Jakarta – Sistem pemilu proporsional daftar terbuka yang diterapkan di Indonesia saat ini secara langsung berkontribusi pada suburnya praktik politik berbiaya tinggi yang pada akhirnya mengancam kualitas representasi di parlemen.
Kritik tajam ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin, dalam Seminar Nasional yang diadakan oleh Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) di Jakarta, Jumat, 5 September 2025.
Acara tersebut diadakan untuk mengevaluasi sistem pemilu yang dinilai gagal menjaga kedaulatan rakyat akibat mahalnya ongkos politik.
Zulfikar menjelaskan mengapa sistem pemilu saat ini menjadi masalah.
Menurutnya, kompetisi tidak lagi hanya terjadi antarpartai, tetapi juga secara internal di antara calon legislatif dalam satu partai. Akibatnya, kontestasi pemilu berubah dari pertarungan gagasan dan ide menjadi adu kuat modal politik.
Calon dengan sumber daya finansial yang besar memiliki peluang lebih tinggi untuk menang, sementara kandidat berkualitas dengan modal terbatas seringkali tersingkir.
Fenomena ini, menurutnya, merusak fungsi kaderisasi partai politik.
Ia memaparkan bahwa fungsi paling pokok dari lembaga perwakilan adalah representasi, yaitu membuat aspirasi dan suara rakyat “hadir” dalam proses pembuatan kebijakan.
Namun, ketika seorang anggota legislatif terpilih dengan biaya yang sangat besar, ada kecenderungan ia akan lebih fokus untuk mengembalikan modal politiknya daripada memperjuangkan kepentingan konstituennya.
Hal ini menyebabkan pergeseran dari model perwakilan delegasi atau wali amanat menjadi model partisan yang lebih loyal kepada elite partai atau pemodal.
Lantas, bagaimana solusinya? Zulfikar mendorong agar partai politik melakukan introspeksi dan akselerasi dalam menjalankan fungsi kaderisasi secara serius.
Selain itu, ia menekankan perlunya evaluasi sistem pemilu yang mampu menekan biaya politik secara signifikan.
Meskipun tidak secara eksplisit menyebut kembali ke sistem proporsional tertutup, arah pembicaraannya mengindikasikan perlunya memperkuat peran institusi partai politik dalam menentukan calon-calon yang akan duduk di parlemen, sehingga yang dihasilkan adalah kader-kader yang mumpuni secara ideologis, bukan sekadar populer atau kaya.
Pernyataan dari politisi Senayan ini menjadi penegasan bahwa masalah sistem pemilu bukan hanya isu teknis penyelenggaraan, tetapi telah menjadi persoalan mendasar bagi kesehatan demokrasi.
Peserta seminar, termasuk para pemerhati pemilu, sepakat bahwa tanpa upaya serius untuk menekan biaya politik, parlemen akan terus diisi oleh wakil rakyat yang terasing dari pemilihnya, dan amanat kedaulatan rakyat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 akan semakin sulit diwujudkan.