan ajudikasi adalah untuk melindungi mereka dari kriminalisasi. Ditangani dengan UU Pers berarti selesai di Dewan Pers, cepat dan murah, hanya dua kali pertemuan, ada keputusan berupa Risalah atau Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi apabila salah satu pihak tidak sepakat; berupa hak jawab atau hak jawab disertai permintaan maaf.

Tetapi beberapa kali saya menghadapi Pemred yang ngeyel dan merasa sudah melakukan tugasnya dengan benar dan tidak mau ditangani Dewan Pers karena merasa diperlakukan tidak adil bahkan menghalang-halangi upayanya menegakkan kemerdekaan pers.

“Tugas Dewan Pers seharus membela media dong, bukan membela yang mengadukan,” katanya komplain. “Kalau begini, lebih baik kami hadapi sendiri.”

“Pikirkan dulu. Kalau Anda tidak mau ditangani Dewan Pers, maka kalau Pengadu mengadukan kasusnya ke polisi, dan kalau diminta, kami akan bersaksi di pengadilan bahwa Anda tidak mau ditangani sesuai mekanisme UU Pers tapi Undang-Undang lain. Coba hitung, berapa biaya yang akan Anda keluarkan untuk membayar pengacara, berapa jam waktu yang Anda habiskan ketika diperiksa oleh polisi, dan berapa hari yang harus Anda habiskan menjalani proses pengadilan. Dan Anda yakin menang?”

Biasanya kalau diberi penjelasan seperti itu, barulah pimpinan media itu melihat persoalan dalam skala yang lebih besar. Mediasi juga merupakan pembelajaran, baik kepada pers maupun bagi orang yang mengadukan. Saling memahami posisi masing-masing, bukan mau menang sendiri untuk memuaskan nafsu.

Untuk mencegah kriminalasi karya jurnalistik, Dewan Pers melakukan kerjasama dengan lembaga kepolisian, yang dulu pernah dilakukan antara Persatuan Wartawan Indonesia dan Polri di era Kapolri Anton Sudjarwo, untuk melindungi wartawan. MoU Kepala Kepolisian RI dan Dewan Pers (terakhir ditandatangani tahun 2017) menyebutkan, pihak polisi akan meminta Dewan Pers untuk menilai karya jurnalistik yang diadukan masyarakat. Artinya penilaian itu menjadi penting kalaupun ada Pengadu yang karena satu dan lain hal mampu membawanya sampai ke tingkat pengadilan, setelah ada mediasi dan ajudikasi di Dewan Pers.

Upaya Dewan Pers untuk menjaga kemerdekaan pers, tugas utama yang dibebankan Undang-Undang Pers sesuai amanat reformasi, harus terus dilakukan sebesar apapun badai yang datang menerpa. Apabila ada media yang tidak bersedia ditangani Dewan Pers atas pengaduan yang disampaikan kepadanya fahamilah Undang Undang dan Kode Etik yang wajib menjadi tuntunan operasional perusahaan pers. Apabila ada kalangan pemerintah, parlemen, lembaga atau pun swasta yang mau mengkriminalkan pers karena tidak suka beritanya, ingatlah kenikmatan yang Anda rasakan sekarang karena reformasi 1998.

Kita semua harus bekerjasama untuk terus meningkatkan kualitas pers, khususnya kompetensi dan kemampuan wartawan, serta manajemen media, kea rah yang lebih baik dari sekarang. Jangan hanya mengeluh dan melihat dari sisi negatif. Pers yang maju, independen, dan berjalan sesuai tugas dan fungsinya dibutuhkan bangsa dan negara yang berasaskan demokrasi. (**)

Pos terkait