KORANBANTEN.COM – Evi Silvi Yuniatul Hayati meminta kepada Kejaksaan Negeri Serang dan Pengadilan Negeri Serang untuk menunda eksekusi atas putusan kasasi Mahmakah Agung (MA) Nomor 1261 K/Pid/2023 Jo Nomor 72/PID/2023/PT.BTN Jo Nomor 118/Pid.B/2023/PN.Srg tertanggal 26 Oktober 2023.
Kuasa Hukum Evi Silvi, Bahtiar Rifai mengatakan, kliennya meminta kepada pihak Kejaksaan Negeri Serang yang telah melayangkan surat panggilan No : B-250/M.6.10/Eoh.2/01/2024, untuk menunda eksekusi atas perkara yang dihadapi kliennya tersebut.
“Kami meminta untuk menunda eksekusi terhadap klien kami Ibu Evi Silvi Yuniatul Hayati, dan hari ini kami telah melayangkan Surat Permohonan Penundaan Pelaksanaan Putusan MA–RI Nomor 1261 K/Pid/2023 Tanggal 26 Oktober 2023, kepada pihak Kejaksaan Negeri Serang dan Pengadilan Negeri Serang,” kata Bahtiar kepada wartawan, Senin (15/01/2024).
Bahtiar menyampaikan, permohonan penundaan eksekusi tersebut bukan tanpa sebab, menurutnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pihak Kejaksaan Negeri Serang sebelum melakukan eksekusi terhadap kliennya.
Bahtiar menuturkan, putusan yang dilampirkan dari mulai tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) untuk kliennya tersebut dinilai cacat hukum dan batal demi hukum, hal itu lantarab dalam putusan tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf (k) KUHP.
Selain itu, lanjut Bahtiar, ada beberapa fakta dalam isi Putusan Kasasi MA-RI tersebut, yang tidak memiliki kepastian hukum, yakni menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Cilegon.
“Padahal kan itu yang mengajukan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Serang, nah disini saja dalam amar putusannya sudah ada kesalahan, sudah tidak ada kepastian hukum. Lalu di putusan itu disebutkan, menolak tapi memperbaiki putusan pengadilan, kalau sudah menolak seharusnya sudah selesai, kalau memperbaiki itu berarti seharusnya menerima penuh atau menerima sebagian,” ujarnya.
“Kemudian, di dalam amar putusan MA-RI tersebut juga tidak ada perintah pengadilan, Mahkamah Agung memerintahkan klien kami Ibu Evi Silvi untuk berada di tahanan, ini berdasarkan Pasal 197 Ayat (1) huruf (k) KUHP mengenai perintah supaya Terdakwa ditahan, tetap ditahan atau dibebaskan, itu telah ditentukan dalam KUHP, jadi Putusan – putusan Hakim sebelumnya maupun pendapat para ahli bahwa ketentuan ini harus dipenuhi dalam pembuatan putusan hakim. Tidak dipenuhinya ketentuan ini dapat mengakibatkan suatu putusan pengadilan Batal Demi Hukum , sesuai Pasal 197 ayat (2) KUHP. Kalau pun ada eksekusi terhadap klien kami, ini kan jelas ada perbuatan melawan hukum, karena kan tidak ada diperintahkan di isi Putusan MA-RI itu,” ucapnya.
“Lalu, yang harus dilihat juga faktanya bahwa klien kami ini adalah seorang advokat yang tengah menjalankan tugasnya sebagai pengacara,” ujar Bahtiar.
Atas dasar tersebut, Bahtiar secara tegas meminta kepada pihak Kejaksaan Negeri Serang untuk melakukan penundaan atas surat panggilan yang dilayangkan kepada kliennya Evi Silvi yang merupakan Advokat pada Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pengacara Rakyat Silvy Shofawi Haiz.
“Maka dari itu, kami meminta kepada Kejaksaan Negeri Serang, untuk menunda atau menghentikan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1261 K/Pid/2023 Tanggal 26 Oktober 2023, dikarenakan cacat hukum, dan untuk menghentikan ini kami akan segera melakukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK),” tuturnya.
Sementara itu, Advokat Evi Silvi mengatakan, dirinya merasa sangat keberatan dengan adanya surat panggilan terhadapnya yang dilayangkan oleh Kejaksaan Negeri Serang tersebut.
“Ini saya sampaikan saya sangat keberatan dengan adanya surat panggilan ini, dengan alasan yang sudah disebutkan oleh Kuasa Hukum saya tadi, dengan ini saya mengajukan permohonan kepada Kejaksaan Negeri Serang untuk menunda atau menghentikan putusan Kasasi MA-RI,” katanya.
Senada dengan Kuasa Hukumnya, Bahtiar Rifai, Evi Silvi merasa putusan yang diterimanya tersebut tidak mencerminkan asas keadilan dan kepastian hukum terhadap dirinya sebagai warga negara untuk memperoleh keadilan dan kepastian serta kedudukan yang sama di mata hukum.
Evi Silvi juga menegaskan, putusan yang diterimanya tersebut cacat hukum dan batal demi hukum sesuai dengan Pasal 197 Ayat (1) huruk (k) dan Pasal 197 Ayat (2) KUHP.
“Jelas Putusan ini cacat hukum dan batal demi hukum. Saya rasa putusan ini juga tidak mencerminkan keadilan, yang mana digadang-gadang jargon oleh pengadilan, oleh Komisi Yudisial. Utamanya, saya seorang Advokat, dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang Advokat saya dilindungi oleh Undang-Undang (UU), tapi saya masih dipenjarakan, itu sangat tidak adil,” ucapnya.
Evi Silvi juga menyebutkan, dalam persidangan sebelumnya, ada beberapa fakta persidangan yang seharusnya dapat menjadi pertimbangan oleh majelis hakim dalam mengambil keputusan atas perkara yang dialaminya.
“Fakta persidangan disitu, ada fakta-fakta yang seharusnya menjadi pertimbangan majelis hakim, untuk jadi pertimbangan hukum untuk saya dibebaskan, berupa keterangan ahli Dr Agus, dalam persidangan yang dihadirkan oleh JPU (Jakasa Penuntut Umum) yang menyatakan bahwasanya saya selaku advokat itu tidak bisa ditetapkan sebagai tersangka jika tidak ada putusan dari dewan kehormatan (Organisasi Advokat). Nah itu fakta persidangannya ada, tapi majelis hakim tidak mempertimbangkan ini dalam amar putusannya,” ujarnya.
Selain itu, Evi Silvi juga menyebutkan, dalam peristiwa hukum yang dihadapinya itu, ada seseorang yang terlibat, sesuai fakta berdasarkan bukti-bukti berupa surat tanda terima sertifikat yang dibuktikan di persidangan yang tidak terbantahkan, namun hingga saat ini orang tersebut tak kunjung ditetapkan sebagai tersangka.
“Dalam peristiwa hukum itu ada Saudara Ela Niawati yang jelas-jelas saudara Ela Niawati lah yang menerima dokumen itu dalam peristiwa ini, tapi saudara Ela Niawati sekarang tidak ditahan, tidak menjalankan hukuman, dan tidak ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa, atau terpidana. Kalau pun ini hukum murni pidana, seharusnya dia (kena) Pasal 55, turut serta. Jadi jelas-jelas ini putusan hakim itu tidak mencerminkan keadilan dan jelas kriminalisasi,” tuturnya.
Evi Silvi juga secara tegas mengatakan, dalam Putusan Kasasi MA-RI tersebut tidak ada kepastian hukum untuk dirinya.
“Putusannya pun ini cacat hukum, saya menerima rilis, petikan putusan dari Mahkamah Agung yang dicuplik oleh pengadilan lalu dikirimkan ke saya. Ada kesalahan disitu, jelas ini ada ketidakpastian hukum. Disini putusannya menolak tapi mengadili sendiri, mengkoreksi dari putusan Pengadilan Negeri Banten itu dari 4 bulan jadi 1 tahun 6 bulan. Dan kemudian, disini tidak ada perintah pengadilan Mahkamah Agung memerintahkan saya untuk berada di tahanan, kalau pun ada eksekusi, ini kan jelas putusan ini tidak ada kepastian hukum, dan adanya eksekusi itu adalah perbuatan melawan hukum. Karena kan tidak ada diperintahkan disitu,” tegasnya.
Untuk itu, Evi Silvi juga mempertanyakan atas surat panggilan yang dilayangkan oleh Kejaksaan Negeri Serang kepada dirinya.
“Nah sekarang, tidak ada perintah hukum dari pada pengadilan, kok bisa-bisanya Kejaksaan Negeri Serang memerintahkan saya untuk hadir, untuk melaksanakan, menjalankan eksekusi Mahkamah Agung, eksekusi yang mana? kan disitu jelas ada kesalahan, dan disitu tidak ada perintah untuk saya kembali berada di tahanan, jadi itu tidak ada kepastian hukum. Negara kita adalah negara hukum, jelas setiap orang memiliki hak yang sama dihadapan hukum,” ucapnya.
Evi Silvi juga mengungkapkan, dirinya saat ini tengah mengadukan berbagai kejanggalan dan ketidakpastian hukum atas peristiwa hukum yang tengah dihadapinya.
Selain itu, ungkap Evi Silvi, saat ini dirinya tengah menunggu keputusan dari persidangan Komisi Yudisial terhadap hakim yang telah mengadilinya dalam peristiwa hukum yang dihadapinya tersebut.
“Saya saat ini mau mengajukan PK, tapi putusan kasasinya enggal muncul-muncul di Pengadilan Negeri Serang, bahkan di laman Mahkamah Agung pun engga muncul, yang saya dengar baru muncul hari Jumat. Hari jumat baru muncul, kok ini tanggal 12 nya saya langsung nerima surat dari Kejaksaan Negeri, nah ini kan engga bener. Coba kalau putusan itu sudah jauh-jauh ada di (laman) Pengadilan Negeri Serang, kita pun akan langsung PK, ini kan putusannya baru muncul hari Jumat kemarin. Lalu jelas-jelas ada sesuatu hal yang tidak sesuai dengan atau tidak berdasarkan hukum. Kan ada ketidakpastian hukum, rilis Kejaksaan Negeri Cilegon, keputusannya Kejaksaan Negeri Serang, walaupun itu salah ketik, engga bisa main-main dengan nasib orang,” ungkapnya.
“Saya juga sedang menunggu putusan persidangan di Komisi Yudisial (KY) terhadap hakim yang menyidangkan saya, jelas disitu ada dugaan kriminalisasi terhadap saya, karena dari mulai saya melakukan upaya pra peradilan, mengajukan perdata, dan kemudian pidana yang seharusnya pidananya terhenti ini jalan juga pidananya, hakimnya itu-itu saja, hakim Pengadilan Negeri Serang kan banyak, kenapa mesti hakimnya itu-itu saja, nah itu sedang dilakukan upaya sidang kode etik di KY, saya pun jadi pelapor dan saksinya disana,” ujarnya.
Evi Silvi juga menyebutkan, dalam peristiwa hukum yang dihadapinya tersebut, dirinya saat itu tengah menjalankan tugasnya sebagai seorang Advokat yang tengah memberikan pendampingan dan bantuan hukum terhadap kliennya.
“Saya adalah seorang Advokat, selaku seorang Advokat, saya ini merasa dikriminalisasi, dan dugaan saya kriminalisasi ini diperkuat dengan amar putusan dari Dewan Kehormatan (organisasi) Advokat saya, yang menyatakan bahwasanya tidak ditemukan pelanggaran etik yang dilakukan saya. Artinya jika saya tidak melakukan pelanggaran kode etik terhadap profesi saya, saya dalam menjalankan profesinya, menjalankan kuasa klien itu saya sudah sesuai prosedur, berarti yang saya jalankan ini adalah dilindungi Undang-Undang, maka saya memiliki hak imunitas, tidak bisa dipidana dalam menjalankan tugasnya. Sehingga kalau saya memiliki kekebalan hukum, dari pihak Kejaksaan Negeri memaksakan untuk mengeksekusi saya untuk melaksanakan keputusan itu, itu jelas perbuatan melawan hukum,” ujarnya.
Untuk itu, Evi Silvi menuturkan, berdasarkan UU Mahkamah Agung Pasal 67 huruf b yang menyatakan dirinya bisa mengajukan permohonan untuk penundaan eksekusi atas putusan kasasi sebelumnya.
“Jadi saya berpijak pada itu. Oleh karena itu, saya menghimbau, sama-sama penegak hukum, kepada Jaksa, kepada Pengadilan Negeri Serang, agar menunda semua ini, agar tidak terjadi kriminalisasi, dan saya akan melakukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali. Saya akan layangkan surat, jelas-jelas ini preseden buruk ini terhadap penegakan hukum, semaunya sendiri. Kan saya juga berhak dong mempertahankan diri saya, karena apa yang saya sampaikan itu ada dasar hukumnya,” tuturnya.
“Saya yakin, majelis hakim kemungkinan besar akan mengabulkan upaya PK saya. Kalau eksekusi terhadap saya dipaksakan juga, yah jelas ini melanggar HAM, melanggar hak asasi saya sebagai warga negara. Kita tidak mau ribut-ribut, kita sama-sama penegak hukum, kita sama orang hukum, kita sama-sama orang yang mengerti hukum, mudah-mudahan permohonan saya ini bisa dimengerti,” pungkasnya. (*)