Merdeka Belajar, Sudah Ada di Desa Kanekes, Mas Menteri!

KORANBANTEN.COM – Namanya, Pinah. Kulitnya putih bersih, dan bibirnya merah, lumrah sebagaimana gadis seusianya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Di teras rumahnya, gadis berusia 15-an tahun ini asyik menenun, sebuah keterampilan yang diperolehnya secara turun-temurun dari orang tuanya.
Satu lembar kain bisa selesai ditenun sampai lima hari, yang bisa laku puluhan ribu rupiah, atau bahkan ratusan ribu rupiah, dan cukup dipasarkan di bagian depan rumahnya (teras rumah).

“Lima hari, baru selesai,” kata Pinah, dan kedua tangan lembutnya terus mengayun tenun. Perempuan berambut hitam amat panjang ini hanya menggelengkan kepala ketika ditanya tentang sekolah. Tapi Pinah punya telepon genggam? Lagi-lagi, perempuan berkebaya adat Baduy ini menggelengkan kepala, padahal kini tak sedikit anak-anak seusianya banyak yang memiliki telepon genggam.

Bacaan Lainnya

Pinah hanyalah satu sosok dari sekian sosok perempuan penghuni Desa Kanekes. Masih banyak Pinah yang lain, di seberang sana, yang jauh lebih produktif menenun kain khas adat Baduy. Mereka jadi pengusaha, di samping para suami mereka sibuk bertani huma di atas bukit.

Perempuan pengusaha dari kalangan masyarakat adat Baduy, tampaknya, semakin banyak. Mereka menjajakan aneka oleh-oleh atau cendera mata tradisional masyarakat adat Baduy. Cukup di depan rumah, dan selalu ada nyaris di setiap rumah. Jadilah pasar tradisional. Mereka jadi perempuan pencari nafkah pula. Mereka berbisnis sambil mengasuh anak, bahkan sambil memasak di dapur. Inilah rutinitas mereka, dari hari ke hari, di tengah rimbunnya pepohonan hutan Desa Kanekes.

Lalu, dari mana mereka belajar menenun dengan hasil yang cukup baik, seperti hasil seorang lulusan sekolah keterampilan? Dari mana pula mereka terampil membuat kerajinan tangan dengan hasilnya yang antik dan menarik? Dari orang tua! Rumah yang terbuat dari kayu dan bambu itu, dengan atap ijuk berderet, dan tanpa penerangan lampu listrik, juga berfungsi sebagai “sekolah” tempat mereka belajar. Orang kota menyebutnya work from home.

Desa Kanekes tanpa sekolah, tetapi ada merdeka belajar, belajar berpikir bebas tanpa sekat dinding tembok kelas, atau mungkin Mas Menteri menyebutnya merdeka belajar.

Kalau Mas Menteri memberi hadiah gedung sekolah atau tempat kursus keterampilan, belum tentu mereka mau.

Sampai kini, satu-satu desa yang tanpa gedung sekolah, se-Provinsi Banten, pastilah Desa Kanekes. Kalau Mas Menteri membawa oleh-oleh bahan kain atau bahan busama mereka, hitam atau putih, mestilah mereka mau. “Kalau dizinkan para pemuka adat, sudah sejak lama Desa Kanekes punya gedung sekolah,” kata Kabag Humas Pemerintah Kabupaten Lebak, Eka Prasetiawan, M.Kom. kepada koranbanten.com, Selasa (25/08/20).

Dari mana pula anak-anak muda Desa Kanekes belajar menanam padi huma di atas bukit? Mereka belajar di alam terbuka, dari orang tua masing-masing, yang mereka ikutsertakan ke huma. Sama sekali mereka tak mengenal teori dari buku, atau dari guru di kelas. Semua dari alam terbuka, dari luar ruang kelas yang beratap langit dan belantai hamparan tanah adat yang subur. Salah satu ciri merdeka belajar adalah di luar ruang kelas, dan itu ada di Desa Kanekes, seperti saat anak-anak belajar bercocok tanam padi huma di atas bukit.

Gen Z dan Wifi
Kalau saja wireless fidelity (WIFI) gratis hadir di Desa Kanekes, boleh jadi, pengguna telepon genggam akan melonjak. Di desa yang sejuk dan rindang dengan pepohonan itu sudah ada kios pulsa. Pembelinya, terutama generasi muda desa setempat yang memang sudah sangat akrab dengan telgam.
Kini, Gen Z (Generasi yang lahir 1996 – 2015) Desa Kanekes semakin banyak yang pandai menulis dan membaca, padahal resminya, sekolah masih belum diizinkan oleh para pemuka adat. Belajar di mana dan belajar dari siapa? Terutama sekarang ini mereka “berguru” pada telepon genggam sehingga terbiasa asyik menulis dan membaca pesan. Mereka pun punya jajanan baru : pulsa.

Cepat atau lambat, terasa atau tak terasa, desa yang jauh dari mesin kota dan polusi udara itu akhirnya tembus pula dengan introduksi yang selama ini mereka jaga melalui filter hukum adat teu wasa. Telepon genggam salah satu introduksi yang paling kuat menembus dinding “tembok” teu wasa itu.

Cara pandang dan ciri pandang Gen Z Desa Kanekes, tampaknya, sudah jauh meninggalkan cara pandang dan ciri pandang orang tua mereka. Gen Z seakan menemukan kehidupan yang baru melalui introduksi dan penetrasi telepon gengam dalam The Information Age yang maha dahsyat ini.

Cepat atau lambat, terasa atau tak terasa, desa yang jauh dari mesin kota dan polusi udara itu akhirnya tembus pula dengan introduksi yang selama ini mereka jaga melalui filter hukum adat teu wasa. Telepon genggam salah satu introduksi yang paling kuat menembus dinding “tembok” teu wasa itu.

Cara pandang dan ciri pandang Gen Z masyarakat adat Baduy, tampaknya, sudah jauh meninggalkan cara pandang dan ciri pandang orang tua mereka. Gen Z seakan menemukan kehidupan yang baru melalui introduksi dan penetrasi telepon genggam dalam The Information Age yang maha dahsyat.

Pada akhirnya, adanya gedung sekolah, jalan beraspal, penerangan listrik, dan kebutuhan lain zaman sekarang, di Desa Kanekes, mungkin bukan hal yang mustahil lagi, sehingga melahirkan The New Desa Kanekes yang terbuka, tetapi tetap sinergi dan harmoni dengan budaya setempat.

Atau, biarkan tanah adat Desa Kanekes tanpa gedung sekolah, tetapi bisa merdeka belajar dalam lingkungan alam yang sejuk dan segar, dengan keluaran anak yang cerdas, jauh lebih cerdas dari sekadar seorang mas menteri. Mereka butuh ijazah SD, SMP, atau SMA? Oh, ada ujian kesetaraan, dengan ijazah Paket A (SD), Paket B (SMP), atau Paket C (SMA) yang pasti diakui Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. (C.R. Nurdin).

Pos terkait