KORANBANTEN.COM – Padahal tadi siang, setelah khotbah wukuf dan salat jamak qasar Zuhur dan Asar, matahari langit Arafah masih terasa panas. Langit kemudian perlahan redup, lalu hujan turun meredam udara panas.
Tirai hujan itu, kemudian mengusik calon haji yang sedang berdiri tegak menghadap kiblat dan bedoa, berdiri di tengah hujan, dan kain ihram dibiarkan basah kuyup? Hujan itu rahmat, seperti bunyi hadis, dan mereka sambut rahmat-Nya ini sebelum menetes ku bumi.
Berdoa di Padang Arafah, sambil menghadap kiblat, dan mengangkat tangan, jadi semakin penting dari sekadar kain ihram yang masih sah melekat di tubuh meski basah.
Hujan sudah reda.Udara terasa sejuk. Di kemah atau di mushalla memang lebih sejuk, bukan dengan hujan, melainkan oleh mesin pendingin modern.
Jamaah calon haji masih menunggu sang surya kembali ke balik bukit batu Padang Arafah.
Hujan di Arafah seperti jadi penyegar langkah berikurtnya ke Muzdalifah, lalu menginap di sini semalam saja.
Haji itu Arafah. Hadis ini terbaca pada dinding pelindung kemah di sepanjang jalan. Kita akan menemukan pula hadis-hadis lain tentang keutamaan ibadah haji pada dinding itu.
Mereka menulis tak harus dalam spanduk resmi, tetapi cukup di dinding, dan itu jadi media ampuh untuk menyampaikan pesan.
Mereka yang menulis adalah komunikator, dinding adalah media, hadis adalah pesan, dan kita yang membacanya adalah komunikan.
Efek yang mereka harapkan? Entahlah, mereka mungkin tak telalu jauh mengenal studi efek pesan. Mereka bukan politisi.
Akhirnya,…setelah hujan reda di kemah jamaah calon haji ini? Duh…kafetaria Rabithah jadi magnit untuk secangkir kopi panas di tengah udara dingin sore menjelang sang surya ke balik malam di langit Padang Arafah. (Dean Al-Gamereau).