Leo Handoko Divonis 2 Tahun 6 Bulan Penjara, Ketum PPWI: “Itu Putusan Abal-abal dan Hoax”

KORANBANTEN.COM – Leo Handoko selaku Direktur PT. Kahayan Karyacon divonis 2 tahun 6 bulan penjara atas kasus dugaan melakukan pemalsuan dokumen dan memberikan keterangan palsu ke dalam bukti otentik (Pasal 266 KUHP) dalam akta No. 17 tanggal 24 Januari 2018, tentang pengangkatan kembali Organ Perseroan Terbatas (PT).

Leo Handoko melalui kuasa hukumnya, Dolfie Rompas langsung mengajukan banding atas vonis tersebut.

Bacaan Lainnya

Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim Erwantoni didampingi Hakim Anggota Diah Tri Lestari dan Ali Mudirat menyatakan Leo Handoko terbukti bersalah sesuai Pasal 266 KUHP.

“Mengadili dan menjatuhkan hukuman pidana penjara terhadap terdakwa selama 2 tahun 6 bulan,” ujar Hakim Erwantoni pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Serang, Kamis, 10 Juni 2021.

Dolfie Rompas selaku kuasa hukum Leo Handoko langsung menyatakan banding.

“Kami mengajukan banding,” Dolfie kepada majelis hakim.

Saat ditemui usai sidang, Dolfie kepada awak media mengatakan, alasan yang mendasarinya melakukan banding adalah banyaknya fakta persidangan yang terungkap di persidangan, namun hakim tak menjadikan fakta itu sebagai pertimbangan.

“Kami kuasa hukum keberatan dengan keputusan Majelis Hakim dan kami sangat kecewa. Padahal kami berharap Majelis Hakim dapat memberikan putusan yang adil. Tapi hari ini, setelah mendengar putusan Majelis Hakim, bagi kami ini tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ada di persidangan. Menurut kami Majelis Hakim tidak mempertibangkan fakta-fakta di persidangan,” pungkas Dolfie.

Jadi, kata Dolfie, seolah-olah yang dilihat adalah hanya berdasakan akte itu sudah jadi. Majelis Hakim tidak menilai fakta-fakta di persidangan. Fakta di persidangan jelas tidak ada yang membuktikan bahwa terdakwa melakukan kesalahan berdasarkan Pasal 266 yang dituduhkan. Tidak ada yang bisa membuktikan, baik dari para saksi. Satu pun tidak ada. Karena kebanyakan saksi yang dihadirkan juga bukan saksi fakta.

“Kami sangat kecewa. Karena jelas dalam Undang-Undang bahwa Majelis Hakim harus memutus berdasarkan pertimbangan fakta-fakta yang ada di persidangan. Jadi bukan hanya analisa saja. Bukan hanya berdasarkan pikiran atau rekaan-rekaan. Jadi harus berdasarkan pembuktian. Karena yang dilakukan saat ini adalah proses peradilan tindak pidana. Harusnya, ini kan pembuktian materil. Harusnya berdasarkan fakta-fakta yang ada di persidangan, seperti saksi-saksi, semua yang hadir sesuai tidak atau benar atau tidak gitu loh. Apakah terdakwa ini melakukan apa yang ditujuhkan. Jadi sore hari ini, kami melihat dan merasakan bahwa ada ketidakadilan atas putusan terhadap klien kami, dan kami tegas menyatakan banding. Kami banding. Kami merasa bahwa ini putusan yang tidak adil,” pungkasnya.

Putusan Abal-abal dan Hoax

Sementara itu, Ketua Umum (Ketum) Persatuan Pewarta Warta Indonesi (PPWI), Wilson Lalengke mengatakan, pihaknya sudah menduga Majelis Hakim akan memutuskan besalah kepada Leo Handoko.

“Seperti yang kita dengar tadi. Dia (Majelis Hakim-red) tidak bisa memutuskan Leo Handoko bebas. Jelas ini sebuah proses rekayasa, dari awal, mulai dari Mabes Polri, dan itu sudah bisa kita buktikan. Kita buktikan 100 persen bahwa di Mabes Polri itu rekayasanya sangat kentara, sangat jelas, bahwa orang ini (Leo Handoko-red) harus dihukum. Orang ini harus dipenjara. Jadi perjalanannya dari sana, dengan rekayasa yang dilakukan oleh oknum-oknum di Bareskrim Mabes Polri. Kemudian berlanjut di Kejaksaan pun dibuat dakwaan yang ngawur, membuat tuntutan yang ngibul, yang akhirnya Hakim memutuskan putusan setan,” tutur Wilson.

“Bagaimana mungkin, dia mengatakan tidak ada kerugian materil, tetapi kerugian itu diartikan secara luas? Seluas apa? Seluas langit dan bumi. Ini Hakim apa gitu loh. Ini jelas, dia (Majelis Hakim-red) tidak mampu membutikan bahwa itu adalah benar. Membuat putusan bahwa dia telah melakukan kesalahan dengan kerugian sekian-sekian gitu, bukan kita artikan secara luas. Luasya luas apa. Pengadilan ini kan untuk mendapat kepastian hukum. Kepastian itu harus dipastikan. Ukurannya harus jelas. Bukan kita artikan seluas-luasnya. Itu berarti putusan atas dasar persepsi dia (hakim-red) saja,” sambungnya.

Kemudian, kata Wilson, Majelis Hakim memberikan pertimbangan bahwa terdakwa menjabat Direktur sudah lima tahun, maka seharusnya dia tau.

“Siapa bisa. Harusnya dikasih ujian dia. Baru dia tau tentang Undang-Udang itu. Jadi harus jelas, dan harus ada ukurannya. Masa hanya dipersepsikan seperti itu saja. Karena dia sudah bekerja lima tahun terus harus tau semua. Ga mungkin, dia sendiri saja tidak tau, apalagi masyarakat umum. Jadi harus jelas pertimbangannya, bukan mengira tidak jelas ukurannya lalu seorang Hakim menvonis terdakwa dengan hukum 2 tahun 6 bulan. Itu putusan ngawur itu. Hakimnya ngawur. Ya jelas kalau bidang informasi ini keputusan abal-abal, keputusan yang hoax,” tutupnya. (*)

Pos terkait