Dia tak seperti orang dewasa pada umumnya. Dia tidak mampu berjalan, berdiri pun tidak bisa, apalagi berkerja. Untuk dapat ke kamar mandi pun, dia membutuhkan waktu lama, karena harus merayap, menyeret kakinya menggunakan tangan.
Sedihnya, semakin bertambah usia, justru semakin menurun kekuatannya. Begitulah nasib Munija, pemuda berusia 24 tahun, warga Desa Panguragan Wetan, Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon.
Munija sejak lama menderita penyakit gizi buruk. Tepatnya sejak 12 tahun lalu. Penyakit itu pun yang menyebabkan Munija lumpuh.
Meskipun makan dan minum setiap hari, kondisi Munija justru semakin parah. Tangan dan kaki Munija semakin mengecil, dan kurus kering. Tak hanya itu, tulang Iga, dan tulang yang berada di bawah leher pun, semakin terlihat jelas.
“Setiap hari saya disuapi, tapi saya tidak tahu kenapa tubuh sayasemakin kecil dan lemah. Ke mana makanan yang selama ini saya makan,” keluh Munija. Senin, (24/8/2015).
Munija juga harus berjuang keras saat hendak ke kamar mandi yang berada di luar rumahnya. Ia membutuhkan waktu lama, karena harus merayap dengan tangan, dan menyeret tubuhnya yang beralaskan kayu kecil.
Tak hanya Munija, kondisi serupa juga dialami adik kandungnya, yakni Kardino. Remaja berusia 17 tahun itu juga mengalami nasib yang sama. Dia menderita penyakit gizi buruk, hingga lumpuh sejak tujuh tahun lalu.
Kusniah (44), ibu kandung kedua pemuda penderita gizi buruk itu, menceritakan, putranya lahir dengan normal dan sehat. Namun, saat lulus Sekolah Dasar, tiba-tiba Munjia sakit panas, hingga tak kunjung sembuh. Setiap hari, kondisi kesehatannya semakin menurun, hingga sampai saat ini.
“Jangankan saya, dokter juga tidak tahu, Munija sakit apa. Kami terus berobat ke puskesmas, tapi juga tak kunjung sembuh. Sampai dokter bilang, tidak usah berobat lagi, karena tak ada perubahan,” kata Kusniah.
Sedihnya, tak hanya Munija, beberapa tahun kemudian, Kardino juga bernasib sama. Usai lulus Sekolah Dasar, kata Kusniah, Kardino kembali sakit panas, dan setiap hari menurun kesehatannya, hingga saat ini.
Kondisi ekonomi yang sangat lemah, membuat mereka tak dapat berbuat banyak. Terlebih saat, almarhum Carbun, tulang punggung keluarga satu-satunya, yang berporfesi sebagai buruh serabutan, meninggal dunia akibat tabrakan, tahun lalu.
Kusniah berharap, penyakit yang diderita dua anaknya tidak turun kepada anak ketiganya Muhamad yang masih berusia 12 tahun. Dia berusaha mencukupi kebutuhan satu keluarga, dengan berjualan kecil-kecilan di depan rumah. Tak hanya itu, mereka kerap kali mendapatkan uluran tangan dari belas kasih para tetangga.
Tidak sampai di situ, penderitaan Kusniah, Munija–Kardino, dan juga si bungsu, Muhamad, masih terasa. Mereka tinggal di bawah rumah yang nyaris runtuh. Tiap kali musim hujan, mereka susah payah membersihkan rumah yang kebanjiran karena atap bolong.
Mereka adalah satu dari sebagian keluarga miskin yang terasingkan, dan luput dari perhatian Pemerintah. Selain menanggung sulitnya hidup, mencari makan, mereka juga sangat kesulitan memenuhi kebutuhan berobat.
Bagaimana tidak? Kartu Indonesia Sehat (KIS), yang menjadi program unggulan Presiden Joko Widodo, untuk meningkatkan kualitas kesehatan warga pun, mereka tidak punya. @Syaripudin Noer