In Memoriam Sebuah Peberbangan Cinta dari Bandara Soetta ke Bandara Kairo

Ustaz Rahmat Hudaya, Lc. (1)

Suatu siang yang ramai, saat terik matahari di langit Bandara Internasional Kairo, Republik Arab Mesir. Detak jantung semakin kencang. Seperti tak percaya, kedua kaki ini ternyata sudah jauh meninggalkan tanah air, lintas benua, setelah lepas landas penerbangan belasan jam dari Bandara Internasional Soekarno Hatta (Soetta).

Bacaan Lainnya

Benarkah dia, yang melambaikan tangan di seberang sana, yang tampak tersenyum gembira seperti sedang menjemput sang bidadari? Benarkah pula, dia Arjunaku yang tempo hari mencari cinta, dan serius melepas panah asmara dari balik piramida Kota Kairo?
Benar, dia teman lulusan tahun 2002, Muallimin Pesantren Persatuan Islam (PPI) 1 Pajagalan, Kota Bandung (Jawa Barat). Benar pula, dia sang Arjuna yang setahun lalu mengucapkan ijab kabul di hadapan kedua orang tuaku.

Eva Khoiriyah dan Rahmat “Arjuna” Hudaya berpelukan, di tengah-tengah ramainya Bandara Internasional Kairo itu. Telaga air mata tak terbendung, tumpah. Air mata sebening kristal pun menetes. Bahagia. Pertemuan demi pertemuan yang sebelumnya hanya di dunia maya, kini memang jadi kenyataan : di dunia nyata.

Eva Khoiriyah dan Rahmat menikah di Jakarta, 16 November 2008. Lima hari kemudian, anak bungsu (satu-satunya laki-laki) dari lima bersaudara asal Kabupaten Ciamis (Jawa Barat) ini kembali ke Kairo. Kuliah dan bekerja lagi. Kembali ke Mesir, tentu kemudian mengubah status Rahmat jadi seorang suami.
Sang “Srikandi” ditinggalkan dalam bingkai sepi, di Jakarta. Mereka menikah karena Allah, berpisah (sementara) pun karena-Nya. Dan, pertemuan haru biru di Bandara Kairo itu, terasa pula seperti baru saja dipersunting sang Arjuna dari Ciamis ini. Eva menyusul ke Kairo, sekitar setahun kemudian (2009).

Selama setahun di Jakarta, dan sang Arjuna ada di seberang Benua Afrika sana, Eva yang sudah lulus dari Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah (Jakarta) ini menjadi guru, jadi ustazah, di berbagai tempat pendidikan. “Sesuai dengan latar belakang pendidikan dan minat saya,” kata Eva.
Berkah PLKJ di PPI 37 Sumedang
Bagaimana sebetulnya kisah kasih di pesantren? Eva tersenyum, tetapi tak menyangkal benih cintrong-nya ini sebetulnya mulai tumbuh sejak di pesantren, lalu menguat ketika sama-sama menempuh program pelatihan khidmat jam’iyyah (PLKJ) di Pesantren Persatuan Islam (PPI) 37 Kabupaten Sumedang (Jawa Barat). Mulai ada hubungan khusus? “Ya, tetapi bukan pacaran,” kata Eva. “Dia teman sepesantren, teman seangkatan, tetapi beda ruang kelas saja,” kata Eva lagi.

Eva membuka hati. Sebelumnya tertutup rapat karena terikat nazar : bahwa tak akan pernah mau dilamar siapa pun, termasuk oleh sang Arjuna dari Ciamis, kalau memang belum lulus kuliah.
Rupanya, Rahmat seorang penyabar, meski harus berkubang dalam ke-tidak pasti-an. Galau dan resah dalam penantian. Apakah sebetulnya Eva pun takut kehilangan Rahmat Hudaya? Entahlah, ini rahasia yang tertutup rapat di balik pintu hati seorang perempuan. Perkara yang jelas, Eva pun menantang, agresif. Kalau serius, datang ke Jakarta! Nazarku sudah lewat.

Eva semakin membuka hati lebih lebar lagi. Rahmat merasakannya masuk ke jantung dan tembus ke ubun-ubun. Ini sebuah peluang dan tantangan. Rahmat terbang dari Kairo ke Jakarta, meminta kepada orang tuanya untuk menyunting anak kedua dari lima bersaudara hasil pernikahan Aisyah dan Mas’ud ini.
Siap, Rahmat diberi waktu tiga bulan untuk mempersiapkan segalanya. Rahmat serius bekerja, di samping kuliah, juga mengumpulkan bekal untuk mempersunting gadis teman seangkatannya di PPI 1 Pajagalan itu.

Modal doa dan kerja keras itu membuahkan hasil. Rahmat seorang pria tangguh. Datang ke Jakarta membawa kemenangan. Siap jadi suami, seperti yang diimpikannya sejak kisah kasih bersemi di PPI 37 Sumedang. Rupanya, PLKJ ini mengandung dan mengundang berkah. “Kemudian saya tahu, dia pria tangguh dan pekerja keras. Terharu juga,” kata Eva, bangga. Sifat ini tak pernah Eva ketahui ketika sama-sama nyantri di PPI 1 Pajagalan, juga tak pernah dipahami ketika sama-sama PLKJ di PPI 37 Sumedang.

“Titik Nol Kilometer” Jalan ke Sorga
Ini Kota Kairo, kota tempat sang suami kuliah di Jurusan Syariah Islamiyah, Fakultas Syariah, Universitas Al-Azhar. Ini Kota Kairo. Eva berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa Jakarta sudah jauh di mata dekat di hati. Memang nyaris tak percaya sebelumnya, dan seperti mimpi bisa sampai ke Ibu Kota Kairo.

Penerbangan cinta dari Bandara Soetta ke Bandara Internasional Kairo pun jadi “titik nol kilometer” sebuah babak baru kehidupan : aku dan suamiku akan merenda hari esok, melangkah dipandu hidayah-Nya, untuk sebuah pertemuan di sorga-Nya nanti. Bandara Internasional Kairo itu pun jadi saksi bisu tentang dua hamba Allah yang dipersatukan melalui PLKJ yang penuh berkah itu.
Hari-hari pertama di Kairo adalah hari-hari adaptasi dengan lingkungan sekitar, juga yang paling penting membangun kesepahaman sebagai suami dan istri. “Di sini, perempuan lebih banyak di rumah,” kata Eva. Meski begitu, hari-hari berikutnya, Eva keluar rumah pula, jadi guru taman kanak-kanak dan pendidikan usia dini (PAUD) untuk anak-anak Indonesia yang berada di Kairo. Sang suami, Rahmat Hudaya, jadi senior sekaligus ustaz di Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) Persatuan Islam (PERSIS) Mesir.

Dalam rumah tangga, kata Eva, ada dua hal yang paling berkesan : tak boleh memakan barang yang haram dan memakan barang yang halal pun harus seizin pemiliknya. Ini berlaku pula di lingkungan keluarga sekalipun.
Rahmat bekerja di sebuah perusahaan, yang boleh makan apa saja yang enak-enak, asal tak boleh dibawa pulang ke rumah. Suatu hari, ada yang terbawa ke rumah, sekadar sebungkus suplemen makanan. Rahmat mengembalikannya ke perusahaan tempatnya bekerja. “Halal kalau saya makan di perusahaan, tetapi tidak halal kalau dimakan di rumah,” kata Eva, menirukan sang suami. “Saya yakin, pemilik perusahaan tak akan marah kalau tahu, apalagi tak sengaja,” kata Eva pula.

Meski makanan, minuman, atau atau apa saja barang yang ada di rumah, tetap tak boleh dimakan, diminum, atau digunakan sebelum diizinkan pemiliknya. Makanan milik sang istri, misalnya, tak boleh dimakan oleh sang suami kecuali atas seizin sang istri, dan sebaliknya. Inilah pula yang kemudian diterapkan kepada anak-anak. Mereka diajari halal dan haram, apa saja yang boleh dimakan dan apa saja yang tak boleh dimakan. Anak-anak diajari pula tentang hak milik diri sendiri dan hak milik orang lain. Tak boleh ada pelanggaran hak milik, meski di lingkungan keluarga.
Berawal diri sendiri, dari keluarga, dan inilah memang pesan surat At-Tahrim ayat 6, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!”. Salat atau saum bagi anak-anak mulai diperkenalkan, misalnya, pada usia enam tahun. Tetapi, memberi makanan halal dan menjauhkan makanan haram, bahkan harus dimulai sejak dalam kandungan.

Eva memahami semua itu sebagai salah satu cara seorang imam keluarga yang ingin membawa makmumnya (anggota keluarganya) masuk sorga, merintis jalan ke sorga, seperti ikrar suci pernikahan yang mengikat mereka. Eva merasa beruntung punya suami Rahmat Hudaya, dan sebaliknya. Mereka belum pernah berpikir pulang ke tanah air, boleh jadi, betah setelah minum air Sungai Nil. Dan Eva, ketika tinggal di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak (Provinsi Banten), pernah pula minum air Sungai Ciujung.

Soal kemudian ternyata Rahmat sang suami lebih dulu kembali menghadap-Nya (pukul 03.30-an WIB, 26 April 2021) setelah terserang kanker hati stadium 4, dan setelah berumah tangga di Mesir lebih dari 10 tahun, inilah yang kemudian Eva terus menghayati ayat 155 surat Al-Baqarah. Lalu, Eva selalu terhibur oleh akhir ayat itu, ingin pula termasuk orang yang disebutkan ayat ini, “Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”. (Dean Al-Gamereau).

Pos terkait