KORANBANTEN.COM – Konstitusi di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan. Satu diantaranya terkait penafsiran dan pelaksanaan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Perekonomian seharusnya berdasar atas asas kekeluargaan namun yang terjadi saat ini Indonesia melaksanakan sistem perekonomian yang lebih besar dikuasai negara dan perusahaan-perusahaan raksasa yang memiliki hubungan yang baik dengan pemerintah yang sedang menjabat.
Hal itu terungkap dalam materi Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia oleh Prof. Susi Dwi Hariyanti, S.H., LL.M., Ph.D. selaku narasumber dalam kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Wartawan se-Indonesia, di Aula Pusdik Pancasila dan Konstitusi MK RI, Cisarua -Bogor, Rabu (24/4/2019).
“Yang terjadi saat ini Pasal 33 UUD 1945 terjadi salah tafsir,” ujarnya.
Dikatakannya yang terjadi saat ini Indonesia telah menjadi negara liberal di bidang ekonomi karena adanya kesalahan pada implementasi terhadap konstitusi tersebut.
Seperti diketahui bunyi pasal 33 UUD 1945 khususnya ayat 1 Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, ayat 2 cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, ayat 3 Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Perekonomian berdasarkan asas kekeluargaan. Coba simak baik-baik kata azas kekeluargaan yang seharusnya adalah seperti sistem koperasi dan bertujuan untuk mensejahterakan semuanya (bukan hanya kalangan tertentu, red),” kata lulusan salah satu kampus ternama di Australia ini.
Susi juga menjelaskan tentang pengertian konstitusi dan konstitusionalisme sangat penting dipahami semua lapisan masyarakat demi berjalannya kehidupan bernegara yang baik dan sejahtera. Konstitusi pada dasarnya merupakan kumpulan asas dan kaidah hukum yang mengatur suatu organisasi. Karakter aspirasi ideologi berarti suatu konstitusi memuat tujuan-tujuan bersama yang hendak dicapai oleh sebuah Negara. “Tujuan-tujuan tersebut tercantum secara eksplisit atau dapat tersirat dalam pasal-pasal,” ungkapnya.
Kaitan antara konstitusi dan budaya konstitusi di atas juga menjadi relevan ketika model konstitusi suatu negara merupakan transplantasi dari sistem ketatanegaraan lainnya. “Jadi, saya berharap anda bisa menjadi agen untuk membatu masyarakat dan terutama pejabat untuk menyadari pentingnya budaya hukum di Indonesia,” tuturnya.
Banyak peserta yang bertanya sampai waktu pemaparan materi harus ditambah. Peserta sangat antusias bertanya dengan contoh-contoh implementasi konstitusi mulai dari berkaitan Hak Asasi Manusia sampai haruskan Indonesia kembali ke konstitusi lama? Semuanya dijawab tuntas oleh Prof Susi dengan harapan bahwa ada bagian konstitusi yang perlu diperbaiki atau disempurnakan tetapi jangan mengubah bagian konstitusi yang sudah benar penerapannya di Negara Indonesia. (Rls/Akbar)