Berpikir Positif Pada Masa Krisis

Oleh: Delianur

Sebagaimana biasanya yang terjadi pada masa-masa krisis, banyak orang kembali mengingatkan tentang perlunya berpikir positif. Berpikir positif adalah mind solution dalam memahami realitas.

Bacaan Lainnya

Dengan berpikir positif, anggota badan kita disebutkan akan lebih rileks, fit dan meningkatkan imunitas tubuh. Dalam masa krisis menghadapi wabah seperti sekarang, meningkatnya imunitas sebagai hasil berpikir positif, tentunya sangat dibutuhkan.

Pada saat mencekam menghadapi wabah corona seperti sekarang, setidaknya muncul dua kampanye berpikir positif. Satu kampanye berpikir positif adalah dengan mengajak orang membuat perhatian baru diluar berita wabah corona. Seperti bermain tantangan-tantangan untuk posting sesuatu yang tidak berkaitan dengan wabah. Selain itu, muncul juga kampanye berpikir positif dengan mengajak orang mengglorifikasi capaian-capaian positif dalam penanggulangan wabah corona.

Berpikir positif, memang membantu kita menghadapi setiap masalah. Pola ini tidak hanya menaikan daya imunitas, tetapi membuat kita bisa lebih rileks dalam berpikir. Karenanya kita bisa lebih jernih dan tenang dalam mencari solusi. Sesuatu yang sangat berharga di kala kita menghadapi wabah Corona seperti sekarang.

Pertanyaannya, apakah seperti diatas yang dimaksud dengan berpikir positif?
Sebelum memulai, ada baiknya kita mengurai salah satu fragmen kehidupan yang dialami Dr. Dan Baker yang diungkap dalam buku“Authentic Happiness; Menciptakan Kebahagiaan Dengan Psikologi Positif” yang ditulis Martin E.P Seligman. Seligman adalah Professor Psikologi dari Universitas Pennsylvania dan Presiden American Psychological Association.

Dia dianggap sebagai pendiri Psikologi positif. Sementara Dr. Dan Baker adalah Direktur Program Peningkatan Kehidupan di Canyon Reach yang dikenal sebagai pendukung dan pengamal Psikologis Positif sebelum istilah ini dipopulerkan Seligman.
Awalnya adalah ketika Dan Baker bertugas di Nebraska Psychiatric Institute pada 1976. Sebagai Psikolog muda,

Baker semula begitu yakin bisa menangani pasien berdasar ilmu Psikologi yang dipelajarinya.

Namun Baker kecele. Freud muda ini bukan hanya berhadapan dengan pasien yang tidak bisa diselesaikan berdasar Ilmu Psikologi yang sudah dia pelajari, tetapi juga tidak ada psikolog lagi yang bisa menanganinya.
Kate adalah gadis muda yang kepalanya dipasangi helm.

Hal ini dilakukan karena Kate selalu membentur-bentur kan kepalanya ke dinding. Saking kerasnya benturan kepala Kate ke dinding, Baker sampai menganggap bila itu adalah suara tembakan senjata.

Kate sudah dirawat oleh beberapa tim dokter berpengalaman. Setidaknya ada 25 pendekatan untuk menangani Kate.

Seperti menyemprotkan amonia ketika dia membenturkan kepala, memasang alat menyerupai penjepit untuk binatang untuk mendatangkan efek kejut, membujuknya dengan gula-gula, memberi obat anti kejang, atau memberi obat penenang. Tim dokter juga mengajak Kate berbicara, tapi itu juga gagal. Karena Kate mengalami masalah perkembangan kepribadian dengan IQ yang sangat rendah. Kate bukan seorang autis bukan juga seorang skizoprenik. Dia tidak menunjukan gejala-gejala psikosis.

Seperti juga tim dokter sebelumnya, Dan Baker juga buntu menghadapi Kate. Namun Baker mempunyai tanggung jawab personal yang membuatnya tidak bisa meninggalkan Kate. Baker terenyuh melihat tatapan mata Kate yang menurut nya menyiratkan permohonan pertolongan.

Namun karena kebuntuan menghadapi kondisi Kate, Baker hanya bisa menatap Kate dan mengajaknya bercengkrama. Baker menemani Kate baik ketika dia membenturkan kepalanya, maupun ketika dia berhenti membenturkan kepalanya.

Namun ketika menemani Kate itulah Baker menemukan formula menyembuhkan Kate. Tidak seperti tim dokter sebelumnya yang selalu melihat waktu Kate membentur-benturkan kepalanya, Baker justru melihat masa Kate tidak membenturkan kepalanya.

Ketika melihat masa-masa itu, Baker mencari cara untuk memperpanjang masa itu. Masa inilah yang disebut Baker sebagai prinsip 60 menit. Sebuah prinsip memusatkan perhatian pada beberapa menit dalam setiap jam ketika seseorang berfungsi dengan baik. Tidak lagi memusatkan pada kegagalannya.

Tujuannya adalah memperpanjang menit-menit yang baik itu sampai mencapai satu jam.

Baker berhasil menyembuhkan Kate karena berpikir positif. Dia melihat pada masa ketika Kate tidak membenturkan kepala ke dinding, dan masa itulah yang diperpanjang.

Baker bukan memperhatikan masa Kate membenturkan kepala ke dinding sebagaimana yang diperhatikan tim dokter sebelumnya. Kate sembuh karena cara berpikir positif Baker. Kate akhirnya bisa hidup normal, mempunyai banyak teman, dan mempunyai penghasilan sebagaimana layaknya orang banyak.

Melihat pada pengalaman Baker diatas, maka berpikir positif itu bukan menyembunyikan permasalahan yang sudah jelas di depan mata lalu mengatakan semuanya baik-baik saja. Berpikir positif adalah berani melihat permasalahan pelik yang ada didepa mata, lalu mencari peluang untuk menyelesaikannya.

Berpikir positif bukan menghindari masalah dengan mengatakan semuanya baik-baik saja. Berpikir positif adalah berani melihat masalah lalu yakin ada solusi meskipun peliknya permasalahan itu.
Beberapa waktu lalu, cara berpikir positif yang keliru ditunjukan ditunjukan oleh para pegambil kebijakan. Ketika wabah corona masih berada jauh di China, para pengambil kebijakan mencoba menyembunyikan permasalahan yang ada dibawah karpet.

Mengatakan virus tidak akan virus itu tidak mungkin masuk Indonesia, orang Indonesia kebal terhadap virus corona, atau penyakitnya bisa sembuh sendiri.

Sekarang ketika virus sudah mewabah ke Indonesia dan memakan banyak korban, orang kemudian mengajak berpikir positif kembali dengan cara hampir mirip. Caranya dengan menghindari perbincangan mengenai wabah ini dan menciptakan tema baru perbincangan publik di media sosial.

Seolah di negeri ini tidak ada permasalahan akut mengenai wabah ini. Semestinya kita tidak lagi mengulang perilaku yang sama. Jangan sampai jatuh ke lubang yang sama dua kali.
Sebagaimana yang ditunjukan Dan Baker, berpikir positif bukanlah menyembunyikan permasalahan dibawah karpet.

Tetapi dia menyadari dan mengakui ada permasalahan besar di depan mata, lalu secara kreatif mencari solusi dari permasalahan yang ada. Berpikir kreatif ala Dan Baker mengajarkan bahwa solusi dari sebuah permasalahan kronis, pada dasarnya ada pada permasalahan itu sendiri. Solusi tidak akan muncul kalau kita tidak berani berhadapan dengan masalah, menghindari masalah, atau menyembunyikan masalah tersebut.
Selain itu, bila kita mempercayai bahwa dalam struktur bahasa terkandung makna mendalam dan bahasa dari Tuhan adalah sebuah petunjuk, maka hal menarik adalah cara berpikir positif yang diperkenalkan Tuhan dalam Quran surat ke-94 (al Insyirah) ayat 6 yang berbunyi “Inna ma’al yusron” bahwa bersama kesulitan itu ada kemudahan.

Dalam gramatika bahasa arab, kata “Al Usra” yang berarti kesulitan, disebut sebagai “Isim Ma’rifah” atau nama yang defined. Dia menunjuk pada sesuatu yang sudah diketahui dan khusus.

Sementara kata “Yusra” yang berarti kemudahan, disebut sebagai “Isim Nakirah” atau undifined dan bermakna umum. Struktur kalimat ayat ini seolah mengingatkan bahwa masalah itu pada dasarnya satu dan terlihat. Namun kemudahan atau solusinya, ada banyak bukan satu. Masalah kita sekarang ini ada satu, yaitu wabah corona. Tapi solusi keluar dari solusi itu ada banyak.

Syaratnya kita mau berhadapan dengan masalah itu. Bukan menyembunyikan masalah tersebut di bawah karpet seolah kita tidak mempunyai masalah apa-apa.

Dalam tataran yang lebih advance, maka berpikir positif adalah sebuah mentalitas bahwa setelah kita berusaha keras, maka apapun yang terjadi pada kita, itulah yang terbaik bagi kita. Bagi seorang pelajar berpikir positif bukanlah meyakinkan diri bila esok dia akan lulus ujian. Namun dia meyakini bahwa apapun hasil ujian besok, itulah yang terbaik bagi dia. Karena dengan ketidaktahuannya akan masa depan, orang kerap menyukai sesuatu yang sebetulnya keburukan bagi dia, sebaliknya kerap membenci sesuatu yang sejatinya kebaikan bagi dirinya. Wabah corona adalah keburukan bagi semua.

Namun dibalik keburukan itu, kadang muncul kebaikan yang tidak pernah kita perkirakan. Situs mongabay yang concern terhadap lingkungan hidup, dalam artikelnya yang berjudul “Ketika Bumi ‘Istirahat’ Gegara Corona; Langit Biru Terlihat di Tiongkok dan Beningnya Air Terpancar di Venesia” mengurai fenomena lain dibalik wabah Corona yang mencekam ini.

Menurut Mongabay, pada masa wabah Corona, orang Tiongkok bisa melihat birunya langit dan orang Italia bisa melihat jernihnya air sungai Venesia. Sebagai produsen dan konsumen batu bara terbesar di dunia, sepanjang Februari Tiongkok mengurangi konsumsi batu bara sampai 36%. Sementara di Venesia, lock down kota mengakibatkan berkurangnya lalu lintas kapal/gondola yang biasanya menggerus sedimen ke permukaan. Karenanya sungai menjadi lebih jernih, ikan-ikan terlihat berenang di bawahnya dan lumba-lumba pun berdatangan. Pemandangan yang tidak pernah terlihat sebelumnya.

Menurut Marshall Burk dari Stanford University, penurunan polusi udara di Tiongkok diyakini telah menyelematkan ribua orang dari kematian akibat udara beracan. Hanya dalam dua bulan, penurunan polusi di tiongkok telah menyelamatkan 4.000 balita dan 73 ribu manula.

Dalam riwayat hidup orang-orang besar di Indonesia, berpikir positif inilah yang ditunjukan tokoh seperti Muhammad Hatta, Hamka, atau Pramoedya. Hatta menjadikan masa pengasingannya sebagai kesempatan untuk membaca koleksi bukunya yang berjibun. Sementara Hamka dan Pramoedya menjadikan masa di penjara sebagai momen untuk menyelesaikan master piece mereka yang dikenal sampai sekarang.

Namun sejujurnya, sekarang ini agak riskan memperkenalkan cara berpikir positif seperti ini ke masyarakat.

Pemahaman yang keliru, akan menyeret orang menjadi fatalis. Terlebih kita sedang dihadapi politic idolatry akut. Pada satu kesempatan, orang bisa begitu melodramatik ketika pemimpin idolanya ditimpa musibah. Namun pada saat bersamaan, hatinya tetap keras ketika langkah keliru pemimpinnya menimbulkan musibah bagi ribuan orang.

Bandung, 28 Maret 2020.

(Penulis adalah Ketua Bidang Luar Negeri SMSI)

Pos terkait