Air Hujan dan Musibah Kita

Rasanya, bibir ini masih basah dengan doa minta air, minta turun hujan, dalam Istisqa, saat kota ini didera kemarau panjang dan panas. Kini, Allah S.W.T. melimpahkan air yang begitu banyak, dahsyat dan liar, sehingga jadi musibah. Benar, jadi musibah : lenyap harta, lenyap jiwa.

Bacaan Lainnya

Seorang ibu rumah tangga yang baru saja rumahnya disapu bersih air banjir, dan tubuhnya berdarah-darah, tetap saja mengaku tak sakit. “Biarkan saja, Bu, saya tak sakit. Anak saya saja cari,” kata ibu rumah tangga itu kepada Bupati Lebak, Hj. Iti Ocatavia Jayabaya, S.E., M.M., saat melakukan kunjungan kerja mendadak, ke lokasi musibah banjir, di pedalaman Kecamatan Lebakgedong, Kabupaten Lebak, Rabu lalu, persis hari pertama tahun 2020. Bupati pun meneteskan air mata. Apalagi sesama perempuan. Usaha pencarian anak usia SD itu pun masih terus dilakukan. Air mata sang Bunda, masih terus mengalir.

Ini belum seberapa jika dibandingkan dengan delapan orang yang terkubur hidup-hidup saat longsor tanah di Kampung Sigobang,masih Kecamatan Lebakgedong. Usaha penggalian dan pencarian korban masih terus dilakukan petugas dan masyarakat.

@

Ini mengingatkan saya sekira 25 tahun lalu, saat sebuah gunung batu setempat longsor akibat penggalian batu emas yang tak terkontrol. Musibah ini sama setelah hujan turun deras. Saya ditugasi meliput musibah, ketika itu, berhari-hari. Saat pulang, dan melintasi sebuah jembatan, seorang perempuan bertanya, dan ingin mencari suaminya. Sang suami, dikabarkan terkubur hidup-hidup saat menggali bebatuan emas di perut gunung batu yang kemudian longsor itu. Saya hanya menunduk, dan menunjukkan lokasi “kuburan”. Jangan-jangan, sang suami yang dicarinya itu sudah ikut terkubur. Semoga dia tenang dan syahid karena sedang berjihad untuk “sekadar” bertahan hidup.
Pertanyaan besar kita : awal tulisan grenengan pribadi ini. Air yang seharusnya menyuburkan dan menyegarkan, mengapa kemudian berubah jadi “marah” dan jadi musibah?

@

Sebuah teori komunikasi dari seorang guru besar, Masaru Emoto (Jepang), mengungkapkan, air akan begitu bahagia, mengkristal gembira, saat penggunanya berterima kasih (muslim, misalnya, berdoa sebelum dan sesudah wudu). Terima kasih dan cinta sangat disukai air, dengan bahasa apa pun. Sebaliknya, syetan, atau bodoh sangat tak disukainya. Emoto dikabarkan jadi muslim setelah meneliti air zamzam.

@

Kini, air jadi musibah. Tak lagi ramahkah kepada kita? Atau, air itu sedang mengingatkan kita tentang dosa dan sekaligus ajakan memperbaiki hubungan dengan-Nya yang selama ini semakin tak beres? Kalau kini air berubah jadi musibah, akibat dosa-dosa itu, maka yang tak berdosa pun akan ikut terpapar radikalisme pendosa?
(Catatan Dean Al-Gamereau dari lokasi musibah banjir bandang Keamatan Lebakgedong).

Pos terkait