Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, menjadi salah satu regulasi yang resmi masuk program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas di 2026, yang disepakati oleh Pemerintah dan DPR RI. Bakal dilakukan revisi terhadap UU Advokat tersebut.
“Dunia hukum mengalami perkembangan yang dinamis. Meski telah berusia 22 tahun sejak dikeluarkan, namun UU Advokat terbilang masih relevan, meski di beberapa pasal perlu disesuaikan dengan perubahan yang ada,” kata Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi), Dr. H. Sutrisno, SH., M.Hum., dalam pernyataan persnya, di Jakarta, Selasa (23/9/2025).
Dirinya mengapresiasi keinginan DPR RI dan Pemerintah untuk melakukan legislative review terhadap UU Advokat. “Tentu ada pertimbangan logis untuk merubah beberapa bagian dari regulasi tersebut. Saya menyambut baik revisi tersebut yang tentunya bertujuan memperkuat peran advokat kedepannya,” ujarnya.
Advokat senior yang juga dikenal sebagai pengajar ini mengemukakan, salah satu bagian penting yang harus mendapat perhatian terkait Pasal 28 ayat (1) UU Advokat tentang organisasi advokat (OA).
“Perlu ditambahkan bahwa organisasi advokat yang dimaksud pada pasal ini adalah Perhimpunan Advokat Indonesia, yang didirikan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2004 dan diberi kewenangan untuk melakukan 8 tugas utamanya,” jelasnya.
Hal tersebut penting tanpa mengurangi hak dan kebebasan tiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, sesuai Pasa 28E ayat (3) UUD 1945.
Perkuat single bar
Lebih jauh mantan Ketua Umum Ikadin ini menjabarkan, mengingat kedudukan advokat sebagai penegak hukum yang merupakan salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya yaitu, polisi, jaksa dan hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka OA pun harus satu seperti halnya Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Mahkamah Agung RI.
“OA yang tepat sebagai pengemban amanat UU Advokat idealnya hanya satu. Tujuannya, untuk menjaga kualitas profesi advokat,” imbuhnya.
Kalau banyak OA, sambungnya, yang akan terjadi apabila seorang advokat melakukan pelanggaran kode etik profesi kemudian diberikan sanksi oleh satu Dewan Kehormatan, maka yang sering terjadi dia pindah ke OA lain. Bahkan, dia ditawarin oleh OA lain. Artinya, yang terjadi tidak adanya kepastian atas pemberian sanksi pelanggaran kode etik tersebut sehingga yang dirugikan masyarakat pencari keadilan.
Dengan adanya satu OA sebagai pelaksana amanah UU Advokat, maka hanya ada satu Komisi Pengawas yang bekerja mengawasi perilaku advokat agar senantiasa berpedoman kepada Kode Etik Profesi Advokat, sehingga diharapkan advokat dapat menjaga integritasnya.
“Dengan kata lain, single bar is a must. Kita tidak ingin ada advokat kaleng-kaleng yang membela hak masyarakat. Kasihan para pencari keadilan kalau demikian. Karena itu, Pasal 28 UU Advokat harus tegas,” serunya.
Hak imunitas
Bagian tak kalah penting dalam revisi UU 18/2003 nanti, menurut Sutrisno, adalah penguatan hak imunitas advokat.
“Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Pasal 16 UU Advokat harus diperluas, terkait hak imunitas advokat, di mana ketika menjalankan profesinya tidak hanya didalam sidang pengadilan namun juga diluar pengadilan,” urainya.
Artinya, advokat yang menjalankan profesinya dengan itikad baik, maka tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana, baik dalam sidang maupun diluar sidang pengadilan.
“Dengan demikian antara RUU KUHAP yang akan segera diketok palu dengan dengan UU Advokat akan selaras,” paparnya.
Begitu juga dengan hak advokat untuk dapat mendampingi klien pada saat diperiksa, baik sebagai tersangka maupun saksi harus dimasukkan dalam revisi UU Advokat.
Demikian halnya peran advokat untuk dapat berbicara dan dicatat setiap memberikan keterangan agar menjadi jelas apa yang dimaksud oleh penyidik, karena tidak setiap orang yang diperiksa oleh penyidik mengetahui apa yang dimaksud dari pertanyaan yang diajukan oleh penyidik.
Sutrisno menekankan pula soal penyadapan. “Pembicaraan advokat dengan klien tidak dapat disadap oleh penyidik karena pembicaraan advokat (dengan klien) merupakan rahasia yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat 2 UU Advokat,” cetusnya.
Sutrisno berharap revisi UU Advokat bisa mengadopsi berbagai perubahan dan masukan yang ada sehingga penegakan hukum di Indonesia akan lebih maksimal lagi. (RN)