KORANBANTEN.COM – Di balik dinding-dinding tinggi dan pintu-pintu besi yang mengunci kebebasan, ada harapan yang terus ditanam dan tumbuh perlahan: harapan untuk berubah, untuk kembali, dan untuk menebus masa lalu dengan kehidupan yang lebih bermakna. Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Cilegon, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Banten, harapan itu disirami setiap hari lewat pembinaan kepribadian yang menyentuh sisi terdalam manusia—jiwa dan iman.
Sebagai bagian dari komitmen menciptakan lingkungan pemasyarakatan yang berkeadilan, inklusif, dan humanis, Lapas Cilegon secara aktif melaksanakan program pembinaan kerohanian lintas agama. Kegiatan ini ditujukan bagi seluruh warga binaan, tanpa memandang latar belakang keyakinan, dan dirancang untuk memperkuat fondasi spiritual sebagai landasan utama perubahan diri.
Pembinaan kerohanian di Lapas Cilegon tidak hanya menjadi aktivitas rutin, melainkan ruang batin yang memberi tempat bagi para warga binaan untuk berdamai dengan diri sendiri dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan menggandeng para tokoh agama dan lembaga keagamaan dari berbagai kepercayaan, program ini dilaksanakan secara terstruktur, menyentuh, dan membangkitkan semangat introspeksi yang dalam.
Bagi warga binaan beragama Islam, kegiatan mencakup pembacaan Al-Qur’an, shalat berjamaah, kajian fiqih, ceramah agama, hingga pelatihan hafalan ayat suci. Sementara itu, pembinaan rohani bagi warga binaan Nasrani meliputi ibadah mingguan, pendalaman kitab suci, pelayanan doa, dan sesi-sesi bimbingan rohani oleh para pendeta. Untuk umat Buddha, kegiatan seperti meditasi harian, pembacaan paritta, dan diskusi moral Buddhis menjadi jalan spiritual yang menenangkan.
Kepala Lapas Kelas IIA Cilegon, Bapak Margono, menyampaikan bahwa program ini lahir dari keyakinan bahwa setiap manusia memiliki sisi baik yang dapat dibangkitkan kembali, seberat apa pun masa lalunya.
“Kami percaya bahwa setiap manusia, betapapun kelam masa lalunya, tetap berhak untuk menemukan terang dalam hidupnya. Pembinaan rohani ini bukan hanya tentang menjalankan ibadah, tapi tentang menyentuh hati, membangun akhlak, dan menguatkan jiwa. Kami ingin para warga binaan di sini tidak hanya menyesali kesalahan, tapi juga menemukan jati diri mereka yang sesungguhnya—sebagai manusia yang mulia dan dicintai oleh Tuhan,” ujar Margono, dengan mata berkaca-kaca.
Ia juga menekankan bahwa toleransi adalah ruh dari kehidupan bersama di dalam lapas. Dalam satu atap yang sama, berbagai keyakinan hidup berdampingan—saling menghargai, saling menjaga, dan saling belajar satu sama lain.
“Keberagaman bukan halangan, justru kekuatan. Kami merawat itu dengan penuh cinta. Karena kami tahu, bangsa ini tidak akan tumbuh jika perbedaan tidak dipeluk sebagai anugerah,” tambahnya.
Kegiatan pembinaan ini juga menjadi ruang aman bagi warga binaan untuk mengungkapkan penyesalan, mencurahkan kegelisahan, dan menata ulang hidup mereka. Banyak dari mereka yang mengaku baru menemukan makna ibadah yang sesungguhnya setelah menjalani program ini—bukan sekadar rutinitas, tetapi sebagai kebutuhan jiwa.
Seorang warga binaan berinisial A mengaku bahwa kegiatan kerohanian membantunya bangkit dari keterpurukan mental yang dalam. “Saya dulu merasa hancur. Tapi setelah ikut kajian agama dan mendapat bimbingan, saya mulai bisa memaafkan diri sendiri. Saya mulai percaya, Tuhan tidak pernah meninggalkan saya,” ungkapnya.
Tak jarang, momen-momen spiritual di lapas menghadirkan suasana yang menggetarkan. Ketika lantunan ayat-ayat suci menggema dari balik jeruji, ketika doa mengalir pelan dari bibir-bibir yang menyesal, atau ketika tetes air mata jatuh karena rasa syukur dan harapan yang tumbuh kembali—semua menjadi bukti bahwa di balik keterbatasan, cahaya masih bisa bersinar.
Program ini juga berdampak positif terhadap ketertiban dan suasana lapas. Dengan jiwa yang lebih tenang dan pikiran yang lebih terarah, warga binaan menjadi lebih kooperatif, disiplin, dan saling menghormati satu sama lain. Pembinaan spiritual menjadi pondasi untuk membentuk karakter yang kuat, berintegritas, dan siap kembali ke masyarakat dengan peran baru yang lebih baik.
Melalui pendekatan rohani yang menyeluruh dan penuh kasih, Lapas Cilegon membuktikan bahwa pemasyarakatan sejatinya adalah proses membangun kembali manusia—bukan menghukumnya semata. Bahwa perubahan sejati datang dari dalam, dan tugas bersama adalah menyalakan cahaya itu kembali.(***).