KORANBANTEN.com – Catatan sejarah memperlihatkan bahwa aktivitas pers di kalangan mahasiswa memainkan peranan yang signifikan di Indonesia. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pondasi kebangsaan Indonesia lahir dari upaya kaum intelektual muda di dekade awal abad 20 dalam merajut pengalaman kaum pribumi hidup dalam penindasan penjajah.
Demikian dikatakan sejarawan muda Wenri Wanhar ketika berbicara dalam Dies Natalis ke-5 Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Marhaen, Universitas Bung Karno (UBK) di Auditorium Ir. Soekarno, di Jalan Kimia, Jakarta, Sabtu sore (29/4).
“Pers mahasiswa tidak hanya berperan dalam pergantian era dari Orde Lama ke Orde Baru, juga peralihan dari Orde Baru ke Era Reformasi. Pers mahasiswa dan kaum intelektual muda sudah berperan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan,” kata Wenri.
“Mereka yang merajut pengalaman bangsa pribumi hidup di alam penjajahan. Hampir semua, bahkan mungkin semua, founding fathers Indonesia adalah penulis, pewarta,” kata dia lagi.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Teguh Santosa yang juga menjadi pembicara dalam seminar bertema “Independensi Pers dalam Kebhinnekaan” itu mengatakan bahwa pers nasional perlu merangkul pers mahasiswa setelah Era Reformasi terlihat gamang dan dilematis.
“Di era otoritarian pers mahasiswa berperan sebagai pers alternatif. Saat itu pers konvensional dapat dikatakan dikooptasi kekuasaan. Adapun pers mahasiswa dapat menyuarakan berbagai persoalan yang tidak bisa disuarakan pers konvensional ketika itu,” ujar Teguh yang juga pernah menjadi aktivis pers mahasiswa saat kuliah di Universitas Padjadjaran, Bandung.
“Sementara sekarang, dari pembicaraan dengan kawan-kawan pers mahasiswa saya mendapat kesan pers mahasiswa seakan kehilangan orientasi. Padahal di sisi lain platform yang ada semakin banyak,” katanya lagi.
Teguh juga mengatakan bahwa organisasi perusahaan media siber yang dipimpinnya mendapat tugas dari Penanggungjawab Hari Pers Nasional (HPN) 2018 untuk memfasilitasi aktivitas pers mahasiswa se-Indonesia selama penyelenggaraan HPN 2018 di Sumatera Barat.
“Kami akan mengundang tiga pers kampus dari setiap provinsi untuk terlibat dalam HPN 2018. Kawan-kawan pers mahasiswa akan ikut dalam pelayaran dari Tanjung Priok ke Teluk Bayur. Sepanjang perjalanan, diharapkan mereka dapat merumuskan agenda penting pers mahasiswa,” ujar Teguh lagi.
Kegiatan Dies Natalis LPM Marhaen dihadiri oleh sejumlah aktivis pers mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta, dan diramaikan dengan pertunjukan teater dan tari-tarian tradisional.
Pada bagian lain, Teguh juga merespon salah seorang peserta seminar yang khawatir verifikasi terhadap perusahaan media yang dilakukan Dewan Pers dan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) adalah instrumen kekuasaan untuk memberangus kebebasan pers.
“Ini tidak sama dengan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) di era yang lalu. Kalau dimaksudkan untuk membungkam kemerdekaan pers, pasti kita lawan. Tetapi ini adalah untuk melindungi hak publik untuk mendapatkan informasi dari lembaga-lembaga yang memiliki kompetensi dalam pemberitaan,” katanya.
SMSI, sebut Teguh lagi, berdiri untuk membantu perusahaan media siber yang tersebar di Indonesia menjadi perusahaan pers yang profesional, kompeten, dan bermartabat.
“Bagaimanapun juga harus kita sadari bahwa kebebasan pers bukan hanya milik insan pers, tetapi juga milik masyarakat luas. Aktivis pers mahasiwa juga ikut menentukan kualitas kebebasan pers di masa depan,” demikian dikatakan Teguh. (wiri)