Dewan Pers, Perusahaan Media, Wartawan dan Indeks Kebebasan Pers di Era Digital

Oleh : Abdul Munif

Terimakasih telah memberikan kepada kami sebuah navigasi atau atah-arah kebebasan Pers Nasional lewat survei rutin tahunan tentang indeks kebenasan pers (IKP). Perolehan survey menunjukan angka naik di banding tahun kemarin, artinya cukup bebas.

Bacaan Lainnya

Kami mengapresiasi positif apa yang telah dilakukan Dewan Pers untuk menjaga kebebasan pers di negeri tercinta ini sebagai amanat UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Persoalan yang cukup sulit di Papua adalah uji kompetensi wartawan yang belum merata ke kabupaten-kabupaten di luar ibu kota provinsi. Demikian pula masalah ferivikasi media, baik dari sisi berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), gaji upah minimum regional (UMR) wartawan dan Pemred harus uji kompetensi Utama. Juga masih belum terselenggaranya sosialisasi produk aturan Dewan Pers seperti pedoman penulisan untuk anak.

Sebagai narasbet dalam sosialisasi IKP ini, saya ingin memberikan catatan singkat mengenai kondisi umum pers kita, khususnya di Papua. Sebagaimana terjadi di pusat dan daerah maju lain di Indonesia, Papua juga mengalami masalah yang sama yakni menipisnya piring makan iklan disebabkan media digital. Koran banyak yang tutup, harga kertas mahal, operasional tinggi iklan makin jarang. Tak kuat membayar wartawan. Jadilah masing-masing punya online, dari pada berhenti wartawan mau kerja apa ? Jadilah media online tumbuh bagai jamur dimusim hujan, namun iklannya bagai hujan di musim kemarau, yang menyebabkan dompet jamuran.

Makin menipisnya ruang lingkup Harimau Sumatera dan Gajah Sumatera, karena hutan sebagai habitatnya makin sempit, membuat populasinya makin langka. Demikianlah analogi media kita sekarang ini. Terancam musnah seperti nasib dinosaurus. Saya kurang mengerti apakah dengan punahnya media pers, masih perlu organisasi wartawan, Dewan Pers atau Undang-Umdang Pers. Perlu dipikirkan oleh Dewan Pers dan insan pers semua untuk mengembalikan Pers Nasional kepada bangsa Indoneaia. Kalau tak ada makanan tapi harus hidup, gajah Sumatera akan merusak tanaman petani sembarangan. Ini masalah baru lagi. Sehingga Pers Nasional harus dikelola secara model preman, saat pertanyaan menganga di depan kita: tanpa kemandirian ekonomi apakah bisa ada kemandirian redaksi seperti dulu.

Kami minta Dewan Pers tidak semata sibuk dengan regulasi formalnya. Faktanya, seperti sering diungkap Dewan Pers sendiri, ada puluhan ribu media online liar yang belum melengkapi administrasi. Ini masalah. Dan serba salah. Perlu melihat persoalan lebih menyeluruh.

Hal-hal yang hemat kami perlu mendapat perhatian kita semua insan pers adalah :

1.Rangkul dan permudah terkait regulasi semua insan pers, khususnya di daerah yang masih banyak kendala.

2.Agar Dewan Pers membimbing langsung khusus terbelakang terkait uji kompetensi dan verifikasi perusahaan. Bukan karena untung banyak tapi karena taat aturan.

3.Bagaimana mempertahankan marwah Pers Nasional seperti dulu, di tengah kehilangan kemandirian ekonominya. Bagaimana mencari solusinya.

4. Agar pelaku pers online dapat mengikuti persyaratan regulasi Dewan Pers, bagaimana supaya diperingan. Bisa semua badan hukum yang penting nama dan alamat jelas.

5.Mencarikan jalan keluar persoalan kemandirian ekonomi, dengan mengadakan agenda nasional mencari jalan keluar. Marwah Pers Nasional sebagai pencari dan penyebar kebenaran materiil faktual jurnalistik tetap jadi kebanggaan.

(Penulis adalah mantan Ketua PWI Papua, kini menjabat sebagai penjab SIWO Pusat)

Pos terkait