Berlian Hutauruk dan Matahari dalam Rimba Kabut Pagi

(Oleh : Dean Al-Gamereau)

Mengapa Orchestra Harmonic Music memilih senandung “Matahari” dalam salah satu penampilannya, pada “Grand Launching Muktamar XVI PERSIS dan Silatbar”, di Stadion si Jalak Harupat, 27 Agustus 2022.

Bacaan Lainnya

Tampaknya, Orchestra tahu persis, senandung “Matahari”, yang kali pertama dinyanyikan Berlian Hutauruk itu (1977) , tetap enak di telinga, dan bermakna.

Lebih dari itu, tampaknya lagi, Orchestra ingin memperdengarkan lagu karya Erros Djarot ini kepada 40.000-an pengunjung tentang peralihan dari sebuah musim ke sebuah musim berikutnya dalam siklus peredaran matahari.

Percayakah, “Matahari” ini sebetulnya senandung muktamar XVI PERSIS tentang peralihan dari satu musim masa jihad ke musim masa jihad berikutnya, dalam wadah ormas yang juga berlambang seperti matahari bersinar itu? Qaidah Dakhili PERSIS memang tak pernah menyebut lambang matahari, tetapi kalau lambang PERSIS seperti matahari, emang…

Bagaimana memaknai muktamar XVI PERSIS dari “perspektif” senandung “Matahari”? Cobalah simak baris demi baris liriknya, “Musim itu t’lah berlalu”, itu artinya, “Satu musim masa jihad sudah berlalu”. Lirik berikutnya, “Matahari segera berganti”, artinya lagi, “Muktamar itu pergantian juga, semisal pergantian generasi atau tasykil”. Siapakah ketua umum PP PERSIS berikutnya yang mengiringi pergantian musim dan generasi itu?

Senandung “Matahari” mengisyaratkan, masih gaib, belum tampak, dibunyikan dalam sebaris lirik, “Matahari masih dalam rimba kabut pagi”. Apakah ini hasil penelitian ilmiah melalui tafsir teks (Hermeneutika) atau hasil Analisis Wacana Kritis (ungkapan di balik teks)? Sama sekali bukan, ini sekadar cocokologi! Tak ilmiah, tetapi mungkin ‘aqliyah.

Senandung “Matahari” kemudian, pasca-Berlian Hutauruk, lahir dari sebuah kolaborasi (produksi, 1999). Erros Djarot sebagai penulis lagu, Yockie Soeryo Prayogo sebagai penata musik, orchestra Erwin Gutawa, dan Chrismansyah Rahadi atau lebih dikenal Chrisye (fet. Aning Katamsi) sebagai penyanyi.

Siapa Aning, atau nama lengkapnya Ratna Kusumaningrum itu? Penyanyi seriosa, anak Amoroso Katamsi (pemeran Soeharto dalam film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI”). Aning berhijab dan berkacamata.
Dari ”Matahari” kita diingatkan, dan bisa di”kait paksa”kan dengan perumpamaan “dapur” rumah dan ruang depan rumah.

Chrisye ruang depan rumah itu. Orang-orang yang sangat berperan di “dapur” terdiri dari Erros Djarot, Aning Katamsi,Yockie Soeryo Prayogo, dan Erwin Gutawa. Alhasil, “Matahari” adalah hasil kolaborasi, seakan mengingatkan, harus seperti itulah PERSIS : berkolaborasi dengan musim, dengan zaman, dengan keahlian, dalam bingkai satu rasa, satu suara, satu usaha.

Senandung “Matahari” tak berdiri sendiri, lahir dari “rahim” kolaborasi itu.
Erros sekolah teknik di Jerman, sekolah film di Inggris, tetapi lelaki kelahiran Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (22 Juli1950) ini lebih banyak berkiprah di musik dan film, lalu jadi wartawan, jadi politisi pula (ketua Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, berubah jadi Partai Nasional Benteng Kerakyatan : PNBK).

Bagaimana lagu-lagu yang diciptakan Erros selalu sukses, dan bertahan cukup lama, selalu diingat, seperti “Matahari”, satu dari 13 lagu dalam album “Badai Pasti Berlalu” itu?

Dari berbagai wawancara dan catatan. Erros menyebut lagu harus terlahir karena cinta, datang dari lubuk hati yang terdalam. Erros menerjemahkan cinta ke dalam musik dan menuangkannya ke dalam nada dan lirik. Ini, misalnya, terlihat dalam senandung “Matahari” atau “Badai Pasti Berlalu”.
Tentang cinta, kata Erros, “…dan negeri ini telah kehilangan yang sangat substansial : cinta”.

Maka, hati dan cinta orang harus selalu bergelora, dan dituangkan ke dalam “lirik” dan “nada” dakwah ketika PERSIS memasuki musim matahari abad kedua.

Dalam senandung “Matahari” Chrisye feat Aning itu, ada baris lirik begini, “Awan yang hitam tenggelam dalam dekapan/Daun yang layu berguguran di pangkuan”. Memang, “matahari-matahari” PERSIS banyak yang sudah meninggalkan senja.

Mereka kembali ke balik legamnya malam, dan berpisah dari pangkuan PERSIS. “Matahari-matahari” pengganti bermunculan, dari rimba kabut pagi, bersinar hangat menerobos daun dan dahan. Sepoi angin lembut dan burung-burung kecil yang mendendangkan kebebasan mengawali munculnya “matahari-matahari” baru itu.
Pemungkas, inilah sajak penyair Jerman sepanjang masa, Johan Wolfgang von Goethe tentang matahari, sang surya, dikutip dari sebuah buku karya tokoh PERSIS terdahulu, K.H.M. Isa Anshary, “ Sudah tenggelam sang surya, di Barat ia masih berkilau. Kuingin tahu gerangan berapa lama”. (Penulis, mantan anggota Badan Pekerja Muktamar XVI PERSIS, tinggal di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten).

Pos terkait