Guru Honorer: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Oleh: Finka Setiana Adiwisastra (Penulis Buku Mahakarya Untuk Indonesia)

Dalam peringatan Hari Guru Nasional pada tahun 2021 ini, tersematkan tema besar yang diusung oleh Pemerintah Indonesia dengan tema “Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan”. Umumnya per tanggal 25 November diperingati Hari Guru Nasional secara serentak yang semula hal ini ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 tentang Hari Guru Nasional. Keputusan Presiden ini menjadikan setiap tanggal 25 November sebagai hari yang spesial untuk para guru di Indonesia sehingga jasa para guru teringat selalu dalam pikiran setiap insan.

Bacaan Lainnya

Peringatan Hari Guru Nasional pada tahun 2021 masih saja berkutat dengan pandemi yang sampai saat ini masih belum usai. Hal ini menandakan problematika yang terjadi masih kompleks meliputi Indonesia, khususnya bagi para guru secara umum terlebih mereka yang masih menyandang status honorer. Nasib guru honorer itu sesungguhnya masih ambigu dan belum jelas, karena mereka tidak mendapatkan kepastian dari pemerintah untuk bagaimana dapat menjamin kesejahteraan para guru. Hingga di titik ini, pemerintah berupaya menjamin kesejahteraan guru dengan beragam kebijakannya, namun kebijakan itu terasa belum menjadi solusi bagi para guru honorer. Dalam hal ini, tepatnya kebijakan pemerintah yang tertuang dalam PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang dilayangkan oleh Mendikbud Ristek, Mas Menteri Nadiem Makarim.

Di tengah pusaran yang mengelilingi Peringatan Hari Guru Nasional ini, kebijakan pemerintah dalam PPPK sesungguhnya masih menjadi sesuatu yang utopis atau sekadar angan belaka. Tak aneh bila Komisi X DPR Syaiful Huda baru-baru ini mengkritisi kebijakan tersebut yang katanya kebijakan itu ingin memihak para guru honorer. Namun, nyatanya kebijakan itu masih jauh dari kata “Solusi” atas permasalahan pelik yang dialami oleh para guru honorer. Di mana para guru honorer masih sulit mengakses kehidupan layak dan sejahtera, diperburuk lagi dengan kebijakan tersebut yang memberikan harapan palsu bagi setiap para guru honorer.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Komisi X DPR Syaiful Huda dalam Peringatan Hari Guru Nasional yang mengutarakan argument bahwa Mas Menteri Nadiem Makarim yang terlalu memperhatikan kualitas guru daripada guru yang sudah eksis setelah sekian lama mengabdi dan berbakti untuk Indonesia. Eksistensi para guru honorer tak usah ditanyakan dan dipersoalkan lagi, karena memang mereka sesungguhnya yang layak disebut sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” yang berjuang pagi, siang, sore, dan malam untuk mengabdikan dirinya untuk negeri. Sikap Mas Menteri yang terkesan pragmatis dengan terlalu memperhatikan kualitas guru membuatnya lupa bahwa sesungguhnya nasib guru honorer masih terkatung-katung dan perlu adanya kepastian dari pemerintah untuk menjamin kesejahteraannya.

Lebih bijaksana lagi, Peringatan Hari Guru Nasional ini betul-betul menjadi ajang refleksi yang nyata bagi seluruh elemen Bangsa Indonesia, terutama bagi pemerintah yang berada di garis terdepan dalam menjamin dan memastikan kesejahteraan guru secara nasional. Sejenak saja harusnya pemerintah merenung kebijakan apa sebetulnya yang sudah diambil pemerintah sebagai decision makers yang dapat menyejahterakan para guru honorer. Sesungguhnya para guru honorer tak butuh narasi apalagi janji palsu yang sering disampaikan para pejabat tinggi negara, namun yang dibutuhkan oleh para guru honorer adalah kepastian hidup sejahtera. Betapa terbayangkan, sulitnya bagi para guru honorer untuk mencapai pendapatan perkapita dalam skala Indonesia yang artinya mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan yang mencekik. Dengan kemiskinan tersebut, mereka sulit menjamin kehidupan anggota keluarganya dengan asupan pendidikan dan gizi yang cukup. Sertifikasi atau tunjangan-tunjangan sejenisnya yang tak mereka dapatkan sesungguhnya telah menjadi-jadi dan membuat para guru honorer hidupnya semakin tidak pasti.

Menurut hemat penulis, Peringatan Hari Guru Nasional ini harusnya menjadi ajang refleksi sesungguhnya bagaimana para guru menjadi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang mendidik dan mencerdaskan anak bangsa tanpa pamrih dan tanpa harap adanya balas jasa, terlebih mereka yang masih berstatus honorer. Status sosial tak membuat mereka letih dalam mengabdi dan sedih dalam berbakti, karena memang kehidupan mereka sudah diabdikan bagi kelangsungan hidup bangsa ini. Tak kenal siang dan tak kenal malam, mereka dapat mengelaborasikan cita-cita para founding fathers negara ini untuk dapat menghadirkan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Merdeka belajar yang sering digembor-gemborkan oleh pemerintah harusnya menjadi ajang pembuktian bagi para guru honorer bahwa mereka juga pantas mendapatkan kehidupan yang layak dan sejahtera. Terlebih di masa pandemi ini yang makin menyulitkan kehidupan para guru honorer untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera, adil, dan makmur.

Pos terkait